Bab 1768
Saat itu juga, semua orang merasakan
jantung mereka berdegup kencang.
Di langit tinggi, tanpa peringatan,
sesosok bayangan muncul.
Itu adalah sosok yang memancarkan
keagungan yang tak tertandingi.
Tubuhnya tinggi semampai, diselimuti
oleh cahaya merah seperti sinar mentari terbit, sementara jubah emasnya
berkilauan seperti pantulan surga. Ujung- ujung kain yang melambai lembut di
angin mengingatkan pada bidadari dari mitos kuno.
Bayangannya samar, hanya memberikan
garis besar yang begitu memikat. Tidak ada tekanan energi, tak ada aura
mengintimidasi, hanya keheningan yang terasa agung dan tidak nyata.
Seolah-olah keberadaannya di sana
adalah sesuatu yang wajar, seperti bagian alami dari dunia ini. Namun, bagi
siapa pun yang melihatnya, kehadirannya seperti jurang gelap, memikat, tetapi
tak terjangkau.
Liana berdiri terpaku, bibir merahnya
sedikit terbuka.
Orang lain mungkin tidak tahu, tapi
dia pernah mendengar Tabib Agung menyebutkan, bahwa kekuatan sejati melampaui
tekanan atau aura.
Mereka telah mencapai tingkatan yang
berbeda, seolah-olah menjadi bagian dari angin, salju, petir, dan elemen dunia.
Tidak ada yang menganggap angin memiliki kekuatan mengancam, karena ia hadir
begitu alami.
Dan itulah yang dia lihat sekarang.
Adriel, yang masih berlumuran darah,
perlahan mengangkat pandangannya. Matanya yang merah karena luka memandang
sosok itu dengan keterkejutan.
Bagaimana bisa dia ada di sini?
Apalagi, jarak antara Kota Silas dan
tempat ini begitu jauh...
Kesunyian yang tak tertandingi
menyelimuti medan perang.
Sosok itu tidak berkata sepatah kata
pun, tetapi kehadirannya saja sudah cukup membuat wajah Pembantai Darah berubah
drastis. Bahkan dia, yang hampir mencapai puncak kekuatan, tidak dapat
merasakan kekuatan atau wujud jelas dari sosok tersebut.
Dia hanya menatap dengan mata
menyipit penuh ketegangan. Dengan suara bergetar dan tanpa arogansi seperti
sebelumnya, Pembantai Darah akhirnya berbicara, "Siapa ... kamu
sebenarnya?"
Namun, sosok itu tidak menjawab.
Hanya cahaya merah-emas di sekitarnya yang perlahan meluas.
Pembantai Darah langsung menyadari
ada sesuatu yang salah. Wajahnya berubah pucat, tetapi sudah terlambat!
Boom! Cahaya merah-emas membanjiri
langit, menyelimuti segalanya.
Awan hitam yang tersisa menghilang
dalam sekejap, para pengikut Pembantai Darah memekik ketakutan. Mereka mencoba
melarikan diri, tetapi bagaimana mungkin mereka bisa kabur dari cahaya?
Cahaya itu turun seperti murka ilahi.
Tubuh mereka menghilang, larut
menjadi abu yang terbawa angin.
Satu serangan. Tidak, bahkan ini
bukan serangan sungguhan. Sosok itu bahkan belum bergerak.
Semua murid dan pengikut Pembantai
Darah ... musnah!
Pembantai Darah sendiri panik. Dia
melepaskan kekuatan energi darahnya untuk melindungi dirinya dari cahaya itu,
tetapi tubuhnya bergetar hebat di bawah tekanan.
Bak orang yang diserang dan menerima
ribuan pukulan sekaligus, darah bercampur organ dalam keluar dari mulutnya,
mengotori langit.
Dia meraung kesakitan. Matanya
berlinang darah, wajahnya dipenuhi ketakutan tak terbayangkan. Kakinya lemas
dan dia jatuh berlutut di tanah.
"Ini bukan kekuatan yang
seharusnya ada di kota Srijaya... Bahkan bukan kekuatan yang seharusnya ada di
dunia ini..." pikirnya dengan ngeri.
Jadi ini adalah ...
"Baik, aku menyerah! Aku
menyerah! Hentikan!" teriaknya dengan histeris.
Wajahnya yang berdarah penuh
ketakutan, nyaris tidak berbentuk. "Aku nggak mau warisan Tabib Agung
lagi! Aku mundur! Tapi hati-hati, Enam Jalur Puncak Kematian memiliki kekuatan
besar di Dunia Roh! Kamu telah menghancurkan rencana kami, mereka nggak akan
membiarkanmu lolos!"
Dunia Roh?
Kata-kata itu membuat semua orang
terdiam.
"Nggak mungkin... Jembatan
Langit belum terbuka. Bagaimana dia bisa..." gumam Liana. Bahkan dia
tampak bingung dan mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Sementara itu, Pembantai Darah sudah
dalam kondisi menyedihkan. Tubuhnya perlahan terbakar oleh cahaya merah-emas, memperlihatkan
tulang belulang putih di bawahnya.
Dengan sisa tenaganya, dia melolong
seperti orang gila. "Kalau kau nggak memberi aku jalan keluar, maka aku
akan menyeret kalian semua bersamaku ke neraka!"
Tubuhnya mulai membengkak,
memancarkan energi yang kuat.
Apa... Dia berniat meledakkan
dirinya?
Namun, bahkan rencana itu tampak
tidak berguna. Seberapa besar pun ledakan itu, bagaimana mungkin bisa menyentuh
sosok yang berdiri di angkasa itu?
No comments: