Bab 43
Semburan serbuk putih seketika
bertebangan memenuhi udara.
Yanuar sontak terkejut dan spontan
memaki, " Nindi! Apa-apaan kamu!"
Bisa dikatakan, pangeran kaya seperti
Yanuar ini hampir menyaksikan segala nikmat duniawi. Namun, ini jelas pertama
kalinya dia berhadapan dengan seorang gadis kekanakan yang berani datang
membawa alat pemadam api ke hadapannya!
Usai memadamkan lilin-lilin dekorasi,
Nindi terlihat kesal dan tidak sabaran. "Dengar ya, aku nggak suka sama
kamu. Jadi, jangan pernah lagi tunjukkan pemandangan kekanakan dan membosankan
kayak gini di depan mataku. Camkan itu!" katanya tajam.
Hari itu, dia sedang menstruasi, sulit
membayangkan betapa jengkelnya perasaan Nindi sekarang.
Seketika itu juga, seseorang mulai
mendekat ke arahnya.
"Kamu menarik, Nindi. Sifatmu
juga unik, aku suka! "seru Yanuar tertarik dengan wanita di depannya.
Ucapan itu justru membuat Nindi
berbalik lagi, kali ini tanpa ragu menyemprotkan alat pemadam ke wajah Yanuar.
Pangeran kaya itu memekik, matanya melotot penuh kemarahan, sementara beberapa
temannya di belakang langsung panik melindunginya.
Bruk! Alat pemadam itu akhirnya
terlempar keras ke tanah. "Jangan ganggu aku," peringat Nindi dingin,
terlihat tegas layaknya preman dalam film laga.
Bagi Nindi, menghadapi Yanuar hanya
membuang waktu. Dengan ujian yang semakin dekat, dia tidak ingin terjebak dalam
urusan tidak penting, apalagi yang melibatkan anak konglomerat seperti Yanuar.
"Kak Nindi, apa-apaan deh? Masa
kamu perlakukan Yanuar kayak gitu? Dia itu suka sama kamu, lho! Dia beraniin
diri buat mengungkapkan perasaan di depan banyak orang! Kalau kamu nggak suka,
nggak perlu sampai kasar begitu juga, 'kan?"
Tepat sekali. Suara itu berasal dari
Sania yang tiba-tiba muncul bak pahlawan kesiangan.
"Sialan, ini bukan urusanmu,
pergi sana!" bentak Nindi dengan kesal.
Sania langsung terkejut melihatnya.
Wajahnya seperti tidak percaya bahwa Nindi yang biasanya datar dan tenang itu,
tiba-tiba meledak marah.
Sambil menepuk-nepuk tangannya, Nindi
berusaha membersihkan sisa serbuk pemadam dari dirinya. Bau tidak sedap
menyengat hidungnya, menambah kesal suasana hatinya.
Kemarahan yang selama ini ia tahan
setelah perbincangan dengan Kak Darren di restoran kemarin, akhirnya tak lagi
mampu dibendung.
Saat Nindi hendak bersiap pergi,
Yanuar yang merasa dirugikan dan dipermalukan itu berteriak, " Hei, Nindi!
Berhenti! Siapa yang izinin kamu pergi?"
Nindi benar-benar mengabaikannya.
Langkahnya mantap, meninggalkan suasana kacau di belakang!
Melihat sikap itu, Yanuar semakin
malu dan murka. Dengan nada tinggi, dia berteriak pada orang-orang di
sekitarnya, "Apa lihat-lihat? Cepat tangkap dia! Kalau nggak diberi
pelajaran, dia bakalan anggap aku cuman angin lewat!"
Di sampingnya, Sania tersenyum tipis,
licik.
'Heh! Bodoh sekali kamu, Nindi.
Bisa-bisanya nolak Yanuar dengan cara sebrutal itu,' sindirnya dalam hati.
'Kalau cari masalah sama dia,
siap-siap aja buat nerima akibatnya.'
'Aku doain kamu nggak akan bisa fokus
ujian, mampus nilai UBMPT-mu anjlok!'
"Ya, coba aja tangkap dia kalau
berani!" teriak Leo dari belakang.
Leo berlari dari arah seberang jalan,
wajahnya tampak pucat pasi.
Kehadiran mengejutkan Nindi. Dia
langsung teringat pesan singkat yang Leo kirimkan semalam, mengajaknya bertemu
di kafe seberang usai sekolah.
Namun, Nindi sengaja menghapus kontak
Whatsapp -nya dan tidak membalas pesan.
Nindi sendiri juga tidak berniat
pergi.
Dia juga tidak menyangka Leo akan
datang.
Begitu sampai di tengah-tengah
mereka, Leo langsung berdiri mengadang Yanuar. "Hei, kamu! Berani
beraninya mendekati adikku tanpa izin? Di keluarga ini, kamu harus dapat
persetujuan dari keenam kakaknya dulu!"
Yanuar mendadak canggung berhadapan
dengan Leo.
Namun, sebagai anak konglomerat dari
Kota Yunaria, Yanuar tetap merasa bahwa keluarganya berada di atas siapa pun di
Kota Antaram.
"Adikmu yang duluan nyemprotin
aku pakai alat pemadam! Sekarang, gimana kalian mau ganti rugi? "balas
Yanuar sedikit kesal.
Leo tak tinggal diam. "Masih mau
ngelak?! Aku lihat sendiri tadi, jelas kamu yang duluan ganggu dia! Nindi cuma
mencegah lilin bodohmu bikin kebakaran, dan dia tahu cara pakai alat pemadam.
Itu tindakan yang wajar!"
"Sekalipun dukunganmu kuat, di
sini itu Kota Antaram. Mau tinggal enak di sini, kusarankan jangan cari
gara-gara!" lanjut Leo.
Emosi Yanuar tak terkendali, wajahnya
benar-benar marah. "Apa?! Ulangi sekali lagi!"
Melihat situasi memanas, Sania
buru-buru mencoba melerai. "Kak Leo, ini bukan sepenuhnya salah Yanuar.
Kak Nindi kalau nggak suka, dia 'kan bisa menolak baik-baik. Aku juga yakin,
Yanuar bukan tipe yang bakal nempel dan ngejar terus. Tapi, kalau langsung main
semprot pakai alat pemadam, bukannya terlalu berlebihan?"
Mendengar dukungan itu, Yanuar
langsung menyeringai. "Benar, aku ini anak konglomerat! Buat apa juga aku
ngejar ngejar cewek kasar kayak Nindi?!"
Leo mengerutkan dahi, memandang Sania
dengan tatapan tajam. Ucapan wanita itu terdengar menyebalkan, seolah lebih
membela Yanuar.
Padahal, yang jelas - jelas terganggu
adalah Nindi. Bukankah haknya untuk menolak dengan caranya sendiri? Kenapa
harus repot-repot menjaga harga diri Yanuar juga?
No comments: