Bab 339
Elisa makin merasa pikirannya kacau.
Dia diam-diam meninggalkan tempat itu, lalu pergi ke kantin rumah sakit untuk
membeli sarapan. Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang-layang, tidak tahu
apakah dia harus memberi tahu Joshua dan Benny tentang masalah Alliya dan
Adriel.
Hingga dia selesai membeli sarapan
dan kembali ke kamar, Elisa masih belum memutuskan.
"Di mana Alliya? Kenapa dia
belum datang?" tanya Benny.
Benny yang kini terbaring di tempat
tidur menjadi makin mudah marah. Sedikit saja ada hal yang tidak berjalan
sesuai keinginannya, dia akan langsung marah besar.
"Dia ... Dia ... "
Elisa ingin memberi tahu Benny
tentang apa yang dilihatnya, tetapi merasa sulit untuk mengatakannya.
"Dia apa? Cepat naikkan tempat
tidurku. Bagaimana bisa aku makan?" umpat Benny.
Elisa segera menekan pikirannya yang
berantakan, lalu melayani Benny untuk makan.
Benny mencicipi satu sendok makanan,
lalu langsung memuntahkannya.
"Sarapan apa ini? Ini bahkan
nggak layak dimakan oleh manusia. Hewan saja nggak akan mau makan!" teriak
Benny.
"Aku membelinya di kantin rumah
sakit. Kamu makan saja sedikit. Kalau kamu mau makan sesuatu yang lain, nanti
aku akan meminta pelayan rumah untuk mengirimkan makanan setiap hari,"
ujar Elisa.
Elisa juga telah mencicipi sedikit.
Sebenarnya, rasanya tidak terlalu buruk. Elisa tahu Benny hanya mencari alasan
untuk marah, tetapi dia tetap harus bersabar untuk menenangkannya.
"Apa kamu bodoh? Apa makanan
dari kantin rumah sakit layak dimakan? Telepon pelayan rumah sekarang juga,
suruh mereka mengirimkan makanan. Buang saja sampah yang nggak layak makan
ini!" kata Benny.
Benny kembali meluapkan amarahnya.
Elisa hanya bisa membereskan sarapan
itu, lalu keluar dari kamar untuk membuangnya.
Dia sekali lagi melirik ke arah
lorong tempat pintu darurat berada, lalu bergumam pelan, " Bibi Alliya
seharusnya sudah pergi, 'kan?"
Sejak saat dia pergi membeli sarapan
hingga sekarang, sudah lebih dari setengah jam berlalu. Jadi, kedua orang itu
seharusnya sudah selesai.
Namun, seolah dituntun oleh rasa
penasaran, Elisa kembali berjalan menuju pintu darurat. Dia sekali lagi mendengar
suara Alliya. Kali ini, suaranya jauh lebih jelas daripada sebelumnya.
"Belum selesai juga? Apa mereka
benar- benar manusia?" gumam Elisa.
Elisa bukanlah gadis yang masih
polos. Dia sudah berpengalaman dalam hal ini. Benny yang memiliki tubuh kuat saja
biasanya hanya membutuhkan waktu sekitar belasan menit. Pria itu bahkan sering
kali membanggakan dirinya, mengatakan bahwa dirinya sudah lebih hebat dari 95
persen pria lainnya.
Elisa hanya pernah bersama dengan
Benny seorang, jadi dia tentu saja percaya sepenuhnya pada suaminya itu.
Sebenarnya, terkadang Elisa merasa
masih belum puas. Namun, karena kemampuan suaminya sudah melebihi 95 persen
pria, itu berarti Benny sangat hebat. Elisa pikir mungkin dirinya saja yang
terlalu serakah.
Elisa sekali lagi mendekati pintu
darurat dengan perasaan terkejut dan ragu. Dia dengan hati-hati membuka pintu,
lalu mengintip melalui celah kecil.
Alliya tampak sedang melingkarkan
kedua kakinya di pinggang Adriel, dengan kedua tangan memeluk leher pria itu.
Di bahu Adriel, terlihat bekas gigitan dari Alliya. Keduanya tampak berkeringat
deras.
"Glek..."
Elisa menelan ludah, matanya
terbelalak. Dia menutupi mulutnya, merasa sangat terkejut.
Kali ini, Elisa menyaksikan dengan
lebih antusias, sepenuhnya melupakan rencananya memanggil pelayan rumah untuk
mengantar makanan.
Namun, makin lama Elisa mengamati,
makin aneh perasaannya. Mengapa dia merasa tenggorokannya kering dan tubuhnya
mulai panas? Wajah Elisa terasa seperti terbakar, hatinya pun merasa gelisah.
Elisa sudah melupakan waktu. Rasanya
sudah sangat lama waktu berlalu, mungkin sudah lebih dari satu jam. Betapa luar
biasa lama waktu yang kedua orang ini pakai untuk melakukan ini!
Sekarang, Alliya sedang berlutut di
depan Adriel. Wajahnya yang polos menerima perawatan wajah yang diberikan oleh
Adriel. Ini adalah suatu metode yang konon bisa meremajakan kulit, melawan
keriput, melindungi dari sinar matahari, serta menjaga kelembapan kulit.
Elisa sekali lagi menelan ludah
dengan keras. Tidak tahu apakah dia terkejut atau justru iri dengan Alliya.
Alliya bersandar di sudut dinding
dengan tubuh lemas seolah-olah seluruh tulangnya hancur. Dari ekspresi dan
sikapnya, jelas bahwa dia sudah sepenuhnya ditaklukkan oleh Adriel.
No comments: