Bab 45
Ini yang dinamakan meminta maaf?
Leo jelas memaksanya untuk menerima
semua ini!
Nindi tetap memasang wajah datar, tak
juga terlihat dingin maupun hangat, membuat Leo merasa tertekan.
Awalnya, Leo begitu percaya diri.
Namun, lambat laun rasa percaya dirinya mulai goyah.
Leo bahkan sudah menunduk dan meminta
maaf. Seharusnya Nindi bisa mengerti maksudnya, 'kan?
Sejak kecil hingga dewasa, Leo tidak
pernah sekalipun mengesampingkan egonya, apalagi menundukkan kepala untuk orang
lain.
Namun sekarang, Nindi adalah orang
pertama yang membuatnya kehilangan semua harga diri!
Melihat suasana semakin canggung dan
tegang, Sania segera memanfaatkan kesempatan untuk menyela, "Benar, Kak
Nindi. Kak Leo sampai repot -repot menyiapkan pesta ini cuma buat minta maaf
sama kamu. Kamu nggak lihat, betapa tulusnya dia?"
"Nindi, katakan saja apa maumu,
pasti akan kukabulkan," timpal Leo, semakin merasa canggung.
Nindi mengangkat alis, nada bicaranya
sinis. " Permintaanku sangat sederhana."
"Katakan saja," balas Leo.
Leo menarik napas lega. Baginya, ini
pertanda baik. Kalau Nindi sudah bicara soal syarat, berarti dia mungkin mau
memaafkan.
'Hmph! Tuh, 'kan, Nindi pasti ngambek
doang! Paling juga cemburu gara-gara Sania!' batin Leo, merasa semua ini hanya
persoalan sepele.
Dia mulai membayangkan betapa
mudahnya semua ini selesai. Setelah berdamai, dia hanya perlu mencari waktu
untuk "menasihati" Nindi agar lebih memahami posisinya.
"Mulai hari ini, jangan pernah
muncul di hadapanku lagi! Apalagi sengaja melakukan hal konyol semacam
ini!"
Seketika wajah Leo membeku. Rasanya
seperti sebuah granat meledak di dalam kepalanya.
Nindi tidak menunggu reaksi Leo. Dia
langsung berbalik dan pergi.
Langkahnya tegas dan mantap, tak
meninggalkan jejak keraguan atau penyesalan.
Keluar dari pusat pelatihan, Nindi
disambut udara panas musim panas. Suara jangkrik mengisi keheningan malam,
menciptakan suasana yang ganjil dan sedikit gelisah.
"Nindi, tunggu! Apa yang harus
aku lakukan supaya kamu memaafkan aku? Katakan saja, aku pasti akan
melakukannya!"
Leo mengejarnya keluar.
Sorot matanya penuh tekad, begitu
juga dengan sikapnya yang terlihat tulus.
Namun, kesabaran Nindi sudah habis.
"Kamu masih nggak ngerti maksudku tadi? Balik sekolah saja sana, pelajari
ulang pelajaran bahasamu!"
"Nindi, dulu kita sangat dekat.
Masa hanya karena sikap kasarku sekali itu, kamu jadi memusuhiku begini? Apa
kamu benar-benar nggak mau maafin aku seumur hidup? Apa kamu tega sama kakakmu
ini?"
Bagi Leo, mustahil membayangkan
adiknya akan setega ini.
Namun, Nindi merasa semua ini terlalu
konyol.
Hanya sekali itu?
Tampaknya Leo masih saja buta akan
alasan mengapa Nindi meninggalkan keluarga Lesmana.
Toh, apa gunanya menjelaskan?
Nindi sudah memutuskan, dia tidak
akan menoleh ke belakang. Apalagi menurunkan harga diri untuk mengalah.
"Heh, percaya saja sesuka
hatimu," ucap Nindi dingin, enggan menjelaskan lebih lanjut.
Leo terdiam. Rasa kaget membuatnya
sulit bernapas. Dia terlalu terpukul untuk mengatakan apa-apa.
Selama beberapa saat, dia hanya bisa
berdiri seperti patung.
Dia tidak bisa percaya bahwa Nindi
benar-benar akan setega itu terhadapnya.
Tiba-tiba, Sania berlari dan berdiri
di depan Nindi untuk menghentikan langkahnya. "Kak Nindi, semua ini
salahku! Aku yang menyebabkan semua masalah. Mulai sekarang, aku akan pindah
dari keluarga Lesmana. Kamu nggak akan pernah lihat aku lagi."
Sania menoleh ke arah Leo dengan mata
yang berkaca-kaca. "Kak Leo, terima kasih untuk semua perhatian kalian
selama ini. Aku sangat bersyukur."
Refleks, Leo menggenggam tangan
Sania. "Apa-apaan sih kamu?! Ini nggak ada urusannya sama kamu. Ini
masalahku sama Nindi!"
"Nggak, Kak Leo! Kamu nggak
mengerti, ini ada hubungannya denganku! Aku harus bertanggung jawab!"
Sania menggeleng, air matanya mulai
membasahi wajah. Dia terlihat begitu rapuh, membuat semua orang merasa iba
dengannya. 2
Napas Leo tercekat. "Tolonglah,
Nindi, kenapa kamu nggak bisa pengertian kayak Sania sih?"
Nindi mengangkat alisnya, eskpresinya
mengejek." Yah, makanya kamu cukup punya Sania saja, 'kan? Pergi sana,
jangan ganggu aku!"
"Nindi, kamu selalu merasa bahwa
kami lebih sayang Sania, tapi kamu sendiri nggak sadar sama kelakuanmu. Semua
orang itu punya hati, kalau aja kamu bisa sedikit lebih pengertian, hubungan
kita nggak bakal jadi begini!" a
Nindi mendengus dingin.
"Makanya, nggak usah saling ganggu. Hidup masing-masing aja, itu yang
terbaik."
Setelah itu, dia berjalan ke tepi
jalan. Daerah ini terpencil, hampir tidak ada kendaraan yang lewat.
Namun, Nindi sudah sangat muak berada
di tempat ini.
Leo segera menghadangnya lagi
"Kurasa kita harus berbicara dengan baik dan jelas!"
Tit, tit, tiiit!
Tiba-tiba, suara klakson mobil yang
memekakkan telinga memecah keheningan. Sebuah mobil mewah hitam melaju cepat.
Leo refleks menoleh. Mobil itu melaju
lurus ke arahnya tanpa menunjukkan tanda-tanda akan berhenti!
"Kak Leo, hati-hati!"
No comments: