Bab 9 Keluarga Yuridis Menghina Elisa
"Karena kamu mengenal penyelamat
Michel, pilihlah beberapa barang lalu kirimkan padanya." Jason terbatuk
pelan. Pandangannya jatuh pada Asisten Jeremy. Matanya seperti air yang
kedalamannya tidak bisa diukur. "Dalam beberapa hari lagi, aku akan
membawa Michel untuk mengunjunginya."
Asisten Jeremy terkejut sampai
berkeringat dingin saat ditatap oleh bosnya. Mana mungkin dia berani menatap
mata bos mereka? Dia segera menjawab." Baik, Bos!"
Lagi pula, Nona Elisa juga mudah ditemui.
Bagaimanapun juga, dia punya hubungan dengan keluarga Yuridis, jadi dia pasti
akan bersikap hormat.
Asisten Jeremy berpikiran terlalu
muluk. Dia tidak menyadari kalau Elisa yang sekarang tidak ingin bertemu dengan
keluarga Yuridis karena itu akan menjadi bencana.
Namun, keluarga Yuridis terus
mendekatinya seperti sekarang.
Setelah mengantar anak itu, saat
Elisa baru saja akan pulang dengan sepeda, suara yang familier tiba -tiba
terdengar di sampingnya.
"Kenapa kamu ada di sini?"
Orang yang berbicara adalah ibu
angkatnya, Wanda Zico. Nada bicaranya sangat tidak menyenangkan, dia bahkan
malas untuk memanggilnya Elisa.
Elisa melirik ke arah suara itu dan
melihat sekelompok orang yang tidak jauh dari sana.
Selain ayah angkatnya, Adrian
Yuridis, ada juga kerabat dari keluarga Zico dan Yabel yang telah kembali.
Mereka terlihat seperti bintang-bintang yang mengelilingi bulan.
Yabel menopang seorang lansia sambil
tersenyum dan membisikkan sesuatu.
Orang tua itu tampak sangat puas
dengan Yabel. Dia menepuk-nepuk tangan Yabel dengan lembut. Sikapnya terlihat
elegan dan anggun, serta memberikan kesan kedamaian.
Wanda jelas tidak ingin orang-orang
di belakang melihat Elisa, jadi dia berdiri menyamping untuk menutupi Elisa.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Wanda berusaha semaksimal mungkin
untuk menyembunyikan kegelisahannya, tetapi nada suaranya masih menunjukkan
kegelisahannya.
"Elisa, kami sudah menjelaskan
semuanya dengan jelas kemarin. Orang tua kandungmu ada di desa, jadi kenapa
kamu nggak mencari mereka dan malah mengikuti kami ke Hotel Caesar!"
Dia mengira Elisa mengikuti mereka
dan bersembunyi di luar untuk menunggu mereka keluar.
"Kalau kamu merasa 20 juta nggak
cukup, aku akan kasih lebih banyak lagi ke kamu nanti."
Wanda menatap Elisa yang ada di
depannya. Gadis itu mengenakan kaos oblong dan celana jeans biasa tanpa riasan
apa pun dengan ransel yang tergantung longgar di bahunya.
Apa dia meninggalkan Kediaman Yuridis
dengan penampilan seperti ini?
Apa karena dia tidak punya uang?
Wanda menarik napas dalam-dalam dan
berkata dengan pelan, "Aku tahu kamu nggak ingin kembali ke desa karena
sudah hidup berkecukupan, tapi kami nggak berkewajiban untuk menafkahimu lagi.
Aku masih punya kartu dengan saldo 100 juta, ambil dan pergilah sekarang."
Elisa melihat Wanda yang ingin segera
memutuskan hubungan dengannya. Dia meletakkan satu tangan di setang sepeda
sambil mengedipkan matanya dengan malas.
Namun, begitu dia hendak berbicara,
seseorang berkata, "Wanda, ini siapa? Kalian saling kenal?" Seorang
pria tua berambut perak datang. Dia mengamati Elisa dan terlihat ragu.
Wanda segera berkata, "Saudara
jauh dan kami kebetulan bertemu. Aku masih sangat belia makanya jadi ingin
membantunya."
"Oh." Pria tua itu
mengangguk puas, kemudian melihat ke arah Yabel. "Yabel juga mengikuti
sifatmu, dia baik hati."
Yabel menatap dengan mata yang tak
berdosa. Dia ingin mengatakan sesuatu tetapi akhirnya tidak mengatakan apa-apa
dan hanya menundukkan kepala dengan lembut. "Ibu sering mengajariku untuk
membantu orang lain, ini juga adalah dasar kedokteran."
"Bagus." Pria tua itu makin
mengagumi Yabel. Dia menunjuk Adrian dan berkata, "Kamu beruntung punya
seorang putri yang baik."
Awalnya Adrian masih berpikir apa dia
harus menjelaskan identitas Elisa atau tidak.
Adrian tidak ragu lagi setelah
mendengar kata-kata orang tua itu. "Yabel yang belajar dengan baik."
Tidak seperti putri palsunya itu yang
tidak bisa membaca ekspresi wajah orang.
Adrian mendekat dan berkata pada
Wanda, "Ada aku di sini. Kamu masuk duluan saja, jangan terlalu
mengkhawatirkan urusan keluarga."
Wanda menatap Elisa lalu menghela
napas panjang. "Kalau gitu, coba kamu yang nasihati Elisa. Hidupnya juga
nggak mudah."
Wanda terlihat bersimpati, tetapi
sebenarnya kata-kata yang dia maksudkan adalah 'kalau ini bukan tempat yang
bisa didatangi orang sepertimu, jadi cepatlah pergi' hampir saja terlihat jelas
di matanya.
No comments: