Bab 31
Hampir semua orang memandangi Nindi.
Sania tampak sangat gugup dan
menyerang lebih dulu. "Kak Nindi, kamu pernah mengalami bagaimana rasanya
dituduh mencontek. Jadi, kamu pasti mengerti posisiku sekarang. Aku tahu kamu
selama ini benci kepadaku, tapi kita tetap keluarga."
Nindi menatap ekspresi gugup Sania.
Ternyata gadis itu bisa takut juga.
Dia berkata dengan ringan, "Aku
ingat Sania sepertinya memang menoleh ke belakang."
Dia mengatakan yang sebenarnya.
Mata Sania langsung memerah.
"Kak Nindi, jangan bicara sembarangan. Tadi kamu bilang Hesti bohong.
pengikut kedua mengangguk. "Ya,
kami semua dengar kalimatmu tadi. Nindi, kenapa kamu plin-plan sekali? Nggak
akan ada yang percaya dengan omonganmu lagi!"
Nindi menjawab pelan, "Aku tadi
belum terlalu memikirkannya. Tapi aku tiba-tiba ingat sekarang."
Sania kesal setengah mati. Nindi
berengsek!
Dia menatap wali kelas dengan wajah
memelas 31 Sumpah, saya nggak mencontek. Saya menoleh ke belakang karena
dipanggil Hesti. Dia juga yang melemparkan kertas itu ke meja waktu saya sedang
lengah. Saya nggak tahu soal itu sama sekali."
Wali kelas awalnya berpihak kepada
Sanía. Namun, mengingat Nindi pernah dituduh mencontek, dia jadi agak ragu
dengan kepribadian Sania.
Wali kelas pun angkat bicara.
"Sania, Hesti, kalian berdua ikuti saya ke kantor."
Nindi duduk di kursinya, dikelilingi
orang-orang yang masih membahas masalah mencotek itu.
Dia membuka buku pelajarannya dan
mulai memeriksa jawaban untuk menebak berapa nilai yang mungkin dia dapatkan!
Tidak lama kemudian, ketua kelas
memanggilnya. " Kamu dipanggil Wali kelas ke kantor."
Nindi sudah menduganya. Dia pergi ke
kantor, tetapi ternyata pengikut pertama tidak ada di sana.
Hanya Nando yang ada di sana.
Benar sekali, Sania pasti mencari
pertolongan.
Mata Sania berkaca -kaca. "Kak
Nindi, apa sebenci itu kamu sama aku? Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau
memaafkanku?"
Nindi menjawab, "Aku cuma
menyatakan apa yang aku lihat. Kalau aku benar-benar ingin menyakitimu, aku
bisa langsung bilang kalau aku lihat kamu mencontek!"
Wajah Sania seketika memerah.
Nando tidak tahan lagi dan menegur
Nindi, " Bicaralah baik-baik. Sania juga keluarga kita. Kamu harusnya
mengerti apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini!"
Nindi menoleh kepadanya. "Kamu
ingin aku bilang kalau aku nggak lihat? Oke, aku nggak lihat Sania menoleh ke
belakang."
Nando sakit kepala. Kenapa Nindi
tidak mengerti?
Wali kelas terbatuk kecil. "Oke,
saya kurang lebih mengerti. Sania, kamu juga salah. PR itu punyamu sendiri, nggak
boleh dikerjakan orang lain. Dan kamu nggak boleh bicara dengan siswa lain
selama ujian."
Nando menjelaskan, "PR Sania
dikerjakan orang lain karena urusan di rumah menyita waktunya. Saya punya
bukti."
Meminta siswa lain untuk membantu
mengerjakan PR hanyalah masalah kecil.
Bagaimanapun juga, ada alasan kenapa
Sania melakukannya.
Sania semakin sedih. "Kak Nando,
aku nggak tahu Hesti ingin menjebakku. Cuma karena aku bilang ke orang lain dia
pinjam uang kepadaku. Aku nggak nyangka dia akan sejahat itu."
"Sania, aku tahu kamu baik hati
dan suka membantu temanmu yang kesusahan, tapi kebaikan itu harus ada
batasnya."
Nando yakin bahwa Sania pasti dituduh
dan tidak benar-benar mencontek.
Wali kelas menyela, "Kami akan
mendiskusikan penanganan masalah ini. Kalian silakan kembali dulu ke
kelas."
Nindi berbalik pergi.
Nando mengejarnya keluar.
"Nindi, kenapa kamu tega bersaksi melihat Sania menoleh? Apa jadinya kalau
dia benar-benar dihukum? Tahu nggak kamu seberapa berat konsekuensinya
nanti?"
Nindi terhenti. "Kalau Sania
memang mencontek dan menyalahkan Hesti, apa kamu tahu bagaimana konsekuensinya
bagi Hesti?"
"Nggak mungkin, Sania nggak
mungkin mencontek.
Nando otomatis menyangkal.
Nindi mendengus. Tidak perlu bilang
apa-apa lagi.
"Nindi, aku tahu kamu marah
karena kami pilih kasih. Tapi itu karena ayahnya menyelamatkan nyawamu.
Apalagi, dia anak baik dan pengertian Apa salahnya kita memperlakukan dia
dengan lebih baik? Kalau kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkan saja aku,
jangan libatkan Sania!"
Pelipis Nindi berdenyut-denyut karena
marah.
No comments: