Bab 1770
Keheningan menyelimuti medan perang.
Adriel perlahan membuka matanya,
menatap wajah- wajah yang mengelilinginya, ada Wennie, Leony, Dahlia, Daniel,
Legan ...
Wajah-wajah itu penuh keputusasaan,
seakan jiwa mereka telah terhempas.
Dia bisa merasakan nyawanya perlahan
menghilang, hidupnya mulai meredup. Dalam kekosongan itu, pikirannya masih
terjebak oleh beban yang belum terselesaikan. Dia belum melenyapkan Enam Jalur
Puncak Kematian, mengungkap rahasia kematian gurunya, dan ...
Tatapannya bergeser, melihat Wennie
dan yang lainnya. Senyuman kecil muncul di sudut bibirnya, mengingatkan dirinya
akan hari-hari yang telah berlalu. Namun, dia tetap diam.
"Nggak! Aku nggak izinkan kamu
mati! Kamu belum menikah denganku secara resmi!" jerit Wennie, tangisnya
mengguncang langit.
"Kamu pewaris Tabib Agung!
Pikirkanlah, pasti ada cara lain! Kamu belum mencapai puncakmu, kamu nggak
boleh pergi begitu saja!" teriak Leony, matanya memerah karena air mata.
Suara-suara penuh rasa putus asa
menggema di sekitarnya. Semua orang melakukan segala upaya yang mereka bisa.
Mereka mengalirkan energi sejati ke tubuh Adriel, meski tahu itu sia-sia.
Bahkan Liana, sambil menangis, masih mencoba menusukkan jarum demi jarum ke
tubuh Adriel dengan tangannya yang gemetar.
Daniel dan Legan ikut mendekat, wajah
mereka penuh air mata.
"Kak Dahlia, lindungi mereka...
" bisik Adriel lemah.
"Kamu sendiri yang harus
melindungi mereka!" teriak Dahlia, matanya berkaca-kaca.
Adriel tersenyum kecil, meski
wajahnya sudah penuh luka. Dia menatap Wennie dengan lembut." Percayalah
pada kakak seniormu dan dua ibu guru. Mereka akan menjagamu."
Dengan sisa kekuatannya, dia
menyerahkan Ruang Penyimpanan Surgawi berisi sebagian warisan Tabib Agung
kepada Wennie. Dia berpesan agar warisan itu dijaga dengan baik dan tidak
diserahkan kepada siapa pun, kecuali Dahlia, Leony, dan Nyonya Freya.
"Ilmu Tabib Agung harus tetap
hidup, meski aku harus mati," gumamnya lemah.
Wennie menangis tersedu-sedu,
mengangguk dengan sepenuh hati.
Matahari senja perlahan tenggelam di
ufuk barat, cahayanya merah seperti darah, membasahi medan perang yang penuh
mayat dan bau amis kematian.
Enam Jalur Puncak Kematian sudah lama
mempersiapkan ini, mereka tidak akan mudah dihentikan. Dirinya telah salah
langkah.
Namun, ada sesuatu yang benar-benar
aneh. Menurut apa yang diajarkan oleh Tabib Agung, Teknik Penerobos Surgawi dan
Teknik Transformasi Jiwa setidaknya hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah
mencapai tingkat ilahi agung.
Selain itu, dalam warisan Tabib
Agung, tertulis dengan jelas bahwa kedua teknik ini dapat digunakan dengan
bebas di wilayah Negeri Naga.
Ini sama absurdnya seperti menemukan
seorang pengusaha kecil dari kota kecil yang mengetahui sandi kartu bank
miliaran milik orang terkaya di negeri ini.
"Dalam tiga tahun terakhir,
Negara Elang pasti mengalami sesuatu... Perhatikan baik-baik," katanya pelan
pada Dahlia.
Dahlia menggenggam tangan Adriel erat
-erat, air mata jatuh tanpa henti. Dia mengangguk dengan penuh kesedihan.
"Bu Leony ... maafkan aku, aku
nggak bisa membalas dendam untukmu... " bisik Adriel sambil menatap Leony
dengan senyum lemah.
Leony hanya bisa menangis. Kehilangan
keluarga dan murid-muridnya dalam sehari adalah pukulan berat yang tak
tertahankan.
Cahaya merah matahari senja
membanjiri medan perang. Adriel ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi tubuhnya
sudah terlalu lemah. Pandangannya mulai kabur, hanya menyisakan sedikit
bayangan cahaya merah yang memudar di langit.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, cia
mencoba mengangkat tangannya, berusaha meraih cahaya itu. Bibirnya bergerak
pelan, hampir tak terdengar, " Biar dia... bawa aku... pulang."
"Adriel!"
Semua orang berteriak, mencoba meraih
tangannya, tetapi tangan Adriel perlahan jatuh ke tanah.
Napasnya berhenti, matanya perlahan
tertutup, dan detak jantungnya lenyap sepenuhnya.
Di bawah sinar matahari senja, tubuh
Adriel terbaring diam di tanah yang kasar, darahnya mengering di sekujur tubuh.
Tangis pecah dari semua orang. Isak
tangis dan jeritan kesedihan bercampur, menciptakan suasana yang begitu berat,
penuh rasa duka.
Namun, di langit, sosok yang
sebelumnya hadir perlahan menjadi makin samar. Dengan gerakan ringan, dia
mengangkat tangannya. Cahaya merah- emas menyelimuti tubuh Adriel seperti
selimut lembut, mengangkatnya ke udara.
Dalam cahaya merah yang memenuhi
langit, tubuh Adriel perlahan dibawa pergi, melesat menuju langit yang tak
berujung.
No comments: