Bab 17
Cahaya matahari terbenam menyinari
uang emas itu hingga terlihat sangat berkilau.
Budi memungut uang emas itu, lalu
menggosoknya ke baju sebelum menggigitnya. Kemudian, ekspresinya pun bertambah
muram. “Dari mana kamu mendapatkannya!”
Sebatang uang emas sudah bernilai 100
ribu gabak. Ditambah dengan uang perak dan koin perunggu, totalnya sudah 180
ribu gabak. Kenapa Wira bisa punya begitu banyak uang?!
“Kamu nggak perlu tahu!” Wira
langsung menjawab dengan ketus, “Aku cuman mau tanya, itu emas apa bukan?”
Para warga dusun juga menatap Budi.
Wira sudah memberikan semua yang Budi
minta, mereka mau tahu bagaimana rentenir ini mau mencari alasan lagi.
“Emas ini agak keras, pasti sudah
dicampur dengan perunggu. Aku cuman terima emas murni!”
Budi mengabaikan bekas gigitannya di
batang emas, lalu mencari alasan lain untuk menolak.
“Dicampur perunggu? Hei! Memangnya
gigimu begitu kuat sampai bisa meninggalkan bekas gigitan di perunggu? Kenapa
kamu begitu nggak tahu malu?”
Amarah semua warga dusun sudah
terpancing.
Danu dan Sony juga mengepalkan tangan
mereka. Budi sudah keterlaluan.
“Dasar nggak manusiawi! Meski harus
masuk penjara, aku juga harus menghajarmu!”
Amarah Doddy pun meledak. Dia hendak
bertindak, tetapi malah dicegah Wira.
Agus juga mengerutkan keningnya.
‘Kali ini Budi memang sudah keterlaluan.’
Wulan juga kebingungan. Dia sudah
tidak tahu harus berbuat apa.
“Budi, hari ini kamu memang sudah
memutuskan untuk mempersulitku, ya?”
Wira menatapnya tanpa ekspresi.
Tatapannya terlihat sangat tajam dan mengerikan.
“Benar!” Budi tersenyum sinis sambil
berkata, “Asalkan aku nggak setuju, kamu nggak bakal bisa bayar utang. Kalau
kamu nggak terima, kita boleh pergi ke pengadilan daerah. Tapi hari ini, kita
sudah nggak bisa pergi ke sana. Besok, kamu sudah jadi budakku. Kamu punya hak
apa lagi untuk menuntutku?”
Wira mengerutkan keningnya. “Jadi,
kamu mau bertindak seenaknya?”
Budi berkata dengan mendominasi,
“Benar! Memangnya kamu bisa apa? Aku punya anak buah dan kedudukan, sedangkan
kamu cuman pemboros yang .... Ah!”
“Nggak mau selesaikan baik-baik?
Oke!”
Wira sudah tidak bisa menahan
tindakan Budi yang keterlaluan. Dia pun langsung meninju wajah Budi.
“Ah!”
Budi terpental ke lantai, sudut
bibirnya juga berdarah. Dia merasa takut, tetapi juga marah. “Ka ... kamu
berani memukulku?”
Sebagai kepala desa dari Desa Pimola,
bahkan pemimpin dusun juga harus bersikap hormat terhadapnya. Para warga desa
juga langsung ketakutan saat melihatnya. Jadi, belum ada yang pernah
memukulnya.
Apalagi, Budi juga datang bersama
empat anak buahnya. Ini juga merupakan alasan kenapa dia berani bersikap
seenaknya.
Bagaimanapun juga, Budi memiliki
banyak anak buah dan juga mengerti jelas tentang sistem pengadilan daerah.
Para warga dusun juga tercengang.
Tidak ada yang menyangka Wira berani memukul Budi.
Agus langsung bersyukur dia tidak
lanjut membela Budi setelah Wira kembali.
“Memangnya kamu pikir kamu itu hebat?
Kamu cuman seorang pejabat kecil yang nggak ada apa-apanya! Tapi, kamu malah
berani menindas warga desa?”
“Warga desa memang nggak berani
memukulmu, tapi aku berani! Kalau kamu punya nyali, silakan tuntut aku ke
pengadilan daerah! Aku mau tahu pihak pengadilan lebih percaya sama kamu atau
aku yang merupakan seorang pelajar! Aku nggak percaya kamu bisa memenangkan
hati pemimpin kabupaten!”
Wira langsung memaki dan menendang
Budi yang tersungkur di lantai.
Dia benar-benar tidak menyangka
pejabat kecil di era ini begitu arogan.
Berhubung pemilik tubuh sebelumnya
sangat boros dan berkarakter buruk, Budi mengira tidak akan ada yang membantunya.
Jadi, Budi pun ingin mencelakainya.
Sayangnya, Budi sudah salah. Wira
sudah melewati dimensi dan datang ke tempat ini. Dia tidak akan membiarkan
dirinya ditindas.
“Ah! Beraninya kamu memukulku! Kamu
memang sudah bosan hidup! Cepat hajar dia!” teriak Budi.
Keempat anak buah Budi hendak
menyerang Wira, tetapi Doddy langsung menjatuhkan mereka sendirian.
“Dia berlatih bela diri!” Budi
langsung ketakutan.
Selama ini, Budi berani bersikap
begitu arogan karena mempunyai status sebagai kepala desa dan mempunyai anak
buah.
Sekarang, Doddy malah bisa dengan
mudahnya mengalahkan keempat anak buahnya yang jago berkelahi. Sementara Wira
juga tidak takut pada statusnya sebagai kepala desa.
Gawat!
Wira terus menendangnya tanpa ampun.
“Ah ....”
No comments: