Bab 262
Setelah Zovan pergi, Nindi membuka
ponselnya dan mencari informasi tentang Serena, tetapi tetap sama seperti
sebelumnya, berita-berita itu masih ditekan.
Namun, video dan foto tentang
perundungan yang dilakukan Serena masih meninggalkan jejak di internet dan
tidak bisa dihapus.
Pihak Keluarga Morris hanya bisa
mengeluarkan pernyataan melalui Twitter Serena dan mengklaim bahwa akunnya
dibajak dan video serta foto tersebut adalah hasil manipulasi.
Hah, Nindi sekali lagi membobol
ponsel Serena.
Namun, dia menemukan bahwa ponsel
Serena kini kosong. Tampaknya Keluarga Morris sudah menyadari masalah tersebut
dan menghancurkan ponsel Serena.
Wajah Nindi menjadi lebih dingin. Dia
menunggu Serena mendapatkan hukuman.
Jika tidak dihukum, dia akan turun
tangan sendiri.
Malam hari, Nindi tidak bisa tidur.
Setiap kali dia menutup mata,
ingatannya kembali ke momen kecelakaan mobil, ketika Cakra memutar setir dan
melindunginya dari segala benturan dan bahaya.
Jika ada yang harus meninggal, maka
orang pertama yang seharusnya mati adalah dia.
Pada akhirnya, Nindi tidak bisa
tidur. Dia bangun dan diam-diam pergi melihat Cakra.
Dia diam-diam masuk ke ruang
perawatan Cakra dan merasa sedikit sedih saat melihat wajah pucat pria itu.
Cakra pasti sudah kehilangan banyak
darah.
Nindi diam-diam menggenggam tangan
Cakra, telapak tangannya terasa dingin.
Dia merasa sedikit tidak nyaman.
"Cakra, kamu harus cepat sembuh. Semua ini salahku. Seharusnya aku nggak
melibatkanmu. Apalagi kamu cuma orang biasa dan nggak mungkin bisa mengalahkan
orang-orang kaya ini. Maaf."
Nindi dengan hati-hati meletakkan
tangannya di samping wajahnya. "Cakra, bangun, ya?"
"Tengah malam begini bukannya
tidur, malah datang ke sini menangis -nangis. Yang nggak tahu mungkin mengira
aku jatuh koma."
Nindi terkejut, kemudian menoleh dan
melihat Cakra membuka matanya dengan senyuman penuh arti.
Nindi merasa sedikit canggung dan
melepaskan tangannya.
Dia berkata dengan terbata-bata,
"Kamu sudah bangun? Ada yang nggak nyaman?"
"Nggak."
"Tapi, kamu nggak kunjung
sadarkan diri."
"Aku cuma terlalu lelah, jadi
aku tidur."
Nindi melihat bahwa kondisi Cakra
tampaknya baik-baik saja, jadi dia merasa lebih tenang. "Setelah melihat
kamu bangun, aku jadi merasa lebih tenang.
"Kepalamu terluka?"
Cakra melihat perban di dahinya dan
merasa sedikit khawatir.
Nindi menggelengkan kepala.
"Masalah kecil. Dibandingkan dengan lukamu, lukaku di dahi sama sekali
nggak ada apa-apanya."
"Wanita nggak bagus kalau ada
bekas luka di dahi."
Nindi terengah-engah, "Kenapa
kamu harus memutar setir saat kecelakaan itu? Sebenarnya kamu bisa menghindari
luka yang parah seperti ini."
Setelah dia selesai berbicara, mereka
saling memandang, tetapi tidak ada yang berbicara.
Nindi merasa gelisah selama ini.
Namun, melihat Cakra terbangun sekarang, dia tidak tahu harus berkata apa.
Cakra menatapnya dengan jelas.
"Karena aku nggak ingin kamu terluka!"
Dia tidak mungkin membiarkan Nindi
terluka dalam kecelakaan itu.
Nindi menundukkan kepalanya dengan
panik. " Karena kamu sudah bangun, aku jadi tenang. Kamu istirahat
dulu."
Nindi membalikkan badan dan
meninggalkan ruang ICU, jantungnya berdetak lebih cepat.
Saat berbaring di tempat tidur, wajah
Cakra dan kejadian kecelakaan itu muncul kembali di benaknya.
Lalu, tiba-tiba, Nindi teringat
kecelakaan lain yang sudah lama terjadi.
Dia bermimpi terjebak di dalam mobil,
dan akhirnya Cakra muncul untuk menyelamatkannya.
Nindi terbangun dan menyadari matanya
basah oleh air mata.
Dia sudah lama tidak bermimpi tentang
kecelakaan mobil itu.
Mungkin karena kecelakaan yang baru
terjadi, dia jadi bermimpi lagi, dan mungkin dua mimpi itu saling bertabrakan.
saat ini, Nindi menerima telepon.
Dia menjawab dengan santai,
"Halo, siapa ini?"
"Nindi, kamu tinggal di rumah
sakit mana? Kak Nando mau datang menjengukmu."
"Aku baik-baik saja. Kalau
kalian nggak datang, aku akan lebih baik."
Leo ragu sejenak dan berkata,
"Sebelumnya kamu bilang bahwa masalah ini belum selesai, apakah kamu masih
memiliki bukti?"
Dia juga ingin tahu.
Dan ingin melihat buktinya.
No comments: