Bab 7
“Baik, suamiku!”
“Jangan panggil suamiku, panggil
sayang saja!”
“Nggak bisa!”
“Kenapa?”
“Sayang itu panggilan yang terlalu
mesra! Kamu baru berubah jadi baik sama aku dua hari belakangan, aku masih
belum siap panggil kamu begitu.”
“Oh ....”
Berhubung takut membuat suaminya
marah, Wulan pun mengalihkan pembicaraan, “Omong-omong, pernah ada seorang
peramal yang datang ke rumahku waktu aku masih kecil. Dia bilang, aku bisa jadi
istri pejabat ke depannya.”
“Istri pejabat?”
“Suamiku, jangan marah. Ramalan
peramal itu pasti nggak tepat, mana mungkin aku bisa jadi istri pejabat! Selama
kamu menginginkanku, aku bakal menemanimu seumur hidup.”
...
Keesokan dini hari, Hasan dan yang
lainnya sudah sampai ke rumah Wira. Setelah menaruh seluruh ember berisi ikan
ke atas gerobak, kelima orang itu pun berangkat ke ibu kota provinsi.
Sebelum mereka berangkat, Wulan
menyerahkan sebuah kantong kain merah kepada Wira, “Suamiku, kalau uang menjual
ikan nggak cukup, gadaikan saja gelang ini! Kalau masih nggak cukup, aku bakal
cari kakakku. Dia nggak mungkin nggak peduli padaku.”
“Jaga rumah baik-baik, ya! Tunggu aku
pulang!” Wira memasukkan gelang itu ke dalam sakunya. Setelah merapikan rambut
Wulan, dia pun berpamitan dengan Wulan dan berangkat ke ibu kota provinsi.
Wulan memegang wajahnya yang
tersentuh jari Wira sambil tersipu.
Semalam, kedua orang itu masih belum
berhubungan. Mereka hanya berpelukan sambil mengobrol. Akan tetapi, dia sangat
menyukai sifat suaminya sekarang.
Sekarang, Wira sangat lembut,
perhatian dan baik hati. Meskipun mereka tidak berhubungan selamanya, Wulan
sudah merasa senang bisa mempunyai suami seperti ini.
Danu dan Sony berjalan di depan untuk
membawa jalan, sedangkan Hasan berjalan di tengah sambil menarik gerobak. Wira
dan Doddy berjalan di paling belakang.
Di zaman ini, dunia masih belum aman.
Apalagi di malam hari, ada banyak perampok dan bandit yang sering berkeliaran.
Jalanannya juga tidak rata dan
berlubang. Jika tidak hati-hati, gerobak mereka bisa masuk ke lubang yang
dalam.
Hasan sudah sering melakukan
perjalanan di malam hari. Jadi, perjalanan mereka kali ini juga lancar-lancar
saja.
Langit berangsur-angsur cerah, kota
yang berada di kejauhan pun muncul di hadapan mereka.
Saat berjalan, Doddy tiba-tiba
berbisik, “Kak Wira, bantu aku ganti nama, dong!”
Mendengar permintaan Doddy, Wira pun
kebingungan.
Doddy mengeluh, “Di dusun kita, orang
yang namanya Doddy terlalu banyak. Aku mau kayak Ayah, suruh orang bantu ganti
nama. Dulu, nama ayah Wasan, sekarang sudah jadi Hasan. Lebih enak didengar,
‘kan? Kak Wira, kamu itu orang yang berpendidikan dan tahu banyak hal. Bantu
aku ganti nama, dong!”
Di Dusun Darmadi memang ada banyak
orang yang bernama Doddy. Wira pun tersenyum dan menjawab, “Kamu paling pengin
buat apa?”
Setelah mengintip punggung ayahnya,
Doddy menjawab dengan suara kecil, “Kak Wira, aku mau bergabung dengan militer.
Aku mau basmi Bangsa Agrel biar bisa mendapatkan kembali tanah kita yang
direbut mereka.”
Setelah mendengar jawaban Doddy, Wira
pun terdiam.
Bangsa Agrel dan Kerajaan Nuala sudah
berperang ratusan tahun. Mereka sudah berhasil merebut sepertiga tanah Kerajaan
Nuala. Wira tidak menyangka Doddy yang hidup miskin malah mempunyai pemikiran
seperti itu. Setelah tertegun sesaat, Wira pun menjawab, “Kalau gitu, Zabran
saja!”
Doddy langsung panik, “Zabran?
Kedengarannya kayak zebra. Zebra itu mangsa, bukan pemangsa. Nggak mau ah,
kurang bagus. Kak Wira, ganti yang lebih enak didengar, dong!”
Setelah melihat reaksi Doddy, Wira
pun merasa lucu. “Zabran itu artinya kuat dan mampu. Bukannya kamu mau membasmi
musuh? Kamu harus kuat dan mampu, dong!”
“Ah, begitu!”
Doddy langsung berseru gembira,
“Zabran, Zabran Darmadi! Keren juga, ya! Makasih, Kak Wira. Mulai sekarang
namaku Zabran, bukan Doddy lagi! Yang manggil Doddy nggak bakal kusahut!”
Wira mengerjainya, “Doddy?”
Doddy langsung menoleh dan menjawab,
“Ada apa, Kak Wira?”
Wira langsung tertawa terbahak-bahak,
“Hahaha!”
Doddy masih belum mengerti kenapa
Wira bereaksi seperti itu. Setelah sesaat, dia baru berkata dengan malu,
“Selain Kak Wira, aku nggak bakal nyahut siapa pun yang panggil aku Doddy!”
Hasan yang berjalan di depan berseru,
“Doddy, datang kemari dulu!”
“Oke!”
Doddy berjalan maju dengan muka masam
sambil membatin, ‘Selain Kak Wira dan Ayah, aku nggak bakal nyahut siapa pun
yang panggil aku Doddy!’
Danu berkata, “Doddy, kamu bantu Ayah
tarik gerobaknya dulu. Aku saja yang temani Kak Wira!”
Doddy terdiam, lalu berkata dengan
kesal, “Ya sudah, tambah satu orang lagi deh!”
Danu yang terlihat serius berjalan ke
belakang gerobak, lalu berkata dengan malu, “Kak Wira, aku juga mau ganti
nama.”
Wira berkata sambil tersenyum, “Kamu
pengin buat apa?”
Danu berbisik, “Aku nggak mau masuk
militer, tapi aku suka bela diri. Ayah bilang berlatih bela diri itu
menghabiskan banyak energi, tubuhku nggak bakal tahan kalau kelaparan.
Sementara dulu, kami selalu kurang makan. Jadi, aku nggak bisa latihan dengan
baik!”
Mata Wira langsung berbinar setelah
mendengarnya. “Kamu pernah berlatih bela diri? Siapa yang ajarin? Kamu bisa
sekaligus hadapi berapa orang?”
Danu menggaruk kepalanya dan berkata
dengan malu, “Ayah pernah ajari beberapa teknik militer. Aku juga cuman pernah
mukul Doddy!”
Kakak yang memukul adiknya mana
mungkin pakai kekuatan penuh. Wira pun bercanda, “Kalau berlatih bela diri,
kamu harus berlatih sampai jadi yang paling kuat. Gimana kalau namamu ‘Satriya’
saja?”
Danu langsung terkejut, “Ah! Kak
Wira, aku nggak sanggup terima nama yang artinya sedalam itu!”
Wira menepuk bahu Danu sambil berkata,
“Percaya saja sama diri sendiri. Tetapkan tujuanmu, lalu berusaha capai tujuan
itu. Ini bisa menyemangati dirimu sendiri!”
“Satriya Darmadi, Satriya. Emm!”
Setelah bergumam beberapa kali, Danu
pun mengangguk. Semangat juang mulai memenuhi tatapannya!
Setelah beberapa saat, Sony juga
mendekati Wira sambil menyeringai. “Kak Wira, nama Sony biasa banget. Aku juga
mau ganti nama!”
Wira mendengus, “Arti namamu itu
pembawa berkah, mana biasa?”
Setelah mendengar ucapan Wira, Sony
pun menjadi bersemangat. “Habis dengar ucapan Kak Wira, aku jadi merasa namaku
sudah berbeda. Kayak jadi lebih berkelas! Kak Wira memang berwawasan luas!
Makasih!”
Biasanya, pemilik tubuh sebelumnya
selalu naik kereta sapi untuk pergi ke ibu kota provinsi. Dia tidak pernah berjalan
sejauh 20 kilometer.
Belum sampai setengah jalan, Wira
sudah tidak sanggup berjalan lagi. Dia mau tak mau harus duduk di atas gerobak.
Namun, Hasan, Danu dan Doddy masih
berjalan dengan lincah. Bahkan Sony juga masih terlihat energik. Energi mereka
benar-benar di luar jangkauan orang dari era teknologi!
Setelah beberapa saat, mereka berlima
pun tiba di ibu kota provinsi. Tembok kota mengelilingi sebuah menara yang
tingginya sekitar tiga meter. Di atas menara, berdiri para prajurit yang
bersenjata.
Di luar dan dalam tembok kota,
terdapat dua baris prajurit yang bersenjata dan dua penjaga yang duduk di balik
meja.
Danu, Doddy dan Sony memandang ke
arah menara dengan wajah terkejut, sedangkan Hasan malah tidak menunjukkan
reaksi apa pun.
“Gerobak menjual ikan harus bayar 100
gabak untuk masuk ke kota!” kata prajurit penjaga pintu setelah memeriksa
gerobak mereka.
Wira pun membayar uang dengan
terpaksa.
Pemilik tubuh sebelumnya sering
datang ke ibu kota provinsi. Jadi, dia tahu harus membayar uang masuk apabila
mau berjualan di kota. Biaya yang harus dibayar tergantung pada barang apa yang
mereka bawa. Dulu, membawa masuk segerobak ikan hanya perlu membayar 50 gabak.
Bulan lalu, pemimpin kabupaten baru
diganti. Biaya masuk kota pun meningkat hingga dua kali lipat.
Setelah menerima bayaran dari Wira,
prajurit penjaga baru membiarkan mereka masuk.
Di dalam kota, ada beberapa rumah
bertingkat dua yang terbuat dari batu bata.
Setelah melihatnya, Wira sedikit
kecewa. Situasi di dalam kota bahkan lebih buruk dari desa di kehidupan
lampaunya.
Namun, para penduduk kota memakai
pakaian yang jauh lebih bagus dan bercorak daripada penduduk Dusun Darmadi.
Danu, Doddy dan Sony terlihat
bersemangat, seolah-olah sudah memasuki dunia baru.
Ada banyak penduduk dusun yang
mungkin tidak pernah keluar dari dusun seumur hidup mereka. Jangan ibu kota
provinsi, mereka mungkin juga jarang pergi ke pusat desa atau kota kecil. Jadi,
orang yang pernah datang ke ibu kota provinsi selalu merasa sangat bangga.
Kelima orang itu mendorong gerobak
mereka ke pasar daging yang berada di sebelah timur kota.
Setelah sampai di depan pasar, Hasan
berkata, “Aku nggak tahu harga pasaran ikan. Harus pergi cari tahu dulu nih.”
Wira menatap ke arah Danu, Doddy dan
Sony. Doddy menggaruk kepalanya dengan kebingungan, sedangkan Danu juga
terlihat sedikit takut.
Sony pun maju dengan percaya diri,
“Serahkan hal ini padaku.”
Tidak lama kemudian, Sony kembali dan
menjelaskan tentang pajak penjualan dan harga ikan dengan jelas.
Harga pajak penjualannya sepuluh
persen. Seekor ikan kecil yang beratnya di bawah 500 gram harganya 20 gabak,
yang beratnya sekitar sekilo harganya 30 gabak. Ikan yang beratnya di atas 1,5
kilogram bisa dijual 40 gabak, yang beratnya 1,5-4 kilogram bisa dijual 50 gabak,
sedangkan yang beratnya di atas 4 kilogram bisa dijual 60 gabak.
Namun, itu adalah harga ikan yang
sudah mati. Jika ikannya masih hidup, harganya bisa ditambah 20 gabak dari
harga sebelumnya.
Kelima orang itu pun masuk ke Pasar
Timur, lalu hendak mencari kios dan mulai berjualan.
Sebelum mereka sempat berjualan,
empat orang yang terlihat galak tiba-tiba mengerumuni gerobak mereka.
Salah seorang dari mereka yang
berbadan kekar dan berwajah galak menyilangkan tangannya lalu mencibir, “Sudah
sampai Pasar Timur bukannya beri hormat ke pemilik tanah dulu sebelum
berjualan. Berani banget kalian!”
No comments: