Bab 265
Tapi gadis itu baru saja pergi, dan
berdasarkan sifat Cakra, seharusnya dia tidak akan mengirim pesan kepada gadis
itu begitu cepat.
Jadi seharusnya ada orang lain?
Dia harus bertanya kepada Zovan.
Sofia menelepon Zovan. "Zovan,
apakah gadis yang mengalami kecelakaan bersama Cakra itu orang yang aku lihat
kemarin?"
"Bukan. Aku nggak mungkin
sebodoh itu untuk membiarkan dia di rumah sakit ini. Soal ini, kamu sebaiknya
tanya langsung ke Kak Cakra. Aku nggak akan memberi tahu apa-apa."
Setelah berkata begitu, Zovan
langsung menutup telepon, sambil menghela napas lega. Untung saja!
Nindi langsung naik taksi kembali ke
kampus.
Hal pertama yang dia lakukan setelah
masuk kampus adalah menelepon Sania. "Apakah kamu tidur nyenyak dua hari
ini?"
"Ini Nindi? Kenapa kamu
meneleponku?"
Nindi berbicara dengan ceria.
"Cuma ingin mengobrol. Kita 'kan keluarga, darah lebih kental dari
air."
"Aku... aku ada kelas sebentar
lagi. Nggak ada waktu buat ngobrol."
Sania punya firasat buruk. Jika Nindi
memarahinya, mungkin dia masih akan merasa sedikit tenang.
Namun, nada Nindi membuat Sania
sangat tidak nyaman.
Nindi tertawa. "Kamu nggak
datang? Kalau begitu, aku terpaksa sebarkan bukti yang ada di tangan aku.
"Bukti apa? Apa kamu masih ada
salinan? Kalau memang ada, kenapa belum dikeluarkan?"
"Di atap sekolah. Sampai
ketemu."
Setelah Nindi selesai berbicara, dia
langsung menutup telepon, tanpa menjelaskan apa pun kepada Sania.
Namun, dia yakin dengan sikap gugup
Sania, pasti dia akan datang.
Nindi langsung pergi ke atap gedung
Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Atap ini tidak terkunci, banyak tumpukan kursi
serta meja yang ditinggalkan oleh para mahasiswa.
Dapat dilihat bahwa kehidupan di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis cukup menyenangkan.
Nindi berjalan menuju pagar atap.
Pagar tersebut tidak terlalu tinggi dan angin cukup kencang. Jika dia melangkah
sedikit saja ke depan, dia bisa terjatuh.
Pada saat ini, Sania diam-diam datang
ke atap.
Melihat Nindi berdiri di pinggir
atap, tiba-tiba ada ide gila yang muncul dalam pikiran Sania. Kalau Nindi jatuh
dari sana dan mati,
apakah itu berarti tidak ada yang
akan tahu bukti apa yang ada di tangan Nindi?
Dengan begitu, dia juga tidak akan
diusir oleh Keluarga Lesmana.
Begitu ide ini muncul, ia mulai
tumbuh dengan liar.
Sania menahan napas dan mendekati
Nindi dengan hati-hati. Jika dia mendorong dengan kuat, Nindi pasti akan
terjatuh.
Kesempatan hanya datang sekali.
Sania tidak ingin melewatkannya, dan
tidak ingin mengalami lagi adegan di kafe sebelumnya lagi.
Sikap Kak Nando sudah cukup untuk
membuktikan, selama bukti ada di depan Keluarga Lesmana, dia pasti akan
langsung ditelantarkan!
Sania dengan cepat sampai di belakang
Nindi dan mendorongnya dengan kuat.
Namun sesaat setelah itu, Nindi
menghindar ke samping.
Sania gagal dan tubuhnya terlempar
keluar pagar.
Pada saat itu, Nindi dengan cepat
meraih rambut Sania, tetapi setengah tubuh Sania masih tergantung di luar
pagar.
Jika Nindi melepas genggaman itu,
Sania akan jatuh.
Sania panik dan menggenggam pagar
dengan sekuat tenaga, sambil berteriak "Nindi, jangan lepaskan!"
Sania berjuang mati-matian, dia belum
ingin mati!
Nindi tertawa. Dia berdiri di depan
pagar sambil menyaksikan Sania yang berjuang dengan wajah merah.
"Sania, kalau aku nggak salah
tebak, kamu tadi ingin mendorong aku agar nggak ada yang tahu apa bukti yang
aku pegang, 'kan?"
"Aku... aku nggak, aku cuma mau
sapa kamu!"
Suara Sania terdengar parau. Dia
benar-benar takut mati!
Nindi menepuk wajah Sania, dan nada
bicaranya datar. "Kamu pikir aku akan percaya apa yang kamu katakan?"
"Tapi kalau aku mengalami
kecelakaan di sini, kamu juga tidak akan bisa lepas dari tanggung jawab.
Teman-temanku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis tahu kalau aku datang ke atap
untuk bertemu denganmu. Kalau aku mati, kamu akan jadi pembunuh!"
"Kamu ancam aku?"
Nindi langsung melepaskan tangannya,
Sania berteriak sambil menggenggam pagar. Kedua kakinya dengan susah payah
menginjak atap yang menjulur keluar, sehingga dia berhasil tidak terjatuh.
No comments: