Bab 27
Seakan-akan tersirat dalam
perkataannya bahwa Cakra menyimpan perasaan khusus padanya.
Jari-jarinya perlahan menyentuh layar
ponsel, mengingatkannya pada kisah cinta yang pernah terjalin di kehidupan
sebelumnya, sebuah hubungan yang tumbuh dan berkembang sepenuhnya di dunia
maya.
Lebih tepatnya, itu adalah cinta
sepihak. Dia hanya menyimpan perasaannya sendiri, bahkan orang itu seperti
tidak tertarik padanya.
Namun, kehadiran orang itu bagaikan
seberkas cahaya yang menerangi kehidupannya yang kelam dan menyedihkan.
Rasa yang sama dirasakan dari
keberadaan Cakra.
Meskipun demikian, dia masih
meragukan apakah Cakra benar-benar sosok yang sama seperti di kehidupan
sebelumnya.
Cakra tampak menggerakkan jemarinya
yang ramping, "Emang perlu alasan ya kalau liat sesuatu yang nggak adil?
Pasti aku bantu, kok. Sama kayak kalau liat nenek-nenek mau nyebrang jalan, ya
otomatis bantuin juga."
Senyuman tipis menghiasi wajah Nindi,
namun tersimpan perasaan kecewa dalam hatinya.
Dia berusaha bersikap cuek dan
berkata, "Setelah ujian masuk perguruan tinggi selesai, aku bakal pergi
dari rumah keluarga Lesmana."
"Selamat datang tetangga
sebelah!"
Setelah mengakhiri panggilan telepon,
Nindi mandi dengan perasaan gembira. Sebelum tidur, dia bahkan meluangkan waktu
untuk mengerjakan satu set soal ujian asli.
Ujian simulasi terakhir tinggal di
depan mata.
Pada kesempatan ini, dia begitu
penasaran mengenai sejauh mana peningkatan kemampuannya. Akankah ada
kemungkinan dia diterima di Universitas Yasawirya!
Asalkan meraih peringkat sepuluh
besar di sekolah, seharusnya dia memiliki peluang untuk diterima.
Esoknya, Nindi berangkat ke sekolah
seperti biasanya.
Dia mengamati Sania yang sedang
membawa semangkuk bubur ayam dan meletakkannya di samping Kakak keduanya,
Nando. "Kak Nando, kata pengurus rumah perutmu lagi sakit. Aku bikinin
bubur ayam nih, semoga abis makan kamu berasa mendingan."
Sania bahkan sengaja memperlihatkan
luka bakar yang ada di tangannya.
Melihat hal itu, hati Nando pun
terenyuh, "Kamu terluka ya? Nggak usah kayak gitu lagi, nanti biarin aja
pembantu yang urusin." katanya khawatir.
"Kak Nando, kamu udah banyak
berkorban banyak untuk, bikinin kamu bubur nggak sebanding sama pengorbanan
kamu."
Senyum manis menghiasi wajahnya,
tampak begitu polos dan lugu.
Nando merasa lega seketika. Tanpa
sadar, pandangannya tertuju pada Nindi. Tentu saja, sekarang gadis itu pasti
tahu bahwa dia sedang menderita sakit lambung, kan?
Tatapan Nindi pada bubur ayam itu
mengandung sedikit sindiran.
Benar saja, meskipun terlambat, bubur
ayam itu tetap muncul!
Tanpa berucap sepatah kata, Nindi
yang telah kehilangan selera makan memilih untuk pergi.
Nando seketika merasa kesepian.
Apakah Nindi benar-benar tidak
penasaran?
Ataukah dia memang tidak layak untuk
diperhatikan?
Segera, Sania melontarkan ucapan
penuh perhatian, "Kak Nando, Kak Nindi sebenarnya peduli kok sama kamu,
dia cuma lagi kesal aja."
"Ya, semoga aja gitu."
Nando berharap Nindi hanya sedang
marah. Dia tidak menyangka bahwa Nindi akan benar-benar memutuskan hubungan
keluarga karena masalah sepele seperti ini.
Sejak Nindi mengabaikannya, rasa
sakit menyebar ke seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap bagian dirinya terasa
perih dan hampa.
Setelah merasa cukup puas, Sania
kemudian bergegas menuju sekolah.
Pengurus rumah yang berada di samping
Nando pun berkata, "Tuan Nando, kok bisa sih Nindi nggak nanya sama sekali
tentang keadaan kamu, keterlaluan!"
Nando merasakan sedikit ketenangan
saat melihat semangkuk bubur ayam di hadapannya.
Beruntung ada Sania yang begitu
peduli padanya.
Dia memakan sedikit bubur ayam itu,
namun rasa sakit di perutnya bukannya berkurang malah semakin parah.
Dia tampak mengernyit, teringat akan
ramuan obat buatan Nindi yang selama ini selalu mampu meredakan sakitnya.
Tanpa membuang waktu, dia lalu
memberikan perintah, "Minta dapur buatkan ramuan obat yang biasa dibuat
Nindi."
Pengurus rumah tampak sedikit
canggung, lalu berkata, "Ramuan obat itu selalu dibuat sendiri oleh Nona
Nindi."
"Cuma ramuan obat begitu, apa
susahnya sih?"
Nando merasakan kesakitan dan nada
suaranya terdengar sedikit kesal.
Seorang pembantu wanita datang dari
arah samping, "Tuan Nando, saya dengar saat membuat ramuan obat itu, Nona
Nindi menyiapkan berasnya sehari sebelumnya. Esoknya, dia bangun sangat pagi
untuk membuatnya, takarannya juga harus tepat, kalau salah sedikit saja,
ramuannya bisa gagal."
Resep itu Nona Nindi pelajari dari
seorang dokter TCM tua.
"Kami kesulitan mempelajarinya,
jadi selama hanya Nona Nindi yang bisa meracik ramuan obat itu!"
Setelah mendengarkan penjelasan itu,
Nando justru merasakan penyesalan yang begitu mendalam.
No comments: