Bab 23
Nindi merasa sangat terkejut
menyadari dia kini berada di pelukan Candra.
Pria itu menundukkan kepalanya, hanya
mampu melihat dahi mulus Nindi, sementara rambut basah wanita itu menggantung
di antara mereka.
Dia menelan ludahnya sambil perlahan
melepaskan pelukan wanita itu, "Ini baju baru, nggak pernah aku pake,
terus pake sandal yang ada dulu."
Tatapan Nindi tertuju pada pakaian
yang tergeletak di ambang pintu, wajahnya tampak merona, " Makasih,"
ucapnya.
Melihat Nindi yang tampak tidak
bersalah, Cakra menegurnya dengan nada kesal, "Kalo udah malem, Lain kali
jangan sembarangan buka pintu."
"Iya, soalnya aku juga tau kalau
kamu yang ngetok pintu."
Tatapannya berusaha meyakinkan.
Cakra segera mengalihkan pandangannya
dan berbicara dengan canggung, "Jangan lupa kunci pintunya dari
dalam."
Senyum tipis menghiasi wajah Nindi,
dia memandangi ruangan yang asing baginya. Sekarang, dia siap untuk memulai
kembali lembaran baru dalam hidupnya.
Sambil mengistirahatkan tubuh di atas
kasur dan mengisi daya ponselnya, dia mendapati banyak panggilan tidak
terjawab, sebagian besar dari Kakak keduanya.
Satu panggilan kembali masuk, kali
ini dari Kak Leo. Namun, panggilan itu hanya berdering singkat, tiga kali, lalu
terputus.
Diaa membuka aplikasi Whatsapp dan
membaca pesan yang dikirim oleh Kakak keduanya, Nando. Nindi, kamu di mana sih?
Udahan ngambeknya, kamu pulang ke rumah, ya. Nanti aku suruh Kak Leo minta maaf
sama kamu!
Nindi, kamu pasti tahu kalau ini Kota
Antaram. Kamu nggak akan bisa sembunyi lama-lama. Kalau Kak Darren tahu, bisa
bahaya.
Nindi, kita kan keluarga, masa
masalah perdebatan remeh begitu nggak bisa kamu maafin?
Pandangannya menyapu isi pesan itu,
sorot mata Nindi tampak lebih dingin.
Tidak akan yang perlu dimaafkan.
Esoknya, menuju sekolah.
Nindi dan Cakra naik taksi menuju
sekolah. Sesampainya, Nindi menoleh kembali ke mobil itu dan berkata, "Aku
masuk, ya."
Setelah memastikan Nindi sampai
dengan aman, Cakra baru mengalihkan pandangannya.
Sebuah mobil mewah melintas di
sampingnya, Zovan menjulurkan kepala dari jendela dan berkata, "Semalen
orang suruhan keluarga Lesmana nyariin dia ke sana-sini, kayak orang gila.
Untungnya malah ketemu kami. Kalau nggak, bisa-bisa Nindi malah kabur
kemana-mana."
Keluarga Lesmana memang keluarga yang
berpengaruh.
Cakra mengeratkan bibir, sorot
matanya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras.
Sementara itu, Nindi melangkah menuju
kelas.
Saat sampai di ambang pintu kelas,
teriakan menyambutnya, "Nindi datang! Dia itu Sang Master yang bisa
ngelakuin teknik kombinasi dua belas serangan di game!"
"Ya ampun, dia dan King Master
yang lagi viral itu ya? Kalian ada hubungan apa? Kasih tahu, dong!"
"Boleh foto bareng, ya?"
Nindi terkejut melihat kerumunan
orang. la merasa sedikit canggung dan mengangguk, "Iya" jawabnya.
Dalam sekejap, banyak orang berkumpul
di sekitarnya. Beberapa dari mereka bahkan meminta tanda tangan.
Pintu kelas dipenuhi oleh para siswa.
Ketika Sania tiba di luar kelas, dia
melihat Nindi yang tengah menjadi pusat perhatian. Rasa cemburu pun menguasainya.
Padahal pengikut media sosialnya jauh
lebih banyak dari Nindi, tapi orang-orang justru lebih mengagumi Nindi.
Dengan kesal, Sania meninggalkan
ruangan itu.
Sania bertanya dengan nada khawatir,
"Nindi, kemarin malam kamu ke mana sih? Kak Nando tuh khawatir banget!
Kesal sih wajar, tapi jangan sampai nekat kayak gitu dong."
Nindi segera menyadari bahwa wanita
itu pasti akan buat masalah.
Pengikut nomor satu pun menimpali,
"Sania, si Nindi tuh bener-bener nggak tahu terima kasih. Baru sekali
menang aja udah sombong, terus malah kabur dari rumah lagi."
Pengikut nomor dua mendengus,
"Nindi tuh pasti pacaran sama dokter terus tinggal bareng. Wah, baru umur
sigini udah genit." tambahnya.
Dengan mengernyitkan alis, Nindi pun
membalas, " Pantes, orang-orang bilang mulut kalian kayak sampah."
Dengan sekilas pandangan, Sania
langsung berkomentar, "Kak Nindi, kamu tahu nggak kalau aku tuh iri sama
kamu punya keluarga yang peduli banget. Tapi kok tingkah kamu, nggak
pantes."
"Kita emang dekat, ya? Udah deh nggak
usah sok baiu. Lagian, nggak ada yang mau lihat drama kamu!
11
"Nindi, kok kamu ngomong gitu
sih? Semalam Sania juga khawatir banget sama kamu, masa kamu malah gitu sama
orang yang peduli sama kamu?"
Kakak keempat, Leo, mendekat dan
mengamati ekspresi Nindi yang tampak gusar.
Hari itu, sebenarnya dia tidak perlu
mengantar Sania ke sekolah. Namun, entah mengapa, dia memilih untuk
melakukannya.
Dia yakin kalau Nindi pasti akan
masuk sekolah hari ini.
Dia bahkan sampai sulit tidur
semalaman.
No comments: