Bab 1660
Wongso kini berdiri terpaku, wajahnya
dipenuhi ketakutan yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya.
Di sisi lain, Adriel mengangkat
pedang setengah jadinya dengan gerakan tegas. Tatapan dinginnya tanpa belas
kasihan, seperti seorang hakim yang akan menjatuhkan vonis terakhir. Pedangnya
memancarkan kilatan petir yang liar, bersinar seperti ular perak. Dengan satu
gerakan tajam, dia mengayunkan pedang itu ke bawah.
Bom!
Suasana mendadak meledak. Cahaya
pedang yang menyilaukan melesat, membelah langit dan bumi.
Cahaya itu seperti pancaran pedang
surgawi, menyapu segalanya dalam jalurnya.
Dalam sekejap, Danau Darah yang
selama ini menjadi sumber kekuatan Wongso terbelah menjadi dua. Darah
bercipratan ke mana-mana, jatuh berceceran ke tanah seperti sungai kecil.
"Bugh!"
Wongso memuntahkan darah segar.
Tubuhnya terpental dari gelombang darah, terhantam keras ke tanah.
Keheningan menyelimuti tempat itu.
Apa yang terjadi
Adriel... menang?
Steven yang masih terbaring di
kejauhan memandang dengan tatapan terkejut dan tak percaya. Bibirnya gemetar,
kata-kata keluar dengan gagap, "Bagaimana... bagaimana mungkin..."
Dia tidak bisa menerima kenyataan
ini. Wongso, yang licik dan kekuatannya luar biasa, dikalahkan begitu saja oleh
Adriel?
Di sisi lain, Nyonya Freya menatap
dengan pandangan penuh kekaguman. "Dia benar-benar memiliki bakat seperti
gurunya. Inilah wibawa seorang pewaris Tabib Agung."
Bagi Nyonya Freya, Wongso bukan
tandingan bagi Adriel sejak awal.
Bertemu Adriel adalah
ketidakberuntungan mutlak bagi Wongso.
Adriel mendarat dengan tenang, pedang
setengah jadi di tangannya, lalu berjalan ke arah Wongso.
"Jangan kemari! Jangan dekati
aku!" jerit Wongso dengan panik. Suaranya penuh ketakutan dan histeria.
Dia menyadari sesuatu yang
mengerikan, kekuatan dalam tubuhnya mulai memudar dengan cepat. Pondasi Iblis
Darahnya menghilang, sementara kekuatan lamanya yang dia korbankan demi teknik
itu sudah lama tidak ada lagi.
Dia kini menjadi manusia tanpa
kekuatan.
"Nggak mungkin! Aku menghabiskan
tiga tahun untuk ini! Aku mengorbankan semua yang aku miliki, memulai dari
awal, dan hampir mencapai puncak! Bagaimana mungkin aku kehilangan segalanya
sekarang?" teriaknya dengan histeris.
Kemarahannya bercampur dengan
keputusasaan Sosoknya yang dulu penuh percaya diri dan licik kini berubah
menjadi bayangan menyedihkan dari dirinya yang dulu.
Dia tidak bisa terima!
Dirinya yang hampir mencapai puncak
kejayaan nyaris menjadi Iblis Darah generasi baru, hidup bebas menguasai dunia,
kini harus melihat jalannya terputus oleh seorang pemuda biasa yang jauh lebih
muda darinya!
Namun, Adriel mendekatinya dengan
langkah ringan, bibirnya melengkung dalam senyum mengejek. "Kamu
benar-benar ingin menjadikan rengekan ini sebagai kata-kata terakhirmu?"
Wongso tersentak. Dia akhirnya menyadari
apa yang akan terjadi, ketakutan kembali menguasai dirinya. Dengan suara
gemetar, dia berkata, "Kamu nggak bisa membunuhku! Aku masih berguna
untukmu! Aku punya rahasia yang bisa kuberikan!"
Dia mencoba bernegosiasi dengan
panik. "Apa kamu nggak ingin tahu rahasia lengkap Reinkarnasi Iblis
Darah?"
Namun, Adriel hanya tertawa kecil.
"Teknik sampah itu? Aku sudah membuktikan bahwa aku bisa menghancurkannya.
Untuk apa aku membutuhkannya?"
"Tapi... aku masih punya teknik
seni bela diri tingkat langit yang dulu aku pelajari! Semuanya adalah harta
yang tak ternilai!" Wongso semakin terdesak, mencoba mencari jalan keluar.
Namun, Adriel menghela napas pendek,
senyumnya penuh penghinaan. "Kamu pikir aku bodoh? Kalau teknik lamamu
begitu hebat, kenapa kamu meninggalkannya demi teknik darah ini? Dan satu
lagi..."
Adriel mengayunkan tangannya,
memberikan tamparan keras ke wajah Wongso. "Kamu pikir kamu layak untuk
negosiasi denganku?"
Tamparan itu membuat Wongso jatuh
tersungkur ke tanah.
Steven yang menyaksikan semua itu
tertegun.
Meski Wongso adalah seorang monster
yang kejam, dia tetap sosok yang sangat cerdas dan kuat. Bahkan dalam
kekalahan, dia layak diperlakukan dengan hormat.
Namun, Adriel memperlakukannya
seperti sampah tanpa nilai.
Sementara Wongso terbaring dengan
rasa malu yang membakar, Adriel melangkah lebih dekat dan menatapnya dengan
dingin. "Ada satu hal yang benar-benar ingin aku tanyakan."
"Kenapa kamu nggak menunggu
sampai tiga tetua lainnya datang sebelum melancarkan rencanamu?" tanya
Adriel, matanya penuh rasa ingin tahu.
Ini adalah hal yang paling
membingungkan bagi Adriel.
Wongso memilih untuk membunuh Steven
dan yang lainnya lebih awal, yang jelas berisiko membangkitkan kecurigaan.
Kenapa dia tidak menunggu kelima tetua berkumpul terlebih dahulu sebelum
melaksanakan rencananya?
Namun, saat mendengar pertanyaan ini,
ekspresi Wongso berubah. Wajahnya sedikit memucat, seolah tak menyangka Adriel
akan menanyakan hal itu. Dalam sekejap, keraguan dan kebimbangan tampak jelas
di matanya.
No comments: