Bab 1766
Di medan perang yang kacau itu,
Adriel mendekat, sementara Dahlia tiba-tiba meledak dengan kekuatan luar biasa.
Naga Empat Cakar yang dia panggil bergerak gagah perkasa, setiap serangannya
memaksa para musuh mundur beberapa langkah.
Namun, meski dia mampu melawan,
tubuhnya sudah penuh luka. Lengan pucatnya tercabik, darah mengalir dari sudut
bibirnya, tetapi dia tetap bertahan tanpa sepatah kata pun.
Tatapan matanya memancarkan keteguhan
yang tak tergoyahkan, tak peduli seberapa parah lukanya. Dia bertarung sampai
titik darah penghabisan, seolah nyawanya memang dirancang untuk habis di medan
ini.
Dahlia memang pantas disebut sebagai
bintang muda paling cemerlang!
Dibandingkan dengannya, Louis, yang
juga disebut genius di kota Srijaya, tampak sangat biasa saja.
Melihat semua itu, siapa pun takkan
mampu menahan gejolak hati mereka.
Adriel merasakan penglihatannya
perlahan kabur. Di depannya, dia melihat Daniel dan para tetua lain. Rambut
putih mereka berantakan, wajah penuh luka, tetapi masih memancarkan kebulatan
tekad. Tubuh mereka bersimbah darah saat melesat ke medan perang tanpa gentar.
Di sisi lain, Leony bertarung dengan
mata memerah. Kesedihan dan kemarahan bercampur di wajahnya.
Dia melawan tanpa ragu, menjadikan
tubuhnya sebagai perisai hidup yang menahan pedang dan senjata musuh. Darahnya
memancar seperti bunga api yang mekar di udara, indah nan tragis.
Darah dan tulang menjadi saksi dendam
abadi mereka!
Buugh!
Dahlia, yang memikul tekanan paling
besar, dikeroyok tanpa ampun. Salah satu Bayang Merah menyerangnya dengan tinju
keras, mengejeknya dengan tawa penuh penghinaan, "Masih nggak mau
menyerah? Kalau begitu, mati saja!"
Pukulan itu membuat tubuh Dahlia
terpental ke belakang. Darah segar menyembur dari mulutnya, wajahnya yang pucat
makin lusuh. Namun, ada keindahan tragis dalam sosoknya, seolah dia tengah
memberikan persembahan terakhir dalam hidupnya.
Dia melihat Bayang Merah, yang kini
berubah menjadi bayangan merah terang, melesat menuju Adriel.
"Biar aku lakukan sesuatu
untukmu, meski hanya sedikit," bisiknya.
Tanpa ragu, dia menopang tubuhnya
dengan pedang. Seperti ngengat yang terbang ke api, dia melompat dengan
keberanian terakhir, bersiap mengorbankan diri untuk melindungi Adriel.
Darahnya terpercik ke langit biru.
"Serang! Habisi mereka! Hari ini
adalah hari kematian kita bersama mereka!" teriak Legan dan para pendekar
lainnya, menyulut semangat juang yang tak tertahankan.
Medan perang pun meledak dalam
kegilaan!
Jeritan amarah bercampur deru darah,
menciptakan pemandangan yang begitu menggetarkan.
Namun, di tengah hiruk-pikuk itu,
terdengar suara lirih yang sangat pelan, berbeda dari segala teriakan yang
memekakkan telinga, "Mundur."
Suara itu seperti setetes air yang
jatuh ke danau, nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat semua orang
terdiam sejenak.
Mereka menoleh, terkejut melihat
Adriel berdiri dengan tubuh lemah, perlahan melangkah ke depan. Wajahnya pucat,
suaranya tetap tenang, tetapi penuh keyakinan.
"Kalian semua, mundur,"
ujarnya pelan.
"Biar kami yang
melakukannya," lanjutnya.
Dia melangkah mendekati Bayang Merah
dengan mantap.
Di belakangnya, Steven dan yang
lainnya terkapar di tanah, wajah mereka pucat pasi, tubuh kering seperti habis
terkuras.
Namun, di tengah keheningan itu,
Liana perlahan membuka matanya.
Melihat hal itu, wajah Bayang Merah
berubah drastis. Dia berteriak panik, "Cepat, hindari dia! Wanita itu
sudah pulih! Ini tugas Guru!"
Para murid Pembantai Darah langsung
mundur, wajah mereka dipenuhi ketakutan.
Namun, Adriel hanya tersenyum tipis
dan berkata, " Kalian sudah terlambat."
Boom! Kilatan petir menyambar,
memekakkan telinga. Liana berubah menjadi cahaya petir yang menyilaukan,
melesat seperti bintang jatuh. Dalam sekejap, dia menerobos barisan musuh,
meninggalkan tubuh-tubuh penuh luka dengan darah yang berserakan.
Sungguh mengerikan!
Separuh pasukan Pembantai Darah
langsung tewas di tempat!
Sementara itu, Liana melesat ke dalam
kabut hitam, suaranya menggema dari langit, penuh dengan kekuatan dan
tantangan, "Pembantai Darah, maju dan bertarunglah!"
Di daratan, Bayang Merah yang melihat
rekan- rekannya tercerai -berai segera berusaha mundur untuk menunggu sang guru
turun tangan.
Namun, saat ia berbalik, seorang
pemuda dengan kepalan tangan yang bersinar keemasan telah berdiri di depannya.
Adriel menatapnya dengan kelelahan yang terpancar di wajah, tetapi nada
bicaranya tegas, "Kamu mencuri darah ayahku, melukai kakakku. Sekarang,
mari kita hitung dendam ini."
No comments: