Bangkit dari Luka ~ Bab 50

Bab 50

 

"Dia punya enam kakak yang melindunginya, kenapa malah dibilang hidup sengsara?"

 

Nada suara Cakra mendadak dingin. "Karena mereka juga punya adik angkat. Putri sopir keluarga Lesmana itu diperlakukan dengan sangat baik, sementara Nindi? Dia diabaikan, bahkan sering diperlakukan nggak adil."

 

Awalnya, Cakra pikir hidup Nindi baik-baik saja, nyaman seperti yang terlihat dari luar. Namun, semakin dia mengenalnya, sernakin sadar betapa berat dan menyedihkannya kehidupan Nindi.

 

Saking malangnya, orang yang tahu pasti merasa iba.

 

Membuat siapa pun yang melihatnya merasa ingin menjaganya dengan lebih baik.

 

Zovan menghela napas, tampak memikirkan sesuatu. "Tuh, 'kan. Apa kubilang? Sikap kakaknya yang terakhir di UKS itu jelas nggak wajar. Awalnya kupikir mungkin Nindi yang nakal, makanya digituin. Eh, ternyata bukan. Barusan saja dia sopan banget, ramah lagi. Sama sekali nggak kayak yang dibilang orang-orang."

 

Orang bodoh mana yang bersikap sangat tidak adil?

 

Bukannya melindungi adik kandung sendiri, malah memperlakukan adik angkat lebih baik.

 

"Makanya aku makin merasa bersalah. Kalau orang tuanya nggak kena kecelakaan tahun lalu, hidupnya nggak mungkin sesulit ini."

 

Cakra menurunkan pandangannya, menutupi kesedihan yang melintas di matanya.

 

Zovan memandang Cakra dengan khawatir. "Kak, apa yang terjadi waktu itu adalah kecelakaan. Kamu nggak bisa menyalahkan semuanya ke dirimu sendiri. Kalau kamu mau berbuat baik sama dia, lakukan saja. Kalian juga bisa dibilang bernasib serupa."

 

Namun, jauh di dalam hati, Zovan cemas. Perhatian Cakra terhadap Nindi semakin lama semakin berlebihan. Kalau terus begini, rasanya ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa bersalah di balik semua itu.

 

Kemungkinan Cakra sendiri juga tidak sadar dengan tindakannya!

 

Keesokan harinya, hujan turun dengan deras.

 

Langit mendung seakan enggan memberikan sedikit pun cahaya pagi. Nindi sesaat merasa bingung.

 

Hari ini adalah hari pertama menstruasi, dan dia tahu betul, kalau sampai sepatunya basah, perutnya pasti akan merasa tidak nyaman.

 

Setelah selesai merapikan tas dan bersiap keluar, seketika terdengar suara pintu dari arah sebelah.

 

Zovan melambaikan tangan dari jauh, tersenyum lebar seperti biasa. "Pagi, Dik Lemon! Di luar hujannya deras banget. Susah pasti kalau mau naik taksi. Yuk, kami antar ke sekolah!"

 

Di sampingnya, Cakra berdiri dengan tenang, sesekali melirik Nindi. "Yuk, jalan."

 

Nindi juga tidak menolak. Entah mengapa, hatinya ikut merasa hangat.

 

Ketiganya pun bersama-sama menuju garasi. Ketika mereka tiba di depan sebuah mobil hitam mewah, Nindi mendadak berhenti. Matanya membesar. "Ini mobilmu?" tanyanya sambil menatap Zovan.

 

Kemarin Cakra juga menjemputnya dengan mobil ini.

 

Semalam, Nindi iseng mencari tahu, dan ternyata mobil ini harganya mencapai puluhan miliar.

 

Zovan langsung berdeham, berusaha terlihat santai. "Iya dong, mobilku. Lihat garis-garisnya? Elegan banget, kan?!" katanya bangga, sambil memamerkan mobil itu.

 

Dalam hati, dia berpikir, 'Kesempatan buat pamer gini nggak boleh dilewatkan!'

 

Cakra yang sudah duduk di kursi depan menatapnya tajam. "Cepat jalan," katanya dingin.

 

"Siap!" sahut Zovan terkekeh.

 

Zovan senangnya bukan main. Lagi pula, sedari awal dia memang sudah tertarik dengan mobil ini. Hanya saja, dia kalah cepat dari Cakra.

 

Di dalam mobil, Nindi duduk di kursi belakang, memperhatikan interaksi kedua sahabat itu. Dia merasa sedikit iri.

 

Karena rumor buruk yang disebarkan Sania, Nindi sulit mendapat teman di sekolah.

 

Selama ini, dia hanya bisa mengagumi hubungan akrab seperti yang dimiliki Cakra dan Zovan.

 

Hujan semakin deras, membuat jalanan macet.

 

Ketika mobil akhirnya berhenti di depan gerbang sekolah, area parkiran penuh dengan mobil dan orang yang berlalu lalang membawa payung.

 

Cakra turun lebih dulu. Dengan satu gerakan tenang, dia membuka payung hitam besar, berdiri di depan pintu belakang mobil.

 

Nindi tertegun, lalu membuka pintu perlahan turun.

 

Hujan yang deras seolah mengaburkan pandangan, tetapi satu hal yang membuatnya heran.

 

Dia sama sekali tidak terkena setetes air pun.

 

Payung besar yang dipegang Cakra melindungi seluruh tubuhnya, menyisakan pergelangan tangannya yang terlihat.

 

Bahkan di tengah derasnya hujan, ruang di bawah payung itu terasa bersih dan tenang.

 

"Payungnya cuma satu?" tanya Nindi, menatap payung hitam besar itu.

 

"Masih ada banyak kok, Dik Lemon. Yang itu kamu pakai ke sekolah ya."

 

Zovan segera berlari di belakang kursi untuk mengambil payung lain di tengah hujan. Dia lalu berdiri di samping Cakra, jelas ingin membuatnya menjaga jarak dari Nindi.

 

Cakra menyerahkan payungnya pada Nindi tanpa bicara.

 

Saat Nindi meraih gagang payung itu, dia merasakan kehangatan yang tertinggal di sana.

 

Nindi menundukkan pandangan. "Kalau begitu, aku duluan ya," ucapnya lembut.

 

Dia berjalan menuju gerbang sekolah dengan hati yang terasa hangat meskipun hujan masih mengguyur deras.

 

Tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang. "Kak Nindi, tunggu! Aku boleh ikut numpang, nggak?"

 

 

Bab Lengkap

Bangkit dari Luka ~ Bab 50 Bangkit dari Luka ~ Bab 50 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on February 20, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.