Bab 332
Adriel kembali memberi hormat dengan
kedua tangannya sebagai tanda terima kasih.
Wendy mengangguk dengan ringan, lalu
berkata, "Kalau kamu takut, kamu bisa berlindung di rumahku untuk
sementara waktu."
"Terima kasih atas perhatianmu,
Bu Wendy. Tapi aku ingin menghadapi ini sendiri. Joshua bukan seorang master
puncak, jadi aku nggak perlu sampai ketakutan dan bersembunyi. Justru tekanan
ini yang akan memberiku motivasi," tolak Adriel.
Meski Adriel merasa sangat berterima
kasih, dia masih menolak tawaran baik Wendy.
"Kalau begitu, semoga
beruntung," balas Wendy tanpa banyak berkata lagi.
Dia melambaikan tangan, lalu turun
dari gunung, meninggalkan Adriel sendirian untuk berlatih di Gunung Violet.
Adriel berlatih selama satu jam lagi sebelum akhirnya melangkah turun gunung.
Jessy masih belum bangun, sementara
Adriel juga tidak membangunkannya. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian,
dia segera meninggalkan Mansion Nevada.
Di gedung rawat inap Rumah Sakit
Kota, Benny yang baru selesai menjalani operasi dikembalikan ke kamar perawatannya.
Dia terus tertidur, hingga akhirnya bangun keesokan harinya.
Dokter bedah yang bertanggung jawab
dalam operasi harus menghadapi tekanan yang besar. Namun, itu semua tetap tidak
bisa membuat kaki Benny yang patah pulih sepenuhnya. Dalam kondisi terbaik,
Benny hanya bisa berjalan dengan bantuan tongkat.
Benny berbaring di tempat tidur rumah
sakit, sementara istrinya, Elisa, berbaring di tempat tidur pendamping di
sebelahnya.
"Sayang, kamu sudah bangun. Aku
di sini," kata Elisa sambil buru-buru bangun ketika mendengar Benny
memanggil namanya. Dia segera mengambil air untuk mencuci wajah Benny.
"Orangnya sudah ditangkap, 'kan?
Sampaikan pada ayahku untuk nggak membunuhnya. Biarkan dia hidup dan siksa día
perlahan. Setelah aku keluar dari rumah sakit, aku akan memotongnya
sendiri," kata Benny.
Tangan Elisa yang sedang mengupas
buah berhenti sejenak, tidak berani bersuara. Dia tahu bahwa Benny pasti tidak
akan bisa menerima kenyataan ini, jadi dia harus menyembunyikannya untuk
sementara waktu.
"Aku sedang bicara padamu. Kamu
dengar, nggak?" kata Benny dengan nada tidak sabaran.
"Aku dengar. Aku akan
menyampaikannya pada Ayah. Sekarang, makanlah buah ini," jawab Elisa.
Elisa menundukkan kepala sambil
berbohong, lalu buru-buru menyodorkan buah pada Benny.
Plak!
Benny menampar buah yang baru saja
dipotong oleh Elisa hingga terlempar ke lantai.
"Makan apa? Aku nggak
selera!" maki Benny dengan kasar.
Mata Elisa tampak memerah. Hatinya
merasa sangat tersakiti. Namun, dia tetap membungkuk untuk mengambil buah yang
jatuh.
"Jadi kamu mau makan apa? Aku
akan membelikannya," kata Elisa dengan bibir gemetar.
"Saat ini, aku hanya ingin minum
darah bajingan itu dan memakan dagingnya. Selain itu, aku nggak bisa menelan
apa pun! Pergilah ke penjara garnisun. Potong sebagian daging bajingan itu,
lalu masak dagingnya untukku!"
Mata Benny tampak melotot,
ekspresinya penuh kebencian.
"Aku ... Aku nggak berani ...
" jawab Elisa dengan hati-hati.
"Kalau begitu, jangan ganggu aku
di sini. Keluar!" maki Benny.
Benny sudah sepenuhnya menjadikan
istrinya sebagai pelampiasan amarahnya.
"Aku khawatir kamu kesulitan
bergerak, jadi aku tetap berada di sini untuk merawatmu," jawab Elisa.
Meski hati Elisa sangat terluka, dia
selalu memiliki kesabaran yang besar. Dia juga memahami bahwa Benny merasa
sangat marah karena kakinya yang patah. Jadi, Elisa hanya bisa mengorbankan
dirinya sendiri.
"Keluar! Pergi dari sini!"
teriak Benny dengan keras sambil menunjuk pintu.
Emosinya sangat tidak terkendali saat
ini. Elisa tidak punya pilihan lain selain berkata, "Baiklah, aku akan
keluar sekarang. Jangan marah lagi. Cepat istirahatlah. Kalau ada apa -apa,
panggil saja aku."
Elisa keluar dari ruang rawat inap
dengan air mata yang berlinang.
"Kakak Ipar, kenapa kamu
menangis? Siapa yang sudah menyakitimu?"
No comments: