Bab 13
“Simpan uangnya!”
Wira sama sekali tidak melirik uang
di dalam kotak itu. Dia langsung bangkit dan melambaikan tangannya. “Transaksi
kita sudah selesai. Aku pamit dulu!”
Danu menerima kotak itu, sedangkan
Lestari dan Sony berjalan di belakangnya.
“Wira, tunggu dulu!” Hendra langsung
mengejarnya dan bertanya, “Kapan kamu bisa sediakan gula kristal ini lagi?”
“Itu tergantung keberuntunganku!”
Wira berkata sambil mengangkat alisnya, “Gula kristal pada dasarnya memang
langka. Pedagang dari Wilayah Barat harus melalui wilayah bangsa Agrel sebelum
sampai di Kerajaan Nuala, sedangkan wilayah bangsa Agrel sangat berbahaya.
Entah kapan mereka bakal datang lagi. Mungkin tiga bulan, mungkin juga setahun.
Jadi, aku juga nggak bisa pastikan waktunya.”
“Oh!” Hendra berkata dengan hormat, “Kulihat
kamu sangat berwibawa, kamu pasti berasal dari keluarga besar, ‘kan? Apa kamu
itu anak keluarga Darmadi dari Kota Nagari?”
Kota Nagari juga merupakan kota pusat
pemerintahan. Jaraknya sekitar 150 kilometer dari tempat ini. Namun, tidak ada
keluarga besar yang bermarga Darmadi di sana.
“Aku berasal dari Kota Pusat
Pemerintahan Jagabu!” Wira melambaikan tangannya dengan kesal, “Kalau Pak
Hendra nyesal, batalkan saja transaksinya. Aku bisa bertransaksi dengan orang
lain dan menjualnya seharga satu juta gabak ke orang lain!”
Kota Pusat Pemerintahan Jagabu adalah
kota perbatasan Kerajaan Nuala dengan wilayah bangsa Agrel. Kabupaten Uswal
termasuk yurisdiksi Kota Pemerintahan Jagabu. Jika ada orang dari Wilayah Barat
yang mau masuk ke wilayah Kerajaan Nuala, pemberhentian pertama mereka adalah
Kota Pusat Pemerintahan Jagabu.
Hendra menanyakan semua pertanyaan
itu untuk menguji Wira.
“Ini!” Danu langsung mendorong
kotaknya kepada Hendra.
Wira sudah berpesan pada yang lainnya
untuk langsung menuruti semua perintah Wira. Jadi, Danu pun langsung bertindak
sesuai perintah.
Namun, Hendra malah buru-buru
mengadang di depan gula putih dan berkata, “Wira, transaksi kita sudah selesai.
Uang 600 ribu gabak itu sudah jadi milikmu, sedangkan 10 kilo gula ini milik
keluarga Sutedja. Pelayan, antar Tuan Wira keluar.”
Pegawai toko langsung mempersilakan
mereka keluar.
Wira masuk ke kereta kuda dengan
ekspresi dingin. Kemudian, keempat orang itu pun meninggalkan Toko Gula
Keluarga Sutedja.
Setelah melihat kereta kuda menjauh,
ekspresi Hendra yang tadinya terlihat ramah pun berubah menjadi tajam dan
tegas.
Meskipun sikap Wira terlihat seperti
putra keluarga kaya, Hendra tetap merasa ada yang aneh.
Selain pakaian pelayan wanita itu,
pakaian orang lainnya adalah pakaian baru. Di sisi lain, meskipun Wira
mengenakan jubah sutra, kualitas giok dan tas wewangiannya sangat buruk. Kereta
kuda yang mereka pakai juga seperti kereta kuda biasa.
Jadi, Hendra tidak begitu percaya
bahwa Wira berasal dari keluarga besar.
Selain itu, gula tidak mudah
diawetkan. Jika dibawa masuk dari Wilayah Barat yang jauh, gulanya pasti bisa
sedikit meleleh. Namun, 10 kilogram gula kristal ini sama sekali belum meleleh.
Hal yang terpenting adalah Kota Pusat
Pemerintahan Jagabu lebih makmur daripada Kabupaten Uswal. Kenapa Wira tidak
menjual gula kristal ini di sana dan malah datang ke daerah kecil seperti ini?
Keraguan-keraguan ini sudah melekat
di benak Hendra. Dia memberi perintah kepada pegawainya, lalu pegawainya itu
pun langsung keluar.
“Wah, emasnya banyak banget!”
Di dalam kereta, Lestari mengambil
sebatang emas, lalu menggigitnya. Kemudian, dia pun berseru kegirangan, “Kalau
bisa menghasilkan 600 ribu gabak sehari, sepuluh hari sudah 6 juta gabak,
sebulan 18 juta gabak, setahun sudah 216 juta gabak. Dalam sepuluh tahun, kita
sudah bisa mengumpulkan miliaran gabak! Kak Wira, kamu sudah mau kaya raya!”
Wira menggeleng, “Dasar mata duitan!
Untuk sementara, gula putih sudah nggak bisa dijual di Kabupaten Uswal!”
Lestari pun bertanya dengan terkejut,
“Kenapa?”
Wira menjawab, “Tadi, Hendra nggak
berhenti mengujiku. Aku rasa dia punya maksud lain.”
Lestari langsung tercengang. “Kenapa
aku nggak merasa begitu?”
Wira menatap ke arah Danu yang duduk
di depan, lalu berkata, “Danu, coba lihat ada yang ikutin kita nggak?”
Lestari langsung cemberut. “Kak Wira,
transaksi kita sudah selesai, untuk apa Pak Hendra suruh orang ikuti kita?”
Begitu Lestari selesai bicara, Danu
pun menjawab, “Kak Wira, benar katamu! Pegawai toko Pak Hendra memang lagi
ikuti kita!”
“Mana mungkin!” Lestari pun melihat
ke luar jendela. Setelah melihat memang ada pegawai toko gula yang mengikuti
mereka dari jauh, dia pun tercengang.
Wira berkata dengan suara yang berat,
“Ini karena aku berlagak jadi putra keluarga besar.”
Lestari bertanya dengan bingung,
“Gimana kalau kamu jual gula putih dengan status penduduk desa?”
Wira mendengus. “Mungkin mereka bakal
langsung menangkapku, lalu menginterogasiku soal cara memurnikan gula putih!”
Semua orang mengira bahwa orang yang
melewati dimensi ke zaman kuno bisa menguasai dunia karena mempunyai
keterampilan. Nyatanya, orang berkemampuan tinggi yang tidak mengerti kondisi
pada zaman itu hanya akan dikendalikan orang. Mereka akan dianggap sebagai
pencetak uang yang bisa dimanfaatkan dengan mudah.
“Nggak mungkin deh?” Lestari berkata
dengan ragu, “Keluarga Sutedja terkenal baik dan dermawan di ibu kota
provinsi!”
Wira menggeleng dan berkata dengan
serius, “Lestari, orang yang benar-benar baik hati nggak bakal sukses. Kamu
nggak ngerti seberapa besar keuntungan yang bisa didapatkan dari pemurnian gula
mentah menjadi gula putih. Kalau keluarga Sutedja mengetahui teknik ini, mereka
pasti bisa menjadi salah satu keluarga terkaya di dunia. Mana mungkin Hendra
melewatkan kesempatan untuk dapat keuntungan sebesar ini!”
Ini adalah pertama kalinya Lestari
bertemu dengan masalah seperti ini. Dia pun menjadi takut dan bertanya, “Ja ...
jadi, gimana ini?”
Danu dan Sony juga ketakutan. Ini
pertama kalinya mereka merasa dunia ini jauh lebih rumit daripada yang mereka
bayangkan.
Wira berpesan, “Kalau sudah pulang
nanti, cepat habiskan semua gula putih itu. Jangan biarkan orang lain
melihatnya. Akhir-akhir ini, kamu juga jangan keluar rumah dulu. Kalau mau beli
sayur, suruh Paman Suryadi saja. Nanti aku pergi ke Kota Pusat Pemerintahan
Jagabu saja untuk jual gula putihnya.”
Lestari langsung terkejut. “Ini sudah
cukup bahaya, tapi kamu masih mau pergi ke kota pusat pemerintahan?”
Wira terkekeh, lalu berkata, “Di
tempat yang makin besar, uang makin mudah didapatkan. Di kota pusat
pemerintahan, 10 kilo gula putih ini paling nggak bisa dijual sejuta gabak.”
Lestari langsung tergagap, “Se ...
sejuta gabak?”
“Danu, hentikan mobilnya. Beri
pelajaran pada pegawai toko itu!” Wira lanjut berkata, “Suruh dia sampaikan
pada Pak Hendra. Kalau mau berbisnis dengan jujur, kelak kita pasti bisa kerja
sama lagi. Tapi kalau dia punya niat buruk, jangan harap aku bekerja sama
dengannya lagi.”
Tidak lama kemudian, pegawai itu
kembali ke Toko Gula Keluarga Sutedja. Dia menunjukkan pergelangan tangannya
yang bengkak dan menyampaikan pesan Wira.
Setelah mendengar hal itu, ekspresi
Hendra langsung menjadi sangat suram.
...
Satu jam kemudian, setelah berbelanja
dan mengembalikan kereta kuda, ketujuh orang itu berkumpul di depan gerbang
kota.
Melihat barang bawaan Wira yang
begitu banyak, Suryadi pun panik. “Lestari, kenapa kamu nggak nasihatin Kak
Wira untuk jangan belanja begitu banyak? Utangnya masih belum lunas, lho!”
Lestari langsung menunduk dengan
malu. Dia sudah berusaha menasihati Wira, tetapi Wira malah langsung
membelikannya gelang, anting dan jepit rambut tanpa melakukan tawar-menawar.
Wira juga membelikannya dua set baju, sepatu dan bedak pipi merah yang sudah
dia inginkan sejak lama.
Bukan hanya begitu, Wira tentu saja
juga berbelanja untuk orang lainnya.
Wira memberikan sebuah tas kain
kepada Suryadi. “Paman, jangan salahkan Lestari. Sebagai kakak sepupunya, sudah
seharusnya aku membelikannya sedikit hadiah. Ini pakaian dan sepatu untuk
Paman. Nanti coba pakai cocok atau nggak!”
“Hah? Ada hadiahku juga? Ngapain kamu
habisin uang beli semua ini untukku? Aku nggak kekurangan apa-apa kok.”
Suryadi menerima tas kain itu sambil
tersenyum senang. “Berapa banyak yang kamu habiskan? Apa masih cukup bayar
utang? Kalau nggak cukup, Paman pinjamin uangnya!”
“Sudah cukup kok, Paman. Waktunya
sudah larut, kami pulang dulu ya!”
Wira melambaikan tangannya, lalu
mengingati Lestari lagi, “Jangan lupa soal pesanku!”
“Iya!” jawab Lestari dengan kesal.
Sepanjang perjalanan mereka tadi,
Wira sudah mengingatkannya berkali-kali untuk tidak membocorkan cara pembuatan
gula putih. Wira juga menyuruhnya untuk menyimpan gula itu dengan baik dan
menghabiskannya secepat mungkin.
Setelah berpamitan, Wira dan yang lainnya
pun pulang.
Suryadi menatap kepergian mereka,
lalu bertanya pada Lestari setelah mereka sudah jauh, “Berapa hasil penjualan
gula putih Wira? Kenapa dia bisa membeli begitu banyak barang?”
Lestari menjawab, “Enam ....”
“Enam puluh ribu gabak?” Sebelum
Lestari sempat menyelesaikan kata-katanya, Suryadi sudah memotong, “Kalau gitu,
yang tersisa setelah bayar utang juga cuman 20 ribu gabak. Kenapa kamu nggak
nasihati dia supaya nggak sembarangan belanja?”
Lestari melihat ke sekeliling, lalu
berbisik, “Ayah, bukan 60 ribu gabak, tapi 600 ribu gabak!”
“A ... apa? E ... enam ratus ribu?
Astaga! Mana mungkin!” ujar Suryadi dengan terbata-bata.
Lestari lanjut berkata, “Ayah,
kukasih tahu deh. Kak Wira jago sandiwara, lho ....”
Setelah mendengar cerita Lestari,
Suryadi pun mengerutkan keningnya. “Kenapa pakaian dan kain ini berat banget?”
Begitu melihat ke dalam, ternyata ada
sebatang emas dan dua batang perak yang terselip di dalam pakaiannya.
Lestari pun terkejut. Tadi, mereka
semua belanja bersama. Namun, Lestari tidak tahu kapan Wira memasukkan uang itu
ke dalam tas kain ini.
Suryadi juga terkejut, lalu berkata
dengan berlinang air mata, “Kak, Wira sudah besar. Dia sudah bisa menyayangi
orang lain. Sayang sekali kamu sudah meninggal. Kalau nggak, kamu pasti bisa
hidup bahagia.”
No comments: