Bab 6
Namun, Wira tidak memedulikan
peringatan Hasan. Dia malah berkata sambil tersenyum, “Pak Agus, bisa saja aku
bagi ikannya untukmu, tapi kamu juga harus tanggung sedikit utangku! Kalau
nggak mau bantu aku tanggung utangnya, kamu boleh bagi sedikit tanahmu padaku.
Soalnya, tanahku juga sudah dijadikan jaminan."
"Dasar anak tak tahu diri!”
Selesai berbicara, Agus pun pergi
dengan marah.
Dia hanya menginginkan seekor ikan
Wira, tetapi Wira malah menyuruhnya untuk bantu menanggung utang dan juga
meminta tanahnya. Kenapa si Pemboros itu begitu tidak tahu malu!
“Pak Agus, jangan pergi! Aku cuman
bercanda. Jangan marah, dong!” teriak Wira.
Ikan yang didapatkan Wira hari ini
sangat banyak. Dia tidak akan menolak siapa pun yang meminta ikan padanya.
Namun, dia tidak akan menerima orang yang menuntut sesuatu dengan alasan yang
tidak masuk akal.
Agus sudah marah. Setelah mendengar
ucapan Wira, dia juga tidak menoleh.
Warga yang mengerti maksud Wira pun
tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu, Wira pun berkata, “Para
warga sekalian, kalian juga tahu soal masalahku. Aku harus menjual ikan-ikan
ini untuk bayar utang. Jadi, aku nggak bisa bagi ikannya hari ini. Tapi habis
aku lewati rintangan ini, aku pasti bakal bagi-bagi ikan buat kalian semua!”
Setelah mendengar ucapan Wira, semua
warga pun bubar dengan perasaan gembira.
Meskipun mereka juga hidup susah,
setidaknya mereka tidak mempunyai utang sebanyak 40 ribu gabak.
Selain orang yang berhati jahat, mana
ada orang yang tega mengambil keuntungan dari Wira pada saat-saat seperti ini.
Setelah melihat tindakan Wira, Hasan
juga mengangguk pelan.
Hubungan sesama warga sangat penting.
Cara Wira menyelesaikan masalah ini sangat bagus. Meskipun tidak membagi ikan
kepada para warga, dia juga tidak menyinggung mereka.
Setelah semua orang bubar, mereka
berlima pun melanjutkan perjalanan ke rumah Wira.
“Ikannya banyak banget!”
Saat melihat sepuluh ember ikan yang
dibawa pulang Wira, Wulan sangat terkejut. Dia menatap Wira dengan berlinang
air mata.
Ternyata suaminya memang punya teknik
rahasia menangkap ikan. Dia benar-benar punya cara untuk bayar utang.
“Gadis bodoh, untuk apa kamu nangis!”
Wira menyeka air mata di wajah Wulan,
lalu berkata dengan lembut, “Cepat buat serabi lagi. Malam ini, kita masih bisa
makan ikan.”
“Emm!”
Setelah menerima perlakuan lembut
Wira, Wulan pun tersipu. Dia menjawab dengan suara kecil, lalu buru-buru
berlari ke dapur.
Danu, Doddy dan Sony sangat iri. Di
seluruh Kabupaten Uswal, tidak ada wanita yang bisa menandingi kecantikan istri
Wira.
“Wira, kami sudah sarapan di rumahmu
tadi pagi. Malam ini, kita makan di rumah saja.”
Selesai berbicara, Hasan menuangkan
semua ikannya ke gentong air, lalu melambaikan tangan kepada kedua putranya.
Danu dan Doddy sebenarnya masih ingin
makan ikan, tetapi mereka juga langsung pergi tanpa ragu. Mereka sudah puas
bisa dapat makan ikan pagi tadi.
“Benar, ayo pulang!”
Sony juga malu untuk tinggal setelah
melihat ketiga orang itu pergi.
Namun, Wira malah menghentikan
mereka. “Jangan pergi dulu! Selain makan, masih ada kerjaan lain!”
Hasan pun menghentikan langkah
kakinya. “Kerjaan apa?”
Wira berjalan ke depan gentong yang
berisi ikan yang dia tangkap kemarin, lalu berkata, “Bantu aku ikat ikannya
jadi begini!”
Begitu melihat ke dalam gentong air,
keempat orang itu pun terkejut.
Kepala dan ekor ikan yang ada di
dalam gentong air diikat membentuk busur dengan tali rami, sedangkan insang
mereka mengapung di atas air. Namun, semua ikannya masih hidup!
Biasanya, ikan yang ditangkap dari
sungai akan mati setelah dibiarkan selama beberapa jam. Akan tetapi, ikan yang
ditangkap Wira kemarin malah masih hidup sampai sekarang.
Wulan yang berada di dapur juga
penasaran.
Wira pun menjelaskan, “Ini namanya
‘Teknik Busur Ikan’. Kalau kepala dan ekornya diikat begini, oksigen yang
dihirup insang bisa lebih banyak. Jadi, biarpun cuman ada sedikit air, ikannya
juga nggak bakal mati karena kekurangan oksigen!”
‘Kekurangan oksigen?’
Keempat orang itu terlihat bingung,
tetapi juga sangat gembira.
Mereka tidak mengerti arti oksigen,
tetapi mereka mengetahui dengan jelas perbedaan harga ikan yang masih hidup dan
yang sudah mati.
Hasan langsung menjawab sambil
melambaikan tangannya, “Kalau gitu, kita langsung ikat saja sekarang. Nggak
bakal lama kok, buat apa makan lagi!”
Wira berkata sambil tersenyum,
“Teknik Busur Ikan harus dilakukan dua kali. Pertama-tama, kita ikat dulu
ekornya. Setelah lewat dua jam, kotoran di dalam tubuh ikan bakal keluar. Habis
itu, kita baru buka ikatan ekornya untuk ikat lubang pengeluarannya. Dengan
begitu, daging ikannya bisa jadi lebih segar dan empuk.”
Keempat orang itu memperhatikan ekor
ikan dengan saksama, ternyata memang ada bekas dua ikatan.
Doddy langsung berkata dengan kagum,
“Kak Wira, kenapa kamu bisa mengerti begitu banyak teknik yang luar biasa?”
“Memangnya masih perlu tanya?” Sony
langsung berkata dengan penuh percaya diri, “Wira itu seorang pelajar. Dia
pasti belajar soal teknik rahasia menangkap ikan dan Teknik Busur Ikan dari
buku. Wira, betul, ‘kan?”
Wira tersenyum sambil mengacungkan
jempolnya. “Kamu memang pintar!”
“Hehe!” Sony langsung merasa bangga
karena dipuji seorang sarjana.
Saat mereka selesai mengikat ikan,
makan malam mereka juga sudah siap.
Serabi yang hangat dan ikan goreng
sudah disajikan di ruang utama.
Wulan tetap makan di dalam dapur.
Pada zaman ini, wanita biasanya tidak makan dengan duduk di meja.
Setelah bekerja seharian, kelima pria
itu pun menyantap makanan mereka dengan lahap.
Meskipun ini sudah ketiga kalinya
Hasan, Danu dan Doddy menyantap ikan dalam dua hari ini, mereka masih terlihat
sangat bersemangat.
Sony yang sudah ingin makan ikan
selama dua hari juga makan dengan lahap. Namun, dia tiba-tiba menangis.
Wira pun buru-buru bertanya, “Sony,
kamu kenapa?”
“Nggak apa-apa, Kak Wira!”
Doddy berkata dengan terus terang,
“Semalam, kami sekeluarga juga makan sambil nangis. Soalnya sudah lama banget
kami nggak makan daging.”
Begitu mendengar ucapan Doddy, Hasan
langsung memelototinya.
Doddy pun buru-buru menunduk dan
lanjut memakan ikannya dalam diam.
“Aku teringat orang tuaku!” Sony
menyeka air matanya, lalu lanjut berkata, “Sebelum mereka meninggal, aku tanya
mereka pengin makan apa. Mereka bilang pengin makan daging. Soalnya mereka
belum pernah benar-benar menikmati daging. Mereka pengin tahu gimana rasanya
makan daging sampai kenyang! Awalnya, aku kira aku bakal seperti orang tuaku.
Aku nggak nyangka hari ini aku bisa makan daging sampai puas .... Huhuhu!”
Sony menggigit serabi dan memasukkan
sepotong besar ikan ke dalam mulutnya. Dia makan sambil menangis, seolah-olah
sudah gila.
Hasan, Danu dan Doddy tidak
menertawakannya. Ekspresi mereka juga terlihat sedih.
Warga desa tidak mempunyai banyak
penghasilan, tetapi harus membayar pajak dan kerja rodi. Jangankan makan daging
sampai kenyang, bahkan ada banyak warga desa yang tidak pernah makan kenyang
seumur hidupnya.
Namun, hidup mereka akan berubah
setelah mengetahui teknik rahasia menangkap ikan.
“Sudah dua jam, aku pergi ikat ikan
dulu!”
Selesai berbicara, Hasan pun pergi
mengikat ikan. Danu juga diam-diam mengikutinya.
“Malu-maluin saja!”
Sony menyeka air matanya sambil
membereskan peralatan makan mereka. Doddy juga membantunya.
Saat melihat keempat orang yang
sedang sibuk itu, Wira merasa sangat sedih.
Mereka adalah orang yang paling rajin
di era ini, tetapi juga merupakan orang yang paling miskin dan menderita di era
ini. Mereka sudah melakukan upaya yang sangat besar dan melakukan pekerjaan
terberat di dunia ini, tetapi mereka tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup
yang paling mendasar.
Setelah selesai mengikat ikan, mereka
berempat pun pulang ke rumah masing-masing.
Sony pulang ke rumah Kak Surya dan
mengetuk pintu.
Begitu membuka pintu, istri Kak Surya
yang bernama Sinta itu berteriak sambil memegang sapu, “Dasar pecundang! Sudah
curi telurku masih berani pu .... Ah!”
“Nih!”
Selama ini, Sony hanya bisa diam saat
dimaki kakak iparnya. Sekarang, dia bisa dengan bangga melemparkan kedua ekor
ikan kecil itu ke dalam rumah mereka.
Dua ekor ikan hidup yang beratnya
masing-masing sekilo itu menggelepar di atas lantai.
Sinta buru-buru menangkap kedua ekor
ikan itu, lalu sikapnya terhadap Sony juga langsung berubah. “Sony, kenapa
malam banget pulangnya? Sudah makan belum? Sini kubuatin serabi.”
“Nggak usah, aku sudah kenyang makan
daging!”
Setelah itu, Sony berjalan dengan
lambat ke kandang sapi sambil berkata, “Keluarkan baju dan sepatu baru Kakak,
besok aku mau ke kota. Kelak, selama ada aku di rumah, keluarga kita bisa makan
daging tiap hari!”
“Apa?” Sinta langsung tercengang.
Omong kosong apa yang sedang dibicarakan Sony? Bahkan pemimpin kabupaten juga
belum tentu bisa makan daging setiap hari.
Sony berbaring di dalam kandang sapi
dan menyelimuti dirinya denagn sebuah selimut yang sudah robek. Di sampingnya,
ada seekor sapi tua yang sedang mengunyah rumput. Dia menatap bintang di langit
sambil bergumam, “Ayah, Ibu, putra kalian sudah bangkit. Aku bakal jadi orang
sukses! Kalian pantau saja aku dari langit! Tahun Baru nanti, aku bakal
persembahkan daging untuk kalian!”
Di sisi lain, Wira dan Wulan sudah
selesai mandi. Mereka sama-sama tidur di ranjang, tetapi tetap menggunakan
selimut masing-masing.
Wira belum tidur, tetapi juga tidak
memikirkan hal mesum. Dia hanya termenung sambil menatap langit-langit yang
gelap.
Wulan bertanya dengan hati-hati,
“Suamiku, kamu lagi sedih?”
“Sedikit!”
Wira bertanya, “Wulan, menurutmu
dunia ini bisa berubah nggak? Berubah jadi dunia di mana semua orang bisa makan
kenyang, punya baju, nggak ngidam daging lagi. Anak-anak juga bisa belajar,
sedangkan orang yang sakit bisa berobat. Semua orang nggak perlu khawatir soal
kekacauan lagi!”
“Nggak bisa!” Setelah terdiam sesaat,
Wulan mengatakan alasannya, “Suamiku, yang kamu bilang itu persatuan dunia yang
belum bisa tercapai sampai sekarang!”
Wira tersenyum masam dan menjawab,
“Benar juga. Dengan teknologi dan produktivitas zaman ini, mana mungkin
persatuan dunia bisa tercapai!”
‘Teknologi?’ Wulan sangat
kebingungan. Dia tertegun sejenak, lalu berbisik, “Suamiku, kamu sudah berubah
jadi kayak orang lain!”
Wira langsung terkejut, “Apanya yang
berubah?”
Wulan menjawab dengan suara kecil,
“Dulu, kamu sama sekali nggak peduli sama kerabat jauh seperti Paman Hasan,
Danu, Doddy dan Sony. Sekarang, kamu malah begitu baik terhadap mereka dan
sudah nggak merendahkan mereka lagi. Dulu, kamu juga memandang rendah kepala
desa seperti Pak Budi, tapi malah takut banget sama mereka. Sekarang, kamu
nggak peduli lagi sama mereka. Kamu sudah berubah. Sekarang, kamu memperlakukan
orang sebagaimana mereka memperlakukanmu.”
Wira sangat terkejut akan pengamatan
Wulan yang begitu cermat. Dia pun bertanya, “Apa kamu suka sama aku yang
sekarang?”
“Emm!”
“Ayo masuk ke dalam selimutku!”
No comments: