Bab 8
“Beri hormat ke pemilik tanah?”
Setelah melihat postur sekelompok
orang ini, Wira baru tersadar. “Kalian datang buat minta biaya perlindungan?”
Danu dan Doddy mengepalkan tangannya
dengan marah. Hasan yang berdiri di belakang Wira juga mengerutkan keningnya.
Sony buru-buru berbisik pada Wira,
“Wira, aku lupa kasih tahu. Dia itu bos ikan Pasar Timur, namanya Iwan Projo.
Dia punya julukan ‘si Perusuh’. Anak buahnya kira-kira ada sekitar belasan
orang. Dia selalu ambil keuntungan 20% dari siapa pun yang mau jual ikan di
Pasar Timur.”
“Dua puluh persen?”
Wira langsung naik pitam. “Kalian
ambil keuntungan yang lebih banyak daripada pemerintah?”
Mereka sudah bersusah payah untuk
menangkap ikan selama dua hari dan harus berjalan kaki ke ibu kota provinsi
untuk menjual ikan. Pemerintah hanya meminta keuntungan 10%, tetapi
preman-preman ini malah minta 20%?
Setelah mendengarnya, Doddy langsung
marah. Bahkan Danu yang biasanya sangat tenang juga mengepalkan tangannya
erat-erat.
Preman-preman ini bahkan lebih kejam
daripada pemerintah.
Melihat reaksi kedua putranya, Hasan
langsung memelototi mereka dan menggeleng.
“Kalau mau jualan ikan di Pasar
Timur, kalian harus kasih aku keuntungan 20%. Ini adalah aturan yang kubuat.
Kalau nggak mau, silakan tinggalkan ikannya dan pergi!” ujar Iwan sambil
melambaikan tangannya dengan galak.
Delapan pria yang terlihat seperti
berandalan langsung berjalan maju. Ada yang mengepalkan tangan, ada yang
memegang tongkat kayu, ada juga yang bermain dengan belati di tangan mereka.
Tatapan mereka semua terlihat sangat garang.
Wira mempertimbangkan baik-baik
situasinya saat ini.
Kelompok Iwan totalnya ada sembilan
orang. Mereka juga mempunyai senjata dan terlihat seperti preman yang sudah
sering berkelahi.
Selain Hasan yang merupakan pensiunan
tantara, mereka berempat hanyalah petani. Apalagi Wira, dia sama sekali tidak
mungkin bisa menang dalam berkelahi.
Iwan juga merupakan penguasa lokal
Pasar Timur. Kalau mereka benar-benar berkelahi, dia mungkin bisa mendapatkan
bala bantuan.
Namun, Wira juga tidak rela
menyerahkan 20% keuntungan penjualannya.
“Kita juga nggak bakal berpangku
tangan kok!” Iwan melambaikan tangannya, lalu seorang bawahannya mendekat
dengan membawa sebuah timbangan, “Waktu kalian jual ikan, kami bakal bantu
timbang beratnya. Jadi kalian nggak perlu terlalu capek.”
“Membantu?” dengus Wira.
Wira tahu maksud Iwan. Mereka akan
menimbang ikannya dan menyimpan uang lebih dari pembeli. Pembeli yang merasa
tertipu akan melapor ke pengadilan daerah. Kemudian, preman-preman ini akan
mengatakan bahwa mereka menerima komisi untuk melakukannya.
“Setuju apa nggak? Aku nggak mau
buang-buang waktu sama kalian!”
Begitu Iwan menjentikkan jarinya,
delapan orang preman langsung maju.
Danu dan Doddy mengepalkan tinju
mereka, tetapi Hasan memelototi mereka dan menggeleng lagi.
Akal sehat Wira menyuruhnya untuk
tunduk pada sekelompok preman ini, tetapi mulutnya malah berkata, “Aku nggak
takut sama kamu!”
Sony buru-buru membujuk Wira, lalu
meminta maaf pada Iwan, “Kak Iwan, jangan marah. Kita semua toh teman. Kami
bakal serahkan uangnya. Tapi temanku ini harus bayar utang besar. Bisa nggak
kasih potongan harga dulu untuk sementara. Kalau utang temanku ini sudah lunas,
kami bakal lunasi kekurangannya.”
“Teman?” Iwan langsung terlihat
bersemangat dan menggerakkan jarinya untuk menyuruh Sony mendekat. Saat Sony
sudah sampai di hadapannya, Iwan langsung menampar dan menendang Sony hingga
terpental. Kemudian, dia memaki, “Dasar anak sialan! Kamu itu siapa? Siapa
temanmu? Patahkan sebelah kakinya, lalu usir dia dari Pasar Timur!”
Empat preman langsung maju dan mulai
menghajar Sony.
Iwan menatap Wira, lalu berkata
sambil tersenyum sinis, “Nak, kamu nggak mau nurut ya?”
Bagi Iwan, orang yang tidak menuruti
kata-katanya harus dihajar supaya mereka takut. Jika tidak, akan makin banyak
orang di Pasar Timur yang membantahnya.
Wira merasa terancam lagi setelah
melihat Sony yang dipukul. Doddy dan Danu juga sangat marah dan ingin
bertindak, tetapi Hasan masih melarang mereka meskipun dia sendiri juga sudah
kesal.
“Dasar berengsek!”
Wira yang awalnya sudah siap untuk
mengalah pun menjadi murka. Dia berbalik dan mengeluarkan sebatang kayu dari
gerobak, lalu langsung menghantamkannya ke kepala Iwan. Dia juga menyerang
keempat preman yang menghajar Sony sambil berteriak, “Paman Hasan, Danu, Doddy,
cepat pergi lapor ke pihak berwajib!”
Wira rela membayar keuntungan 20%,
tetapi dia tidak bisa terima Sony dihajar.
Sony sudah menemaninya datang menjual
ikan, tetapi malah dipukuli lagi setelah membantunya berbicara. Wira tidak bisa
tinggal diam.
Wira memukul keempat orang yang
sedang menghajar Sony, lalu menarik Sony dan hendak kabur.
Semua orang di Pasar Timur langsung
tercengang setelah melihat kejadian ini!
Tidak ada orang yang menyangka bahwa
Wira berani memukul Iwan.
“Ayah!”
“Ayah!”
Danu dan Doddy sudah murka, mereka
pun langsung menatap ke arah Hasan lagi dan berteriak pada saat yang bersamaan.
“Haish, lakukanlah!”
Hasan pun terpaksa setuju setelah
melihat situasinya.
Danu dan Doddy langsung gembira dan
menyerang sekelompok orang itu.
“Ah .... Beraninya kamu memukulku!”
Iwan menutup kepalanya sambil berteriak kesakitan, lalu berdiri dengan
terhuyung-huyung. Saat melihat tangannya dilumuri darah, dia pun berteriak
dengan marah, “Hajar mereka habis-habisan, terutama si Bajingan itu!”
“Beraninya kalian memukul Kak Iwan!
Sudah bosan hidup, ya!”
Kedelapan preman yang terlihat garang
itu langsung berpencar. Mereka menyerang kelompok Wira dengan tongkat kayu dan
belati mereka.
“Sony, cepat pergi!”
Wira mendorong Sony sambil
mengayunkan tongkat kayu di tangannya dengan sembarangan.
“Nggak, aku nggak mau pergi!”
Meskipun Sony sudah ketakutan, dia
tetap memberanikan diri untuk mengadang di depan Wira.
“Mau kabur? Jangan harap kalian bisa
kabur! Patahkan tangan dan kaki mereka!” teriak Iwan dengan kesal.
Jika dia tidak memberi pelajaran pada
kelima orang ini, tidak ada orang di Pasar Timur yang akan tunduk padanya lagi.
Begitu kedelapan preman itu mau
bertindak, Danu dan Doddy langsung menyerbu mereka.
Danu menarik tangan Wira dan Sony,
lalu langsung berlari keluar dari pengepungan para preman.
Kedelapan orang itu pun langsung
menyerang Doddy!
“Selama ada aku, Zabran Darmadi,
kalian nggak bakal bisa memukul Kak Wira!”
Doddy langsung berjongkok dan
menyandung kaki para preman itu hingga jatuh. Begitu berdiri, mereka langsung
ditinju Doddy lagi.
Dalam sekejap, mereka semua langsung
tersungkur di lantai sambil berteriak kesakitan. Tidak ada seorang pun yang
bisa berdiri lagi!
“Dia berlatih bela diri!”
Iwan yang sudah menyaksikan aksi
Doddy pun buru-buru kabur.
Namun, sebelum dia sempat kabur jauh,
Doddy sudah menendang punggungnya.
Teriakan kesakitan Iwan pun menggema
di seluruh Pasar Timur.
Semua pedagang dan penduduk di Pasar
Timur langsung tercengang. Mereka memandang Doddy dan mengingat nama ‘Zabran
Darmadi’ yang diteriakkannya tadi.
Doddy menyeret Iwan ke hadapan Wira,
lalu berkata dengan bangga, “Kak Wira, sudah kubilang kalau aku jago
berkelahi!”
Wira membatin, ‘Aku nggak tahu kalau
kamu bisa langsung lawan sepuluh orang sendirian! Kalau tahu kamu begitu hebat,
buat apa tadi aku bersabar!’
Gubrak!
Setelah melemparkan Iwan ke hadapan
Wira, Doddy berkata dengan santai, “Kak Wira, kamu mau gimana hukum orang ini?”
“Aku sudah hantam dia sekali kok!”
Setelah itu, Wira menarik Sony dan
berkata, “Sony, tadi dia sudah menampar dan menendangmu. Sekarang, giliranmu
balas dendam!”
“Ah, nggak perlu!”
Meskipun Doddy memang kuat, Sony
tetap tidak berani memukul preman besar itu.
Setelah mendengar penolakan Sony,
Wira berkata dengan serius, “Kita nggak cari masalah, tapi kita juga nggak
takut dapat masalah. Kamu harus pukul dia balik supaya kelak dia nggak berani
cari masalah sama kamu lagi. Kalau kamu sopan sama dia, dia pasti kira kamu
takut sama dia dan bakal menindasmu lagi! Cepat pukul dia! Kalau nggak, jangan
ikut aku lagi!”
Para pedagang ikan yang sebelumnya sudah
dirugikan pun tergerak hatinya.
“Baik!”
Setelah memikirkan tamparan dan
tendangan yang diterimanya tadi, amarah Sony pun melonjak.
Saat dia baru mengangkat tangannya,
Iwan malah berkata dengan dingin, “Nak, kamu tahu aku siapa? Aku ini bawahan
petugas patroli dari pengadilan daerah. Kalau kamu berani pukul aku, jangan
harap kamu bisa keluar dari tempat ini!”
Setelah mendengar ucapan Iwan, amarah
Sony langsung sirna. Dia pun menurunkan kembali tangannya.
Namun, Wira berkata dengan serius,
“Pukul saja! Aku bakal lindungi kamu!”
Masalahnya sudah menjadi seperti ini.
Meskipun Sony tidak memukulnya, Iwan juga tidak akan melepaskan mereka.
Mereka harus membuat Iwan kehilangan
wibawanya agar dia tidak bisa bertindak seenaknya lagi di Pasar Timur.
Wira akan memikirkan konsekuensinya
lagi nanti.
Setelah melihat tatapan mata Wira
yang tegas, Sony pun memberanikan diri untuk menampar dan menendang Iwan.
Setelah itu, kemuraman dalam hatinya langsung sirna.
“Ah!” Iwan berteriak kesakitan sambil
meringkuk.
Saat melihat Iwan yang diperlakukan
seperti itu, ketakutan di dalam mata para pedagang ikan di Pasar Timur pun
berubah menjadi amarah.
“Patroli sudah datang!”
Setelah mendengar hal itu, semua
orang pun gempar.
No comments: