Perjalanan Dimensi Waktu - Bab 18

  

Bab 18

 

Seluruh badan Budi terasa sakit. Dia meringkuk sambil menutup kepalanya dan memohon, “Pak Agus, kamu bakal biarkan aku dipukul begitu saja? Tunggu saja waktu musim panen nanti!”

 

Setelah memikirkan hal penting itu, Agus buru-buru menasihati Wira, “Wira, ayo kita bicara baik-baik. Jangan ....”

 

“Diam! Kenapa tadi kamu nggak nasihati dia untuk bicara baik-baik sama aku!”

 

Wira bahkan tidak menoleh dan lanjut menendang Budi.

 

Agus pun terdiam. Dia hanya bisa menatap Wulan, lalu berkata, “Bujuklah suamimu. Kalau orangnya mati, masalahnya bisa jadi besar.”

 

Wulan hanya cemberut tanpa berkata apa-apa. Dia membatin, ‘Suamiku nggak bodoh. Dia nggak bakal bunuh si Tua Bangka itu.’

 

Dari tadi, Wulan sudah memperhatikan Wira. Selain tinju pertama yang dilayangkan ke wajah Budi, Wira hanya menendang kaki, pantat, punggung, dan tempat-tempat tidak berbahaya lainnya. Jadi, Budi tidak akan mati.

 

Melihat Wulan yang tetap diam, Agus menatap ke arah Danu, Doddy, dan Sony. Namun, mereka juga tidak memedulikan Agus.

 

Agus memandang para warga dusun lagi.

 

Para warga dusun malah terlihat bersemangat dan ingin ikut menendang Budi.

 

Para warga desa selalu ditindas Budi, dari pemerasan pajak panen dan pajak-pajak lainnya hingga kerja rodi serta kontribusi lainnya. Jadi, mereka memang sudah dendam pada Budi. Hanya saja, mereka tidak berani melakukan apa-apa.

 

Buk, buk, buk ....

 

Setelah menendangnya sampai capek, Wira pun mencari tongkat kayu dan lanjut memukul Budi.

 

“Tuan Wira, aku sudah salah! Aku nggak seharusnya berpikiran untuk merebut propertimu! Aku terima pembayaran utangmu! Lepaskanlah aku! Aku sudah nggak tahan!”

 

Saat melihat Wira tidak bermaksud untuk berhenti, Budi pun akhirnya memohon.

 

Setelah mendengar ucapan Budi, Wira baru membuang tongkat kayunya.

 

Budi pun menarik napas lega. Dia diam-diam berkata dalam hati, ‘Akhirnya berhenti juga. Nanti aku baru balas dendam lagi!’

 

Plak! Plak!

 

Wira menampar wajah Budi. “Katakan padaku, apa uang perak, koin perunggu, dan uang emasnya itu uang palsu?”

 

“Nggak, itu semua uang asli. Aku sengaja berbohong supaya bisa merebut propertimu!”

 

Saat melihat tatapan tajam Wira, niat Budi untuk balas dendam pun sirna.

 

Plak! Plak!

 

Wira menamparnya lagi. “Sekarang, aku sudah bisa bayar utangnya?”

 

“Bisa!” Budi buru-buru mengangguk.

 

Plak! Plak!

 

Wira menampar sambil bertanya, “Jadi, kamu mau uang emas, uang perak, apa koin perunggu?”

 

“Uang perak!” jawab Budi dengan gemetar.

 

Uang emas kebanyakan, sebatang uang emas sudah melewati 40 ribu gabak. Sementara koin perunggu terlalu berat.

 

Plak! Plak!

 

Wira menamparnya lagi. “Sekarang, suka-suka aku mau bayar pakai apa, yang penting pakai uang! Keluarkan surat pinjaman dan surat taruhan itu. Hitung sendiri koin perunggunya sampai 30 ribu gabak, lalu pergi!”

 

Budi berkata dengan memelas, “Kami sudah kamu pukuli hingga babak belur, mana bisa kami angkat begitu banyak koin perunggu lagi.”

 

Koin perunggu sebanyak 30 ribu gabak beratnya sudah 120 kilogram.

 

Plak! Plak!

 

Wira menamparnya lagi. “Jadi, kamu nggak setuju?”

 

“Setuju! Setuju!”

 

Berhubung takut dipukul lagi, Budi buru-buru mengeluarkan surat pinjaman dan surat taruhan itu. Kemudian, dia perlahan-lahan bangkit sambil menahan rasa sakit.

 

Wira mencibir, “Kamu memang pantas diberi pelajaran! Cepat bawa uangmu dan pergi dari sini!”

 

Budi merasa malu sekaligus marah. Dia langsung menyuruh keempat anak buahnya untuk mengangkat 30 ribu gabak koin perunggu itu, lalu berjalan keluar dengan tertatih-tatih.

 

“Aaah ....”

 

Setelah meninggalkan Dusun Darmadi, Budi baru berteriak kesal. Amarahnya sudah sepenuhnya meledak.

 

Budi sudah meminjamkan 30 ribu gabak kepada Wira. Alhasil, dia bukan hanya tidak menerima bunga sepeser pun, tetapi malah dipukul hingga babak belur.

 

Setelah mendominasi Desa Pimola selama belasan tahun, ini adalah pertama kalinya dia menerima penghinaan yang begitu besar!

 

Budi sudah menerima uang dari Tuan Winarto dari ibu kota provinsi. Apabila gagal menjatuhkan Wira, dia tidak akan bisa mempertanggungjawabkannya kepada Tuan Winarto.

 

“Pak Budi!” Seorang anak buahnya berkata, “Mau panggil orang dari Dusun Silali buat balas dendam? Selama bertahun-tahun, kita nggak pernah ditindas seperti ini!”

 

“Nggak, memangnya kenapa kalau bisa memukulnya? Aku mau dia jatuh miskin! Aku juga mau dia mati! Kalian cepat pergi jalankan tugas ini!”

 

Budi sangat kesal. Dia pun merencanakan sebuah rencana buruk.

 

 

 

 

 

Bab Lengkap 

Perjalanan Dimensi Waktu - Bab 18 Perjalanan Dimensi Waktu - Bab 18 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on January 14, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.