Bab 16
Menurut aturan Kerajaan Nuala, batas
terakhir membayar utang itu di tengah malam.
Apa yang sudah dilakukan Budi?
Wira memang tidak melihat apa yang
sudah terjadi. Namun, saat melihat pintu aula utama yang roboh, Wulan yang
berlinang air mata, tangannya yang bengkak dan memar, pisau dan gunting yang
ada di tangan anak buah Budi serta para kerabat yang memegang tongkat kayu,
Wira langsung mengerti apa yang terjadi.
“Suamiku!”
Saat semua anak buah Budi sedang
lengah, Wulan mengambil kesempatan untuk berlari keluar dari aula utama. Dia
langsung melemparkan diri ke dalam pelukan Wira dan menangis tersedu-sedu.
“Jangan takut, aku sudah pulang!”
Wira mengelus rambut panjang Wulan sambil
menghiburnya. Kemudian, dia mengangkat tangan Wulan yang bengkak dan memar
sambil bertanya, “Masih sakit?”
“Nggak sakit lagi!”
Meskipun Wulan masih merasa tangannya
sangat sakit, dia tetap memaksakan seulas senyum. Saat melihat semua warga desa
yang menatap mereka, Wulan buru-buru bersembunyi di belakang Wira sambil
tersipu.
Wulan merasa sangat malu karena sudah
memeluk suaminya dan bertukar kata-kata manis di hadapan semua orang.
Semua orang tidak keberatan akan hal
itu. Mereka sedang melihat jubah sutra yang dipakai Wira serta pakaian baru
Danu dan Sony.
Di pedesaan, orang-orang memakai
pakaian sederhana yang terbuat dari katun. Namun, mereka bertiga malah memakai
pakaian mewah dari sutra. Jadi, semua orang pun menatap mereka dengan bingung.
Budi berkata dengan merendahkan,
“Bisa-bisanya kamu pakai pakaian bagus dan bermesra-mesraan di hadapanku.
Memangnya 40 ribu gabakku sudah terkumpul?!”
Jubah sutra yang dipadu dengan giok
dan tas wewangian sudah memakan hampir 10 ribu gabak.
Bahkan Budi yang mempunyai kekayaan
sebesar 2 juta gabak juga keberatan membeli pakaian yang begitu bagus.
Hanya orang-orang kaya di ibu kota
provinsi yang rela menghabiskan uang untuk penampilan mereka.
Agus hanya menonton seluruh
kejadiannya dengan acuh tak acuh. Setelah melihat ketiga orang yang berpakaian
mewah itu, dia juga tidak lagi mempersulit warga.
Herman pun maju dan berkata, “Wira,
kami semua bisa pinjamkan 20 ribu gabak. Asal kamu punya 20 ribu gabak sisanya,
utang ini pasti bisa dibayar lunas!”
Semalam, Hasan sudah berpesan padanya
untuk mengumpulkan uang dari orang yang bersedia membantu. Jadi, Wira bisa
menggunakannya apabila uang penjualan ikan tidak cukup.
“Makasih atas niat baik semuanya!”
Setelah mengucapkan terima kasih,
Wira menatap Budi dan mendengus. “Aku punya uangnya. Gimana dengan surat
perjanjian dan taruhan kita?”
“Serahkan uang .... Ah!”
Sebelum Budi sempat menyelesaikan
kata-katanya, Wira melemparkan empat batang uang perak ke kaki Budi.
Sebatang uang perak nilainya 10 ribu
gabak. Empat batang uang perak sudah cukup untuk membayar utang 40 ribu gabak
Wira!
Setelah melihatnya, Wulan pun
menangis. ‘Suamiku benar-benar bisa menghasilkan 40 ribu gabak untuk bayar
utang!’
Para warga dusun juga menghela napas
lega.
Jika ada kerabat mereka yang menjadi
budak orang, mereka juga akan ditertawakan orang.
Agus berkata dengan terkejut, “Wira,
penjualan ikanmu nggak mungkin bisa menghasilkan 40 ribu gabak. Keluarga Wulan
juga nggak mungkin bersedia pinjamin uang untukmu. Dari mana kamu dapatkan uang
ini?”
Wira menjawab dengan dingin, “Apa
hubungannya sama kamu?”
Saat di depan pintu tadi, Wira sudah
mendengar semuanya. Agus bukan hanya tidak membantu, tetapi malah mempersulit
warga.
Agus pun langsung malu setelah
mendengar jawaban Wira.
“Ini bukan uang perak, semuanya
terbuat dari timah. Ini uang palsu!”
Budi memungut sebatang uang perak,
lalu menunjukkannya pada Agus. “Pak Agus, benar, ‘kan?”
“Palsu?” Agus melirik uang perak itu
tanpa memegangnya. “Aku jarang pakai uang perak. Jadi, nggak bisa bedain itu
asli apa palsu. Pak Budi lihat saja sendiri!”
Uang perak itu sebenarnya asli. Agus
sudah tahu rencana Budi, tetapi tidak mau ikut terlibat.
Jika Agus membela Wira, dia akan
menyinggung Budi.
Jika Agus membantu Budi memfitnah
Wira, para warga dusun akan memakinya apabila hal ini terbongkar.
Setelah mendengar kata-kata Budi,
warga dusun juga terkejut.
Di desa, jarang ada transaksi
jual-beli. Para warga desa biasanya hanya menggunakan koin perunggu. Jadi,
mereka juga tidak pernah melihat uang perak.
Danu dan Sony pun murka.
Apa Budi sudah buta? Dia bahkan tidak
bisa membedakan uang perak yang asli dan palsu.
Wulan pun berkata dengan cerdik,
“Hei, jangan memfitnah! Kamu tahu jelas uang perak itu asli apa palsu. Kamu
cuman mau menipu kami biar bisa merebut semua yang dimiliki Wira! Kami nggak
bakal tertipu! Cepat keluarkan surat perjanjian dan surat taruhannya! Kalau
nggak, kami bakal tuntut kamu ke pengadilan daerah!”
Para warga dusun pun tersadar.
Pantas saja meskipun sudah mengumpulkan
cukup uang, ada banyak orang yang tetap tidak bisa mendapatkan kembali tanah
mereka dari rentenir.
Ternyata meskipun seseorang memiliki
uang, para rentenir juga tidak mau menerimanya agar dia melanggar perjanjian.
Dengan begitu, para rentenir sudah bisa menyita tanahnya.
Danu dan Sony sangat marah hingga
ingin turun tangan untuk memukul Budi.
Tidak ada yang tahu demi mengumpulkan
40 ribu gabak ini, mereka sudah bekerja sangat keras dari kemarin hingga hari
ini.
Saat mereka sudah mengumpulkan cukup
uang untuk membayar utang, Budi malah menggunakan cara licik seperti ini.
“Uang perak ini palsu! Kalau nggak
percaya, ayo kita ke pengadilan daerah! Suruh saja pemimpin kabupaten yang
menilainya!”
Budi sama sekali tidak takut.
Hari sudah hampir gelap, mereka juga
hanya bisa pergi ke pengadilan daerah besok pagi. Dengan begitu, Wira akan
termasuk melanggar perjanjian.
“Kamu!” Wulan sangat marah hingga
tidak bisa berkata-kata.
Dalam menghadapi penipu seperti ini,
Wira juga hanya bisa menahan amarahnya. “Kalau kamu nggak mau terima uang
perak, kamu mau terima apa?”
“Koin perunggu!” Budi berkata dengan
percaya diri, “Bayar 40 ribu gabak itu dengan koin perunggu. Aku mau kamu bayar
utang hari ini juga! Kalau nggak, kamu termasuk melanggar perjanjian. Rumah,
tanah, dan istrimu bakal jadi milikku. Kamu juga harus jadi budakku!”
Setelah mendengar ucapan Budi, Agus
pun menggeleng.
Dengan koneksi dan karakter Wira,
sudah cukup susah baginya untuk mengumpulkan 40 ribu gabak. Mana mungkin dia
bisa mendapatkan 40 ribu gabak koin perunggu dalam sekejap.
Hari sudah mau gelap, Wira juga sudah
tidak sempat membawa uang perak itu ke kota kecil untuk ditukarkan dengan koin
perunggu.
Orang yang bisa mengeluarkan 40 ribu
gabak koin perunggu di dusun ini juga hanya Agus.
Jika Wira memohon padanya, dia juga
tidak mungkin setuju karena takut menyinggung Budi.
“Kenapa kamu malah menindas orang!”
Setelah memahami niat jahat Budi,
para warga dusun pun marah besar.
“Mau koin perunggu?” Wira berkata
dengan kesal, “Doddy, bawa 40 ribu gabak koin perunggu itu kemari.”
Tadi saat melewati kota kecil, Wira
sudah menyuruh Hasan untuk menukarkan 100 ribu gabak koin perunggu agar bisa
digunakan di dusun.
Setelah mendengar ucapan Wira, para
warga dusun pun tercengang.
“Hei, ini 40 ribu gabak koin
perunggu. Agak berat, terima yang baik!”
Doddy membawa sekantong koin perunggu
ke dalam rumah, lalu menaruhnya ke tangan Budi dengan marah.
Jika tidak dicegah ayahnya, Doddy
pasti sudah menghajar Budi. Sebab, Budi benar-benar sudah keterlaluan!
Sebuah koin perunggu beratnya 4 gram,
1.000 buah sudah 4 kilogram. Jadi, berat 40 ribu gabak koin perunggu adalah 160
kilogram.
Gubrak!
Budi pun jatuh tertimpa koin perunggu
itu. Dia langsung berteriak, “Bajingan! Kenapa kalian masih melongo! Cepat
papah aku berdiri!”
Keempat anak buahnya buru-buru
menggeser kantong koin yang menimpa Budi dan memapah Budi untuk berdiri.
Sekantong koin perunggu itu berjumlah
tepat 40 ribu gabak!
Agus pun tercengang!
Jika menambahkan 40 ribu gabak uang
perak, 40 ribu gabak koin perunggu, dan harga pakaian ketiga orang itu,
jumlahnya sudah 100 ribu gabak.
Wulan juga terkejut. ‘Bahkan kalau
Kakak bersedia membantu, dia juga nggak bakal meminjamkan uang sebanyak ini.
Sebenarnya, dari mana Wira mendapatkan uang sebanyak ini?’
Budi menghitung koin itu berkali-kali
hingga langit mulai gelap.
Wira mengaitkan jarinya ke arah Budi
sambil berkata, “Keluarkan surat perjanjian dan surat taruhannya!”
Budi masih tidak bersedia
mengeluarkannya. “Koin perunggu ini sudah usang, nggak bisa dipakai lagi. Aku
nggak mau terima. Kalau kamu mau bayar utang, pakai uang emas.”
Uang emas tidak dimiliki orang biasa.
Bahkan Budi sendiri juga tidak mempunyai uang emas.
Kali ini, Wira pasti tidak bisa
mengeluarkannya.
Agus juga mengangguk. Jangankan Wira,
bahkan Agus yang merupakan orang terkaya di dusun juga tidak mempunyai uang
emas.
Budi jelas-jelas sedang mempersulit
Wira. Para warga dusun yang menyadari hal ini pun langsung marah.
Kesabaran Doddy juga sudah habis.
“Hei! Dikasih uang perak, kamu bilang palsu. Dikasih koin perunggu, kamu bilang
sudah usang. Sekarang, kamu malah minta uang emas. Aku mau tahu alasan apa lagi
yang bakal kamu lontarkan! Kamu memang sengaja nggak mau kasih Kak Wira bayar
utang lantaran mau monopoli propertinya, ‘kan! Berani banget kamu menindas Kak
Wira! Aku pasti menghajarmu! Dasar bajingan!”
‘Hajar saja!’ teriak para warga dusun
dalam hati.
Budi malah hanya menatap Doddy dengan
sinis. “Aku ini pejabat pemerintah yang terdaftar. Kalau kamu berani memukulku,
kamu bakal dihukum pemimpin kabupaten!”
“Nggak masalah, aku terima!”
Doddy langsung mengepalkan tangannya
dan hendak meninju Budi, tetapi Wira menahannya.
Para warga dusun pun melepaskan
tongkat kayu yang mereka pegang.
Meskipun pejabat seperti Budi bukan
termasuk pejabat tinggi, dia tetap merupakan orang pemerintah bagi rakyat
jelata.
Di Kerajaan Nuala, rakyat jelata yang
berani memukul orang pemerintah akan dihukum dengan berat.
Setelah melihat semua orang terkejut,
Budi pun berkata dengan sombong, “Pemboros, matahari sudah mau terbenam. Kalau
kamu nggak bisa serahkan uang emas padaku, itu artinya kamu sudah melanggar
perjanjian.”
Agus menggeleng.
Wira pasti sudah sangat kesulitan
untuk mengumpulkan uang perak dan koin perunggu. Mana mungkin dia punya uang
emas.
Hari ini, Wira akan sepenuhnya
bangkrut dan tidak bisa bangkit lagi.
“Mau mempersulitku dengan uang emas?
Jangan mimpi!”
Wira pun melemparkan sesuatu ke
lantai dengan santai.
Saat melihat barang di atas lantai,
para warga dusun dan Agus langsung membelalak!
“Aku memang mau mempersulitmu. Kalau
kamu nggak bisa kasih aku uang emas, tanah dan rumahmu akan menjadi milikku.
Termasuk istri cantikmu itu!”
Salah seorang anak buah Budi berkata,
“Tu ... Tuan, coba lihat itu!”
“Lihat apa? Kamu kira yang dia lempar
itu benar-benar emas?” cibir Budi.
Dia melirik ke lantai, lalu langsung
membelalak. Setelah membungkuk untuk melihat jelas, ekspresinya berubah menjadi
sangat suram.
No comments: