Bab 241
Nindi berganti pakaian, lalu berjalan
menuju lantai bawah gedung asrama. Sementara itu, Dosen Bimbingan Konseling
sedang menunggunya di luar.
Dosen Bimbingan Konseling itu menatap
Nindi. " Apa kamu tahu alasanku datang menemuimu?"
tanyanya.
"Untuk bicara soal rumor di
Forum Kaskus kampus, ' kan?"
"Benar. Program yang dipasang
olehmu telah mengunci banyak ponsel mahasiswa di kampus. Para mahasiswa itu
hanya punya satu ponsel, membuat banyak orang tua tidak dapat menghubungi anak
mereka dan hampir lapor polisi."
Ekspresi Nindi tidak berubah.
"Gampang saja kalau mau buka ponselnya, tapi mereka sendiri memang nggak mau
minta maaf atas kesalahan merah."
Dia juga tidak bisa disalahkan!
"Aku tahu kamu ingin
menyelesaikan masalah Forum Kaskus kampus, tapi cara yang kamu lakukan terlalu
ekstrem dan telah berdampak cukup besar untuk kampus. Sebaiknya, kamu buka
kunci ponsel teman-temanmu dulu!"
"Nggak mau!"
Nindi mengernyitkan dahinya. "Mereka
bisa menyelesaikan masalah ini lewat minta maaf. Mereka nggak perlu menyuruhku
berbuat sesuatu. Lagi pula, aku hanya bisa menghapus program itu, tapi nggak
bisa buka kunci ponsel mereka. Program ini memang dirancang seperti itu!"
"Nindi Lesmana, apa kamu
benar-benar enggan bekerja sama dengan kampus? Pikirkanlah
konsekuensinya!"
Dosen Bimbingan Konseling itu tidak
menyangka, mahasiswa baru yang dia didik ini punya sifat keras kepala!
Bukan hanya berkonflik dengan anak
keluarga kaya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dia juga menggunakan cara
ekstrem, yakni mengunci ponsel begitu banyak orang!
Sebetulnya, pihak kampus juga tidak
menganggap serius masalah ini dan berniat untuk langsung meretas program kecil
itu.
Namun, para Dosen Jurusan Komputer di
kampus yang sudah sama-sama berusaha sepanjang sore tidak bisa memecahkan kode
yang Nindi tulis!
Apalagi untuk buka kunci begitu
banyak ponsel mahasiswa.
Jadi, Dosen Bimbingan Konseling itu
terpaksa menemui Nindi. Dia tidak menyangka, Nindi tidak mau menurutinya sama
sekali!
Nindi sangat tenang saat berbicara,
"Sudah kupikirkan dengan matang. Mereka menyebar berita bohong, berarti
tuntutan pernintaan maaf nggak berlebihan, 'kan?"
Dosen itu menghela napas.
"Nindi, kamu seorang anak yatim piatu. Kedua orang tuamu telah tiada. Kamu
memang meraih nilai tertinggi dalam ujian masuk dan diterima di kampus kami,
tapi keadaan ekonomi keluargamu pasti nggak begitu baik. Sulit dihindari kalau
orang lain bertanya-tanya!"
"Ini memang lucu. Orang yang
publikasi menyebar rumor berdasarkan satu foto saja. Lantas, kenapa aku nggak
boleh membalas? Apa statusku yang anak yatim piatu, berarti aku miskin dan
materialistis?"
Sorot mata Nindi menyiratkan rasa
jengkel. Dia tidak akan menghapus program itu.
Orang-orang itu harus meminta maaf
atau buang saja ponsel mereka!
Menyebarkan fitnah pasti ada
konsekuensinya!
Dosen Bimbingan Konseling refleks
agak gusar."
Nindi, kamu yakin nggak akan membuka
kunci ponsel teman-temanmu itu?" tanyanya sekali lagi.
"Yakin dan pasti!"
"Baik, bicaraku sudah cukup
banyak. Besok, keputusan untuk mengatasi masalah ini akan dikeluarkan kampus.
Semoga ketika keputusan telah disampaikan, kamu nggak akan menyesal."
"Aku nggak akan menyesal. Tapi,
jika pihak kampus bertindak tanpa keadilan dalam menangani masalah ini, aku
akan minta pengacara untuk mengurusnya. Aku nggak akan kompromi!"
Sikap Nindi juga sangat tegas.
Dia tahu pihak kampus ingin dirinya
mundur selangkah, lalu membuat masalah besar ini menjadi masalah kecil.
Akhirnya, dia yang akan menghadapi
semuanya sendiri.
Apa untungnya buat dia?
Dosen itu pun pergi dengan marah.
Nindi kembali ke asrama, kemudian
Galuh berbisik, "Dosen Bimbingan Konseling bilang apa?"
"Dia menyuruhku membatalkan
program dan membuka kunci ponsel, tapi aku tolak."
Nada bicara Nindi terdengar dingin.
Jihan marah saat mendengar jawaban
Nindi, lalu menendang meja. Dia kira, Dosen Bimbingan Konseling akan meyakinkan
Nindi. Ternyata, Nindi justru sangat keras kepala!
Jihan menatap ke arah ponselnya.
'Kalau aku nggak meminta maaf, ponselku nggak akan berfungsi,' batinnya.
'Sial! Bilang maaf sama Nindi lebih
menyakitkan ketimbang bunuh diri!'
Nindi terlihat begitu santai.
Dia sudah pernah mati sekali, apa
lagi yang harus dia takuti!
Dia menolak ketidakadilan, buat apa
dia meminta maaf ketika dirinya difitnah?
Namun, Nindi teringat kejadian saat
Serena dibawa pergi hari ini. Dia merasa kejadian itu agak aneh, tetapi sulit
dia jelaskan.
Mengingat latar belakang keluarga
Serena Morris, barangkali masalah itu telah diselesaikan oleh keluarga Morris.
Nindi membuka ponselnya untuk mencari
berita soal Serena yang merundung teman sekelas sampai temannya itu bunuh diri.
Namun, hampir semua berita itu telah dihapus bersih. Pasti ada pihak di balik
layar yang mengendalikan opini publik. Namun, itu bukan masalah sulit baginya.
No comments: