Bab 1852
"Kamu pakai racun apa kali
ini?" tanya Wennie penasaran.
"Racun api," jawab Saka
sambil tersenyum tipis.
Penyakit racun darah yang biasanya
jadi andalannya dikesampingkan. Racun itu sudah terlalu terkenal setelah
kematian Iblis Darah, hampir seperti tanda tangannya.
Terlalu mencolok, tidak baik.
Namun mendengar jawabannya, Wennie
tampak sedikit kecewa. Dia bergumam dengan pelan, "Jadi cuma racun api...
"
Racun api memang terlalu umum,
efeknya tidak akan terlalu luar biasa. Namun, dia tidak ingin merusak
kepercayaan diri Saka, jadi dia berkata dengan nada lembut, "Kita harus
berjaga-jaga. Lebih baik cari tempat lain untuk bersiap."
Saka hanya tertawa kecil. Dia
bertanya, "Kamu nggak percaya padaku?"
Racun api mungkin biasa saja di
tempat ini, tetapi dengan teknik khusus warisan Tabib Agung, racun itu kini
jauh lebih efektif.
"Bukan itu. Harusnya tanggung
jawab ini milikku. Tapi sayangnya, aku kurang mahir dengan racun... ujar Wennie
dengan nada penuh penyesalan.
Tiga bulan bukan waktu yang cukup
untuk mempelajari racun dengan mendalam. Jika saja Adriel yang melakukannya....
Pikirannya tiba tiba teralihkan,
bayangan Adriel kembali menghantui.
Meski waktu yang mereka habiskan
bersama tidak terlalu lama, kenangan itu cukup kuat untuk membuat sosok Adriel
tertanam di hatinya.
Pertemuan pertama saat mereka
mengejar Herios, perlindungan di Akademi Arjuna, kebersamaan di Kota Awan,
bahkan tragedi keluarga Dumin
Bayangan Adriel yang tersenyum licik
saat menjebak musuh seolah kembali hadir.
Namun tunggu, itu bukan Adriel. Di
depannya ada Saka, meski senyumnya terasa mirip ...
"Aku tahu aku tampan, tapi kamu
nggak perlu memandangku seperti itu," ujar Saka sambil tersenyum menggoda.
Dia tahu apa yang ada di pikiran
Wennie, tetapi memilih untuk mencairkan suasana dengan candaan.
Wennie tersentak dari lamunannya,
lalu menggelengkan kepala dengan senyum pahit. Dia berkata, "Maaf, aku
melamun. Jangan diambil hati, Kak Saka."
Saka menarik napas panjang. Dia
bertanya dengan hati-hati, "Kamu merindukan suamimu yang telah
tiada?"
Wajah Wennie sedikit menegang, lalu
dia berkata pelan, "Aku ada pekerjaan. Silakan lakukan apa yang kamu mau,
Kak Saka."
Tanpa menunggu jawaban, Wennie
berbalik dan pergi.
Saka terdiam sejenak sebelum berkata,
"Aku nggak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi kalau dia
melihatmu seperti ini dari tempatnya sekarang, dia pasti nggak akan
senang."
Dia berhenti sejenak, lalu
menambahkan, "Kalau kamu mau, aku selalu ada di sini. Bicaralah kapan
saja."
Wennie menghentikan langkahnya
sejenak, tapi nada suaranya dingin saat menjawab, "Kak Saja, jika ada cara
untuk membuat suamiku hidup kembali, aku nggak akan ragu menukar nyawaku. Jadi,
aku harap kamu tahu batasmu."
Setelah mengatakan itu, dia melangkah
pergi tanpa menoleh.
Saka terpaku di tempat, merasa
bingung. Dia berpikir dalam hati, "Apa-apaan ini? Aku disalahpahami
lagi?" 1
Dia menghela napas dan menggerutu,
"Dasar nasib pria tampan, bercanda sedikit saja sudah dianggap punya niat
buruk..."
Tiba-tiba Julio muncul entah dari
mana, mengejek sambil menyeringai, "Badut."
Saka menatapnya datar dan membalas,
"Penjilat,"
"Dokter Wennie nggak mungkin
jadi milikmu. Hidup kalian saja seperti di ujung tanduk ... "
"Penjilat," potong Saka.
"Bisakah kamu pakai kata
lain?" balas Julio sambil melotot marah.
"Penjilat," ulang Saka
sambil tertawa dingin.
Lalu, dia berjalan santai
meninggalkan tempat itu.
"Kamu memang pandai bicara, tapi
apa lagi yang bisa kamu lakukan? Sudah bikin masalah, sekarang mau kabur begitu
saja?" teriak Julio dengan nada mengejek.
Tanpa menoleh, Saka hanya
meninggalkan kalimat samar, "Katakan pada Dokter Wennie, aku akan merebut
Gunung Nagari untuknya."
Setelah itu, Saka pergi bersama
Cecil, menuju lokasi Gunung Nagari.
Wilayah itu memang terkenal kaya akan
bahan obat. Makin dekat mereka ke Gunung Nagari, Saka bisa merasakan energi
inti yang begitu kuat. Di sepanjang jalan, beberapa orang terlihat sibuk memetik
bahan obat di sekitar.
"Kalau kita berhasil merebut
persediaan bahan obat mereka, masalah kita soal obat selesai. Setidaknya cukup
untuk naik satu tingkat lagi, mencapai tingkat langit tahap delapan!"
pikir Saka dengan mata bersinar.
Dengan kekuatan tempurnya,
menaklukkan Gunung Nagari yang sudah teracuni bukanlah hal sulit.
Selain untuk dirinya, obat-obatan itu
bisa digunakan untuk membantu Wennie dan lainnya meningkatkan kekuatan mereka,
sekaligus memperkuat posisi mereka melawan Renan.
Namun, belum satu jam mereka
mendekati gunung, tiba-tiba serangan energi sejati datang melesat. Cecil
mendengus dingin, mengangkat tangannya, dan menghancurkan serangan itu dengan
mudah.
"Siapa yang berani menghalangi
jalan kami?"
serunya dengan suara lantang.
Sikapnya memang selalu keras, kecuali kepada Saka.
Petarung dari wilayah utara mana yang
berani menantangnya?
"Gunung Nagari memang selalu
arogan, ya?" gumam Saka sambil mengangkat alis.
Di hadapan mereka, sekitar seratus
meter jauhnya, berdiri seorang pria dan wanita muda.
Wanita itu memancarkan energi sejati
yang kuat, menatap mereka dengan tatapan sinis. Sedangkan pria di sampingnya
tampak jauh lebih tenang, menatap mereka dengan dingin tanpa bicara.
No comments: