Bab 2
Wira bertanya balik, “Gimana kalau
bisa?”
Budi langsung menunjukkan ekspresi
licik. “Kalau kamu bisa, aku nggak bakal terima bunganya! Tapi kalau nggak
bisa, kamu harus jual diri untuk jadi budakku. Gimana?”
Wulan langsung terkejut dan
mencegahnya. “Suamiku, kamu nggak boleh setuju!”
Budi sangat licik. Dia ingin Wira
menjual diri menjadi budaknya. Namun, William sudah murka. Dia pun menuliskan
dua surat perjanjian dan mengeluarkan tinta merah. “Cepat tanda tangan!”
“Oke!”
Setelah tanda tangan dan menempelkan
cap jari, Budi pun pergi dengan puas.
Budi yakin dengan koneksi dan
karakter Wira selama ini, dia tidak mungkin bisa menghasilkan 40 ribu gabak
dalam tiga hari.
Meskipun keluarga Wulan kaya, mereka
tidak mungkin meminjamkan uang kepada Wira. Sebab, mereka ingin Wulan meninggalkan
Wira.
Dengan taruhan ini, Budi bukan hanya
bisa mendapatkan budak muda, tetapi juga bisa menjualnya dan mendapatkan
puluhan ribu gabak lagi.
Selain itu, dia juga sudah selangkah
lebih dekat untuk mengumpulkan 70 hektar tanah.
Di dalam rumah, sepasang suami istri
itu saling memandang.
“Wulan!”
Wira ingin menghibur Wulan, tetapi
Wulan malah langsung menyeka air matanya dan masuk ke dalam kamar.
Wira tahu Wulan sudah terluka.
“Suamiku!”
Tidak lama kemudian, Wulan berlari
keluar dari kamarnya. Dia membuka sebuah tas kecil dengan ekspresi tidak rela
dan berkata, “Ayo kita pergi ke ibu kota provinsi untuk gadai gelang ini. Habis
itu, aku bakal mohon ke Kakak untuk pinjamkan kita uang. Kita pasti bisa
kumpulkan 40 ribu gabak!”
Wira menggeleng. “Aku saja yang cari
cara untuk dapatkan 40 ribu gabak ini!”
Gelang giok putih ini adalah warisan
dari ibu Wulan.
Pemilik tubuh sebelumnya sudah pernah
memukul Wulan hingga batuk darah demi gelang ini, tetapi Wulan tetap tidak
mengeluarkannya.
Hari ini, Wulan malah mengeluarkannya
untuk membayar utang pemilik tubuh sebelumnya.
Wulan langsung terisak. “Kamu punya
cara apa? Jumlahnya 40 ribu gabak, bukan 400 gabak!”
Wira pun langsung mencari ingatan
pemilik tubuh sebelumnya. “Aku pikir dulu!”
Bagi para petani, 40 ribu gabak
adalah utang yang tidak mungkin bisa dibayar seumur hidup mereka.
Namun, Wira mempunyai gelar doktor di
bidang teknik mesin dan teknik material. Selain itu, dia juga memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang melampaui orang-orang di era ini.
“Dulu, aku nggak kasih gelang ini ke
kamu karena gelang ini adalah peninggalan Ibu!”
Wulan lanjut terisak. “Tapi kamu
sudah nggak punya jalan keluar. Aku nggak bisa biarkan kamu menjual diri
menjadi budak. Hidup seorang budak sangat sulit dan bahkan nggak sebagus
gelandangan!”
Di Kerajaan Nuala, masyarakat dibagi
dalam beberapa golongan. Orang yang tidak mempunyai rumah maupun tanah akan
dianggap gelandangan oleh pemerintah. Statusnya lebih rendah dari rakyat
jelata. Sementara status budak bahkan lebih rendah dari gelandangan lagi.
Wira tidak memperhatikan apa yang
dikatakan Wulan. Dia sedang berusaha keras untuk mencari ingatan pemilik tubuh
sebelumnya.
Teknologi di Kerajaan Nuala mirip
dengan Dinasti Songada Negara Atrana.
Wira yang mempunyai gelar doktor di
bidang teknik mesin dan teknik material pasti bisa menciptakan sesuatu yang
baru.
Namun, desa kecil ini bahkan tidak
mempunyai toko besi. Oang yang sangat berbakat sekali pun tidak akan bisa maju
di desa ini.
“Tapi ini benar-benar yang terakhir
kali, ya. Kelak, Kakak pasti nggak bakal bantu kita lagi.”
Wulan menyeka air matanya, lalu
mendongak. “Kalau kamu pinjam uang dari luar lagi, aku benar-benar sudah nggak
bisa bantu! Kalau kamu jadi gelandangan, aku bakal temani kamu jadi gelandangan.”
“Eh, ketemu cara!”
Mata Wira langsung berbinar. Dia
mengambil sebungkus tepung kedelai, lesung batu dan cangkul, lalu keluar dari
rumah dengan menjinjing keranjang bambu.
“Suamiku?”
Wulan sangat heran.
Biasanya, Wulan yang selalu bercocok
tanam. Suaminya tidak pernah melakukan hal itu.
Lagi pula, musim panen sudah
berakhir. Untuk apa suaminya mengambil alat bertani?
...
Dusun Darmadi mempunyai tanah yang
datar. Di luar desa, ada Sungai Jinggu yang jauhnya 500 meter dan gunung yang
jauhnya 15 kilometer.
Di dusun ini, ada empat puluh
keluarga yang semuanya bermarga Darmadi. Mereka semua berasal dari leluhur yang
sama.
Setelah musim panen berakhir,
penduduk harus membayar pajak penghasilan dan pajak tanah. Para bandit juga
akan datang untuk meminta hasil panen mereka. Bahan pangan yang disimpan para
penduduk biasanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi
harus bertahan sampai musim panen berikutnya.
Jadi, tidak ada penduduk yang
menganggur. Jika tidak pergi bekerja, mereka akan menjahit di rumah atau
mengumpulkan sayuran liar.
Begitu sampai di tanah kosong di luar
dusun, Wira pun mulai mencangkul. Dia mengambil sehelai rumput, mencucinya di
air dalam ember, lalu mulai mengunyahnya.
“Bukannya itu Wira? Kenapa dia makan rumput?”
“Pasti rumahnya sudah kehabisan
makanan. Dengar-dengar, dia berutang 40 ribu gabak sama Pak Budi. Kalau dia
tidak bisa bayar tiga hari lagi, rumah, istri dan tanahnya bakal jadi milik Pak
Budi!”
“Dasar Pemboros! Padahal ayahnya
sudah tinggalkan begitu banyak harta buat dia, tapi semuanya sudah habis
difoya-foya. Sekarang dia sampai harus makan rumput lantaran kelaparan.
Mampus!”
Saat melihat Wira yang mengunyah
rumput, beberapa wanita yang keluar untuk memetik sayuran liar pun
menghujatnya. Wira pun memuntahkan rumput yang dia kunyah, lalu mulai
mencangkul.
Pemilik tubuh sebelumnya tidak
bekerja dan jarang berolahraga. Jadi, staminanya sangat buruk.
Setelah menggali sesaat, Wira pun
bersandar pada cangkulnya sambil terengah-engah.
“Wira, rumahmu sudah nggak ada
makanan, ya? Kok makan rumput? Rumput ini nggak bisa dimakan lho. Ngemis saja
sama warga dusun! Kamu toh seorang pelajar, orang-orang pasti bakal kasih kamu
makan kok.”
Seorang pemuda yang terlihat seperti
preman berjalan mendekati Wira.
Pakaiannya terlihat kotor, sepatu
kainnya juga sudah robek. Dia menatap Wira sambil melipat tangannya di depan
dada.
“Sony, bantu aku gali rumput ini
dulu. Nanti aku pasti bagi hasilnya ke kamu!”
Wira memohon dengan terengah-engah.
Sony Darmadi adalah gelandangan di
dusun mereka. Dia tidak bekerja dan hanya suka berkeliaran.
Dulu, asalkan bertemu dengan pemilik
tubuh sebelumnya, Sony selalu menyanjungnya. Bagaimanapun juga, pemilik tubuh
sebelumya adalah seorang pelajar yang mungkin menjadi pejabat.
Sejak pemilik tubuh sebelumnya jatuh
miskin, Sony bukan hanya tidak menyanjungnya lagi, tetapi malah mengejeknya.
Setelah mendengar permintaan Wira,
Sony langsung memelototinya. “Asal kamu tahu, aku nggak bakal kelaparan ke mana
pun aku pergi. Memangnya aku perlu dikasihanimu?”
“Yang mau kubagi kasih kamu itu bukan
rumputnya!”
Jika bukan karena badannya terlalu
lelah, Wira juga tidak ingin menghiraukan Sony.
Sony memang tidak akan kelaparan
karena dia sangat tidak tahu malu.
“Kamu nggak perlu jelasin lagi! Aku
tahu situasimu, kok. Jangan gali lagi, pergi saja ke rumah mertuamu dan minta
maaf. Sebenarnya, harga diri itu bukan apa-apa. Kalau sudah jadi gelandangan,
kamu bakal nyesal!”
Sony yang sudah berpengalaman memberi
nasihat kepada Wira.
Melihat Sony yang tidak mau
membantunya, Wira pun tidak menghiraukannya lagi dan terus menggali.
Berhubung Wira tidak mau mendengar
nasihatnya, Sony juga langsung pergi. Sebelum pergi, dia berkata, “Kalau nggak
mau dengar nasihat orang, yang rugi juga kamu sendiri!”
“Wira, rumput itu nggak bisa dimakan.
Ayo ikut aku! Aku kasih kamu sedikit makanan dulu!”
Saat menjelang siang, seorang pria
paruh baya menghampiri Wira.
Pria ini berperawakan tinggi dan
kurus. Dia mengenakan baju lengan pendek dan bertelanjang kaki. Matanya
memancarkan keramahan.
Wira menggeleng sambil tersenyum.
“Paman Hasan, aku gali rumput ini bukan untuk makan!”
Hasan Darmadi dulunya bernama Wasan
Darmadi. Dia mengubah namanya setelah masuk militer.
Lima tahun yang lalu, dia sudah
kembali dari militer. Hasan juga merupakan kerabat jauh Wira.
Sebelum masuk militer, Hasan sudah
mempunyai dua putra. Sepulang dari militer, mereka dikaruniai tiga putri lagi.
Berhubung tanah rumah mereka tidak
cukup besar, Hasan menyewa dua hektar tanah lagi untuk bertani. Keuangan mereka
juga tidak terlalu bagus.
Jika Wira menerima pemberian Hasan,
keluarga Hasan akan jadi kekurangan.
“Memangnya kenapa kalau makan rumput!
Semua senior di dusun juga pernah hidup susah!” ujar Hasan.
Hasan mengira Wira malu untuk
mengakui bahwa keluarga mereka sudah kehabisan makanan karena dia adalah
seorang pelajar.
Wira pun menjawab sambil tersenyum,
“Paman Hasan, tenagaku sudah habis. Boleh bantu aku gali bentar nggak?”
“Kamu lemah banget! Cuman gali rumput
ini saja sudah begitu capek. Kamu harus banyak olahraga!” ucap Hasan sambil
menggeleng.
Kemudian, dia meraih cangkul Wira dan
mulai menggali.
Satu jam kemudian, sebidang besar
tanah sudah kosong karena digali. Ember dan keranjang bambu Wira juga sudah
terisi penuh dengan rumput.
Wira langsung kegirangan.
‘Dulu, anak ini cuman tahu foya-foya.
Sekarang sudah miskin, rumput pun jadi kayak harta!’
Hasan menatap Wira dengan kasihan,
lalu meletakkan cangkulnya dan pergi.
No comments: