Bab 46
Sania langsung berlari mendekat,
tetapi Leo refleks maju dan menariknya menjauh. Pandangannya kemudian beralih
ke Nindi yang masih berdiri diam di tempat.
Sadar dirinya sudah melakukan
kesalahan, Leo langsung panik dan berteriak keras, "Hei, cepat
menghindar!"
Namun, Nindi hanya memasang wajah
datar dengan sorot mata yang kosong dan dalam.
Ciiiit! Mobil itu seketika terhenti
tepat di samping Nindi.
Ketika jendela mobil diturunkan,
wajah dingin Cakra muncul. "Masuklah!" ujarnya dengan lembut.
Nindi tersenyum kecil, sudah bisa
menebak kalau itu pasti Cakra!
Dia membungkuk untuk naik ke mobil,
sementara suara Leo terdengar dari luar. "Nindi, kamu nggak boleh pergi
sama dia!"
Nindi menoleh sekilas, melihat Leo
yang hendak mengejarnya. Tanpa ragu, dia menutup jendela mobil, memisahkan
dirinya dari keributan di luar.
Saat berusaha mengejar hingga separuh
jalan, Leo akhirnya berhenti.
'Kenapa jadi kacau begini sih?!'
teriaknya dalam hati, karena merasa kesal dan frustasi.
Bisa-bisanya dia bahkan meninggalkan
Nindi begitu saja di tempat.
Tiba-tiba, tatapan kecewa Nindi
terlintas di pikirannya. Leo benar-benar panik. 'Gawat, gimana ini?'
Barusan, dia tanpa pikir panjang
memilih untuk melindungi Sania. Namun, itu bukan berarti dia tidak peduli
dengan Nindi. 1
Sania bahkan berlari untuk
menyelamatkannya, Leo tidak mungkin mengabaikannya, bukan? 'Toh, Nindi anak
yang pintar, harusnya dia ngerti, 'kan?" batin Leo panik, berusaha
meyakinkan diri.a
Namun, hatinya tetap saja gusar!
Di belakangnya, Sania berlari
mendekat. Wajahnya tampak cemas. "Kak Leo, kamu nggak apa-apa, ' kan? Kak
Nindi pasti baik-baik saja, kemarin dia juga nggak pulang semalaman. Pasti
bersama si dokter sekolah lagi."
Wajah Leo mulai sedikit tenang.
"Pasti gara-gara pengaruh buruk si dokter sekolah ini, makanya jadi
gampang marah. Nindi nggak pernah gini sebelumnya sama keluarganya!"
Nindi sudah berubah.
Dia harus mencari cara untuk
mengembalikan semuanya seperti semula!
Di dalam mobil, Nindi membuka
jendela, menikmati angin yang masuk. Sepanjang perjalanan, suasana hening.
Cakra juga tidak bertanya banyak, dia
hanya mengemudikan mobil, mengantarkannya kembali ke apartemen dengan tenang.
Saat memasuki lift, Nindi diam-diam
meliriknya." Kamu marah?"
Sepanjang perjalanan tadi, Nindi
sudah memerhatikan wajah Cakra yang tampak murung.
Cakra tidak menoleh dan hanya menatap
bayangan mereka yang terpantul di lift. "Kali ini ada kemajuan, ya. Sudah
dibawa pergi orang lain, masih tahu minta tolong padaku."
"Hari ini memang kejadian
terlalu mendadak. Tadi, di gerbang sekolah ada yang tiba-tiba ungkapin
perasaannya padaku. Aku nggak suka, makanya aku semprot alat pemadam ke
tubuhnya. Sialnya, pria itu dari Kota Yunaria, jadi nggak bisa sembarangan
diusik. Pas situasi kacau gitu, Kak Leo tiba-tiba muncul untuk menyelesaikan
masalah dan memaksaku masuk ke dalam mobil."
"Aku juga nggak nyangka dia
bakal bawa aku ke pusat pelatihan Tim E-Sport."
Nindi bahkan tidak menyangka kalau
Leo ternyata sudah mengatur semuanya dengan rapi. Mulai dari mengundang banyak
orang, spanduk perayaan, hingga terang-terangan mengajaknya bergabung dengan
tim E-Sport.
Hmph, tentu saja Nindi menolaknya.
Andai hal ini terjadi pada Nindi yang
dulu, dia pasti terpaksa menyetujui karena tekanan moral dan takut kualat.
Namun, Nindi yang sekarang berjiwa
bebas dan tak peduli dengan "paksaan etik", hal semacam itu tentu
tidak akan bisa membelenggunya.
"Siapa yang ungkapin perasaannya
padamu?"
Nindi mendongak menatapnya.
"Bintang kelas dari sekolah tetangga.."
Cakra setengah menyipitkan matanya.
"Jadi, pria yang kamu sukai diam-diam itu dia?"
"Gila ya, nggak mungkin
lah!"
Nindi sedikit bingung, merasa aneh
dengan pertanyaan Cakra.
Ting! Lift pun sampai di lantai
tujuan, dan Nindi melangkah lebih dulu.
Cakra menatap punggungnya, suaranya
agak kaku. " Hei bocah, jangan terlalu cepat jatuh cinta!"
"Ya, tahu, tahu. Kamu sudah
mengatakannya berkali -kali, bawel banget, kayak kakek tua saja!"
Cakra tidak buru-buru mengikuti di
belakangnya, alisnya berkerut, tampak sedang memikirkan sesuatu.
Begitu berjalan memasuki dapur, Nindi
menemukan banyak sayuran segar dan buah-buahan di sana. Dia merasa heran.
"Kamu mau masak sendiri?"
"Mimpi! Tentu suruh Bibi yang
masak, lah! Tapi malah tertunda, gara-gara dapat pesan dari seseorang."
Nindi sedikit merasa bersalah.
"Yah, maaf. Aku yang masak saja, gimana? Masakanku cukup enak kok."
Bagaimanapun juga, Cakra sudah
bersedia menampungnya, dan dia ingin membalas budi.
Cakra menyipitkan matanya.
"Memangnya kapan kamu belajar masak?"
"Waktu masih di keluarga
Lesmana, aku sering memasak untuk semuanya. Terutama untuk Kak Darren sama Kak
Nando. Mereka suka pilih pilih makan, jadinya terbiasa sama masakanku..."
Di sela kalimatnya, Nindi terhenti
sejenak. "Ya, itu semua sih hal yang sudah dipelajari dulu."
Dulu, untuk menyenangkan
kakak-kakaknya di rumah, dia sengaja belajar dari pelayan dapur keluarga.
Wajah Cakra terlihat kesal, suaranya
melembut." Hei bocah, tanganmu itu diciptakan bukan untuk memasak."
No comments: