Bab 47
Nindi sedikit tertegun.
Cakra bilang, tangannya diciptakan
bukan untuk memasak?
Padahal, Nindi pikir Cakra akan
senang kalau dimasakkan olehnya.
Cakra berdiri tegas di depannya.
Suaranya tenang. Kamu nggak perlu melakukan semua ini untuk menyenangkanku."
Ada rasa sesak menyelip di dada
Nindi. Semua ini awalnya hanya kebiasaan, sesuatu yang terjadi secara naluriah.
Bagaimanapun, dia ingin membalas budí.
Namun, tampaknya Cakra menyadari
semua itu.
"Baiklah, kalau begitu."
Nindi menggaruk rambutnya, canggung.
"Bibi akan datang sebentar lagi
buat masak."
Dia tak berniat memaksakan kehendak,
tetapi diam-diam melirik Cakra. Ada rasa kagum yang sulit dia tutupi.
Cakra saat ini... persis seperti pria
yang pernah dia sukai diam-diam di kehidupan sebelumnya.
Sosok pria itu, dulu, pernah
menyadarkan Nindi bahwa kakak-kakaknya tidak memperlakukannya dengan baik.
Namun, dia enggan menerima kenyataan dan akhirnya, semua berujung tragis.
Sekarang ini, gaya bicara Cakra dan
pria itu sangatlah mirip!
Semakin lama bersama Cakra, Nindi
mulai curiga Jangan jangan, pria ini benar benar orang yang sama?
Nindi seketika tersesat dalam pusaran
kebingungan yang membelenggu pikirannya.
Seandainya Nindi bisa bertemu orang
itu di kehidupan sebelumnya, pasti dia bisa mengenalinya di kehidupan ini.
Tak berselang lama, bibi datang
membawa beberapa hidangan, memenuhi meja makan.
Nindi terdiam, menatap pemandangan
itu dengan mata berbinar. Hampir semuanya adalah makanan favoritnya. Daging
rebus, ayam pedas, semuanya terlihat begitu menggugah selera.
Nindi segera menyantap makanannya
dengan lahap.
"Di rumahmu nggak bisa makan
beginian?" Cakra bertanya, melihat cara Nindi makan seperti orang
kelaparan.
Pergerakan Nindi seketika terhenti,
dia menelan ludah pelan. "Tubuh Sania lemah. Jadi, di rumah semua makanan
dibuat sehat. Nggak boleh pedas."
Itulah alasan mengapa Nindi tidak
pernah bisa menyantap makanan kesukaannya ketika berada di rumah.
Cakra merasakan napasnya tercekat,
bahkan hatinya terasa sumpek, seakan gumpalan kapas tengah menghalau jalan
masuknya udara.
Seorang Nindi Lesmana, putri keluarga
kaya, justru hidup dengan begitu banyak batasan. Apa yang dia jalani bahkan
terasa lebih sulit daripada gadis biasa.
Dia seharusnya datang lebih cepat.
Sementara itu, Nindi makan sampai
perutnya terasa penuh. Sambil mengusap sudut bibirnya, dia menoleh ke arah
Cakra, yang makan dengan tenang. Gaya makannya begitu anggun dan elegan.
Nindi sontak mematung, menyadari
betapa kontrasnya gaya makan mereka.
Sungguh layaknya langit dan bumi.
Nindi benar-benar takjub, bagaimana
seseorang bisa menikmati makanan dengan gerakan yang begitu anggun.
"Sudah puas lihatin aku?"
tanya Cakra, meletakkan sumpitnya.
Nindi tersentak, buru-buru
mengalihkan pandangan. "Ih, siapa yang lihatin? Geer banget. Kamu aja
nggak ngelihat aku, gimana tahu aku lihatin kamu?"
Cakra hanya diam, tetapi senyuman
tipis menghiasi wajahnya.
Selesai makan, Nindi pergi ke ruang
kerja untuk mengerjakan tugas-tugasnya.
Di ruang tamu, Cakra sempat duduk
beberapa saat sebelum akhirnya berjalan ke balkon, mengambil ponselnya.
Dia bersandar di pagar balkon, dan
langsung menelepon seseorang. "Cari tahu siapa yang tadi ungkapin
perasaannya ke Nindi di depan gerbang sekolah."
"Kak Cakra, ada yang ungkapin
perasaannya ke bocah itu hal yang baik, tahu."
Cakra mengabaikan komentarnya.
"Dia anak SMA tetangga. Katanya bintang kelas yang baru pindah dari Kota
Yunaria."
"Oh, si Yanuar. Sudah, sudah.
Nggak perlu repot cari tahu. Dia itu anak paman keduaku. Anak itu terpaksa
pindah karena bermasalah di Yunaria."
Nada bicara Cakra berubah dingin.
"Peringatkan keluarganya. Jangan ganggu Nindi."
"Ya ampun, posesif banget. Anak
muda wajar lah suka-sukaan, anak SMA mana sih yang nggak pernah ngerasain cinta
monyet? Lagian, kalau nanti Nindi kuliah, dia pasti punya pacar juga."
"Diam, sekarang dia harus fokus
ujian. Nggak boleh terganggu sama hal lain," tukas Cakra tajam.
Cakra menoleh ke arah ruang kerja,
terlihat Nindi sedang serius mengerjakan tugasnya dengan sangat tenang.
Zovan menghela napas. "Ya, ya,
ya. Nanti kuberitahu Pamanku. Tapi, Kak, apa kamu nggak terlalu ikut campur?
Kalau Nindi suka sama Yanuar gimana? Dia ganteng, banyak yang suka. Pandai
gombal lagi. Mungkin saja, Nindi juga tertarik sama dia?"
Cakra mulai jengkel. "Andai
IQ-mu setinggi omongan nggak pentingmu, ibumu pasti senang."
Zovan tertawa kecil. "Wah, sudah
tersinggung? Hei, jangan lupa kamu itu sudah punya tunangan, lho. Jangan
lupakan wanita yang kamu temui di restoran kemarin."
"Urus saja urusanmu."
Cakra langsung mematikan panggilan.
Setelahnya, dia masuk ke ruang kerja.
Berdiri di belakang Nindi, dia
menatap kertas soal di depannya. "Lelet banget. Ini pun nggak bisa?"
"Ya, lagi coba kukerjain,"
balas Nindi lirih.
Rasa nyeri halus di perut bagian
bawah membuat Nindi gelisah, sehingga perhatiannya sedikit teralihkan.
Apakah karena efek makan pedas tadi?
No comments: