Bab 1648
Pada saat ini, Adriel mengangkat
tangannya dan melambaikannya. Naga darah itu langsung berubah menjadi sungai
darah yang mengerikan lagi.
Namun, kali ini, warna sungai darah
itu menjadi merah terang, seolah-olah telah menerima suplai ulang yang sangat
besar
"Sekarang, apa kamu bisa menulis
surat itu?"
Adriel mendongak dan menatap samar ke
arah Steven.
"Kamu ... Energi inti sungai
darahmu..."
Sekejap, Steven tertegun, matanya
membelalak lebar, benar-benar terpana oleh adegan ini.
"Sungai darahnya bisa
menaklukkan awan darah ini!
Fara tiba-tiba berteriak.
Di saat yang sama, Steven tersadar
dari keterkejutannya.
Benar! Hanya mengandalkan dirinya
sendiri jelas Adriel tidak mungkin melawan serangan besar seperti gelombang
awan darah. Jadi, semuanya pasti berkat harta harunnya itu...
Sekejap, rasa tamak pun muncul di
hatinya. Jika harta karun itu bisa jadi miliknya, bukankah dia bisa...
Adriel melihat dengan jelas apa yang
ada di benak mereka, tetapi dia tidak terburu-buru. Dengan senyum tipis, dia
berkata, "Meski kalian mendapatkan gelang darahku, kalian tetap nggak akan
bisa menggunakannya."
"Bagaimana kalau aku bantu
kalian menyelamatkan Pak Wongso? Kita akhiri permusuhan ini, jadi sekutu?"
Jadi sekutu?
Steven tertegun, lalu tertawa
mengejek.
Anak ini benar-benar mengira
menyelamatkan Pak Wongso adalah prestasi luar biasa?
Lalu, semua kesalahannya bisa dimaafkan
begitu saja?
Yah, wajar saja. Dia pasti tidak tahu
betapa pentingnya Kiran di hati Pak Wongso...
Namun, dengan wajah penuh antusias,
Steven berkata sambil tersenyum, "Nggak masalah, nggak masalah! Selama
kamu bisa menyelamatkan Pak Wongso, kamu akan menjadi orang yang berjasa bagi
Pak Wongso! Dendam lama tentu saja akan dihapus!"
"Tetua Steven memang sangat
murah hati... "
Adriel tersenyum tipis, lalu
mengeluarkan kertas dan bolpoin dari Ruang Penyimpanan Surgawi. "
Silakan," kata Adriel.
"Kenapa kamu selalu bawa
barang-barang seperti ini..."
Steven langsung merasa aneh, tetapi
toh ini hanya tentang warisan. Lagi pula, dia yakin masih bisa hidup puluhan
tahun lagi, belum lagi Adriel pasti akan meninggal lebih dulu darinya....
Dia segera mencari tempat, menulis
surat wasiat, dan menyerahkannya kepada Adriel Lavali dengan senyuman sambil
berkata, "Begini sudah cukup?"
"Tetua Steven, senang bekerja
sama denganmu."
Adriel menyimpan surat wasiat itu
dengan penuh kepuasan. Dalam beberapa waktu, setelah kemampuannya cukup kuat,
dia akan membawa surat ini ke rumah Steven tanpa khawatir ada hambatan dalam
mendapatkan warisan tersebut.
"Ayo pergi."
Fara, yang memperhatikan interaksi
keduanya, tersenyum sinis di dalam hati. Adriel ini terlalu serius, sungguh
berpikir dirinya akan selamat?
Tentu saja, sebagai orang wilayah
tengah, bagaimana mungkin Adriel paham sifat keras kepala Wongso?
Segera, Fara mengajak orang-orangnya
bergegas turun gunung.
Namun, saat itu...
"Apa aku mengizinkan kalian pergi?"
Adriel berkata dengan acuh tak acuh.
"Kamu mau menghalangi kami? Kamu
pikir kamu siapa? Cuma mengandalkan harta karun, apa ucapanmu itu ada
artinya?" ejek Fara sambil tersenyum sinis.
Steven segera berdiri di pihak
Adriel. Dia memandang Fara dan yang lainnya dengan ekspresi dingin sambil
berkata, "Jadi, kata-kataku nggak ada gunanya?"
Raut wajah Fara berubah. Dengan gigi
terkatup, dia menatap Adriel dan berkata, "Shawn tahu rahasia Leluhur
Lavali. Biarkan kami pergi, nanti Shawn akan memberitahumu rahasia itu."
Adriel sedikit mengernyit
mendengarnya.
Shawn memang pernah menyebut bahwa
bayangan Leluhur Lavali bermasalah. Namun, setelah berkali- kali memeriksa
tubuhnya, dia tidak menemukan apa pun yang aneh...
Meski Shawn dikenal sombong, dia
orang yang tidak suka mengingkari janji.
Dia berpikir sejenak, lalu
melambaikan tangan.
Hanya setelah itu, Fara menghela
napas lega dan pergi dengan langkah tergesa.
"Jadi, setelah Shawn mengungkap
rahasia itu, mau aku bantu diam-diam menyingkirkannya?"
Setelah mereka pergi, Steven
tersenyum ramah.
Selamatkan dirimu dulu baru kita
bicara...
Adriel tersenyum, berjalan sambil
berkata, "Di mana keempat tetua lainnya?"
"Di sekitar danau darah, tapi
kita harus segera menyelamatkan orang-orang. Kelihatannya Pak Wongso hampir
nggak bisa mengendalikan situasi ini..."
Wajah Steven langsung berubah menjadi
muram mendengar hal itu.
"Benar, kita harus bergerak
lebih cepat..."
Saat memandang awan darah itu,
tatapan Adriel pun menjadi lebih rumit.
No comments: