Bab 1953
Di sisi lain, Saka sama sekali tidak
tahu apa yang sedang terjadi di paviliun itu.
Dia kini telah mencapai tahap akhir
dalam proses penyatuan Api Ilahi tingkat sembilan. Tiga Api Ilahi tingkat
delapan melayang-layang di hadapannya, hampir menyatu menjadi satu.
"Berhasil!" seru Saka,
membuka matanya.
Seketika, Api Ilahi yang telah
sepenuhnya menyatu muncul di hadapannya. Panas luar biasa menyebar ke segala
arah, seolah-olah dapat membakar segala sesuatu di sekitarnya.
Api itu menyala perlahan, seolah-olah
akan terus berkobar selamanya. Dari dalamnya, terdengar samar-samar suara
raungan binatang buas, menambah aura keagungan dan kekuatannya.
"Setiap Api Ilahi tingkat
sembilan memiliki kemampuan khusus," gumam Saka sambil mengamati api
tersebut. "Kemampuan itu akan diwariskan kepada tubuhku setelah aku
mencapai tahap master ilahi. Tapi, apa kemampuan yang dimiliki api yang
terbentuk dari penyatuan ini?"
Dia merenung sejenak, tetapi
jawabannya hanya akan terungkap setelah dia naik ke tingkat master ilahi.
Tatapannya lalu beralih pada sebuah
peta di tangannya, yang dikirimkan oleh Wafa bersama dengan Api Ilahi tingkat
delapan.
Peta itu menunjukkan lokasi
Pegunungan Tunaga, yang bentuknya menyerupai naga raksasa yang telah mati.
Tatapan Saka menjadi serius.
Pegunungan Tunaga adalah salah satu tempat paling berbahaya di Gunung Reribu.
Tempat itu diselimuti gas beracun yang mematikan, dan konon, bahkan seorang
master ilahi setengah langkah pun bisa kehilangan nyawanya di sana.
Namun, lokasi itu juga sangat dekat
dengan Batu Delapan Sekte, tempat yang menjadi tujuannya.
"Tapi, kenapa Adair dan yang
lainnya menekan kekuatan mereka untuk mendapatkan peluang ini?"
Saka mengerutkan alis, merasa
bingung. Tidak seperti orang lain, dia tahu bahwa buah liur naga sebenarnya
tidak membutuhkan batasan kekuatan tertentu.
"Menekan kekuatan seperti ini
terdengar bodoh pikirnya.
Selain itu, sebelum mereka menekan
kekuatan, apakah mereka sebenarnya sudah berada di tahap master ilahi setengah
langkah?
"Sudahlah, fokus saja pada
latihan..." ujar Saka sambil menghela napas panjang, membuang pikiran itu
dari kepalanya.
Dia segera menyiapkan rendaman obat,
menenangkan pikirannya, lalu memulai latihan.
Tidak lama setelah dia menutup mata,
tubuhnya mulai memancarkan cahaya keemasan. Asap obat yang melayang di udara
seolah disedot masuk melalui hidung dan mulutnya.
Di dalam pikirannya, dia kembali
mempelajari seni bela diri Leluhur Lavali. Makin lama dia mempelajarinya, makin
dia menyadari bahwa asal -usul seni bela diri ini sangat luar biasa.
Kemungkinan besar, seni itu berasal dari tingkat master ilahi.
Meski begitu, yang membuat seni bela
diri ini lebih istimewa bukanlah tingkatannya, tetapi fakta bahwa seni ini
disampaikan dengan metode pengajaran langsung, seperti belajar dari seorang guru
nyata, bukan sekadar membaca dari buku pelajaran.
Satu hari berlalu dengan cepat.
Di luar perbatasan, pertempuran besar
di Gunung Reribu telah menimbulkan riak yang menyebar luas. Nama Saka, pemimpin
pemberontakan, dengan cepat menjadi buah bibir di mana-mana.
Banyak pihak berpikir Saka akan
segera membawa pasukannya ke kawasan perbatasan. Dan enam keluarga besar akan
menghancurkan kekuatan pemberontak ini sampai tuntas.
Namun, tidak ada perkembangan dari
Saka, enam keluarga besar juga tampaknya memilih diam, tidak melakukan tindakan
apa pun.
Kebisuan ini mengecewakan banyak
pihak yang berharap akan pertunjukan besar.
Di kaki Pegunungan Tunaga, di dalam
sebuah gubuk kecil.
Hikmal sedang melaporkan
kejadian-kejadian terbaru di luar perbatasan kepada Adair.
Adair mendengarkan dengan tenang.
Dengan senyum tipis di wajahnya, dia berkata, "Sepertinya aku telah
meremehkan Saka. Dalam beberapa hari saja, dia berhasil membuat gelombang yang
cukup besar :.."
"Orang ini harus segera
disingkirkan! Kalau nggak, dia akan menjadi ancaman besar di masa depan!"
kata Hikmal dengan nada serius, alisnya berkerut dalam.
"Ancaman besar? Ancaman yang
sebenarnya adalah Adriel. Sedangkan Saka? Dia nggak akan pernah keluar dari
Gunung Reribu," jawab Adair dengan tatapan dingin.
Rasa sakit hati karena pernah
dimanipulasi oleh Saka masih membekas di hatinya. Sebagai anggota keluarga
Syahrir, dia tidak pernah dipermalukan sebesar itu sebelumnya, apalagi oleh
seseorang dari wilayah selatan!
Hanya dengan membunuh Saka dengan tangannya
sendiri, dendamnya akan terbayar.
Namun, tiba-tiba, suara gaduh dari
luar memecah ketenangan.
"Tuan Adair, Anda nggak boleh
melawan Adriel! Anda nggak akan menang! Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Tatapan Adair langsung berubah
dingin. Dengan suara rendah, dia berkata, "Siapa yang berani membuat
keributan di sini?"
Seorang pengawal masuk dengan wajah
tegang. Di tangannya, dia memegang seorang wanita dengan rambut kusut yang
tampak gelisah. "Tuan, dia adalah salah satu bawahan Saka. Dia bilang dia punya
informasi penting untuk Anda, dan dia mencoba memaksa masuk..."
Adair mengerutkan alis, tetapi
sebelum dia bisa berkata apa-apa, wanita itu langsung berteriak dengan nada
mendesak, "Tuan Adair, aku datang untuk memperingatkan Anda!"
Wanita itu tidak lain adalah Felicia!
Adair melambaikan tangannya, memberi
isyarat agar para pengawal mundur. Dia menatap dingin ke arah Felicia, matanya
penuh tekanan yang hampir mencekik.
"Kamu siapa?" tanyanya
dengan nada tajam.
Tatapan dingin Adair membuat telapak
tangan Felicia berkeringat. Dia tahu betul bahwa Adair adalah pewaris salah
satu keluarga besar paling berpengaruh, sosok yang bahkan keluarga Buana hanya
bisa lihat dari kejauhan. "Berada di sisinya, bukankah jauh lebih baik
daripada mengikuti Saka dan bertaruh nyawa di setiap langkah?" pikir
Felicia.
Dia merasa, kesempatannya untuk naik
ke puncak tinggal selangkah lagi!
"Aku adalah Felicia, dari
keluarga Buana di kota Srijaya. Aku pernah memburu Saka, tapi akhirnya
tertangkap olehnya, dan kemudian..."
"Omong kosong apa ini?"
Adair mengerutkan kening, merasa terganggu dengan ceritanya. Dengan nada
dingin, dia memotong, "Kamu bilang aku nggak bisa menang melawan
Saka?"
"Bukan hanya nggak bisa menang,
tapi Anda bisa mati!" ujar Felicia dengan cemas.
Wajah Adair menjadi semakin dingin
mendengar ini. Bahkan Hikmal yang berdiri di sampingnya ikut mengerutkan alis..
"Kenapa kamu berkata
begitu?" tanya Adair, suaranya semakin berat.
No comments: