Bab 1851
Sarni memang pandai memilih sasaran.
Dia tahu Wennie itu berhati baik. Menurutnya, kalau Wennie sudah pernah
menyelamatkannya sekali, pasti bisa menyelamatkannya untuk kedua kali!
"Kalau kamu mengajariku ilmu
pengobatan, bukankah kamu guruku? Kamu sudah menolongku sekali, masa kamu tega
membiarkan aku dalam bahaya lagi? Kamu benar-benar sanggup melihatku menelan
pil itu?" kata Sarni dengan suara memelas.
Namun, Saka malah tertawa dingin. Dia
berkata, " Kamu? Memangnya kamu layak menelan pil itu?"
Sarni tertegun sejenak, lalu dengan
penuh sukacita berkata, "Benar, aku memang nggak layak! Pil itu terlalu
berharga untukku. Aku pergi saja sekarang!"
Namun, sebelum dia bisa melangkah,
Saka dengan cepat menendangnya hingga jatuh tersungkur ke tanah. Dengan dingin,
dia menginjak dada Sarni yang bergetar menahan sakit, dan berkata dengan suara
rendah, "Kamu sudah mengkhianati gurumu, jadi segala ilmu yang diajarkan
padamu, kamu harus bayar lunas, ditambah bunganya!"
"Kamu ... kamu mau apa?"
tanya Sarni dengan wajah pucat.
Saka tidak langsung menjawab. Dia
menoleh ke Wennie dan bertanya, "Waktu kamu menyelamatkannya dulu,
bagaimana kondisinya?"
Setelah ragu sejenak, Wennie
menjawab, "Semua meridiannya hancur. Dalam tiga hari, dia pasti mati.
"Bagus."
Tanpa membuang waktu, Saka
mengayunkan tangannya. Dalam sekejap, dia menghancurkan semua meridian Sarni,
membuatnya tidak mungkin pulih kecuali oleh seseorang dari garis keturunan
Tabib Agung. Sekarang, dia hanyalah orang biasa.
"Ahhh!"
Teriakan Sarni yang memilukan
menggema di udara, matanya penuh dengan rasa takut.
Kekuatannya, yang menjadi sumber
kepercayaannya selama ini, telah direnggut dengan kejam!
"Pulanglah, suruh kakakmu bawa
dua api ilahi tingkat lima serta dua kali lipat bahan obat yang aku minta.
Ingat, nyawamu ada di tanganku. Kalau aku tahu kamu berbohong, dalam tiga hari
kamu akan mati," ancam Saka dengan dingin, sebelum menendangnya lagi
hingga terlempar jauh.
Wennie segera memerintahkan seseorang
untuk mengatur perjalanan Sarni kembali ke Gunung Nagari.
Saat itu, suasana mulai mereda. Kini,
hanya tinggal Saka dan Julio yang tersisa di tempat itu.
Saka melirik Julio dan berkata
santai, "Kamu bisa pergi sekarang."
Julio tetap tenang. Dia mendengus,
"Sekarang kamu sudah menyinggung Gunung Nagari. Renan nggak akan
membiarkanmu hidup. Apa gunanya satu mata -mata dan beberapa bahan obat? Dengan
begitu banyak musuh, kamu bisa bertahan sampai kapan?"
Mendengar itu, Saka hanya tertawa
kecil. Dia berkata, "Aku tahu kamu nggak akan menyerah begitu saja. Jadi,
mau langsung bertarung?" Balasnya.
"Kalau aku bertarung denganmu,
itu sama saja
dengan menghancurkanmu. Lagi pula ...
Dokter
Wennie mungkin nggak akan
menyukainya."
Julio menatap Saka dengan tatapan
dingin dan melanjutkan, "Tapi, aku punya ide lain."
"Katakan," balas Saka
sambil tersenyum tipis.
"Aku akan membantumu menemukan
Gary. Setelah itu, kalian pergi, jangan ganggu lagi Dokter Dewi Sakti!"
tawar Julio dengan serius.
"Jadi kamu tahu di mana
dia?" tanya Saka dengan menatap Julio tajam, berusaha menggunakan teknik
membaca pikirannya. Namun, yang didapatkan hanya kehampaan. Saka mencibir dalam
hati, " Kamu nggak tahu apa-apa, tapi sok tahu."
Namun, Julio hanya tertawa dingin.
Dia berkata, " Kalau aku mau mencarinya, aku pasti bisa
menemukannya."
Setelah melemparkan kata-kata itu,
dia berjalan pergi dengan tenang, tampak akan menggunakan koneksinya untuk
mencari Gary.
Saka menatapnya dengan ekspresi aneh.
Dalam hati dia berpikir, "Kenapa rasanya seperti nelayan yang memberikan
ikan ke kucing lapar?"
Tak lama, Wennie datang menghampiri.
Dia menghela napas pelan dan berkata, "Terima kasih banyak, Kak Saka. Tapi
aku rasa kita harus segera pindah tempat."
Tadi memang menyenangkan, tetapi
pertempuran itu juga menambah daftar musuh mereka. Renan pasti akan makin
memusatkan perhatian pada mereka dan bahaya yang lebih besar sudah pasti
menunggu di depan.
"Ya, kita memang harus
pindah," kata Saka sambil mengangguk setuju.
Wajah Wennie berubah serius. Dia
berkata, "Aku punya beberapa tempat yang bisa kita pilih... "
"Nggak perlu," potong Saka
sambil tersenyum kecil. Dia berkata, "Menurutku, Gunung Nagari justru
tempat yang paling cocok."
Wennie langsung tertegun, matanya
penuh keterkejutan.
Namun, Saka hanya menyilangkan tangan
di punggungnya, lalu berkata santai, "Sekarang, Pak Gary telah kalah,
Gunung Nagari pasti sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan Renan.
Sarni memang punya posisi penting di
sana, tapi dia bukan pengambil keputusan. Mereka mungkin akan menyerahkan bahan
obat sekali untuk menyelamatkannya, tapi kamu kira mereka akan terus mau
diperas?"
Wennie menggeleng pelan.
Dia sudah memikirkannya, tetapi hanya
berharap mendapat satu kali kiriman bahan obat saja. Itu sudah lebih dari cukup
baginya.
"Gunung Nagari itu markas
gabungan dari berbagai sekte di wilayah atas. Kita nggak mungkin mengalahkan
mereka. Jangan gegabah," kata Wennie khawatir.
Dulu Adriel tewas karena terbawa
emosi, dia tidak ingin Saka mengulangi kesalahan yang sama!
Saka hanya tersenyum tenang. Dia
berkata, "Siapa bilang aku mau menyerang mereka langsung? Kebetulan aku
baru saja mendapat racun langka yang sangat menular..."
Dia memandang ke arah Gunung Nagari
dengan santai dan berkata, "Saat kita tiba di sana, harusnya racun sudah
mulai bekerja, 'kan?"
No comments: