Bab 10
Wira tiba di Toko Besi Keluarga Salim
di Pasar Utara. Ini adalah toko besi paman pemilik tubuh sebelumnya.
Saat berumur sekitar 10 tahun,
pemilik tubuh sebelumnya tinggal di rumah pamannya ini untuk belajar.
Istri pamannya sudah meninggal saat
persalinan. Jadi, paman dan putrinya hanya bisa bergantung pada satu sama lain.
Mereka bersikap sangat baik terhadap pemilik tubuh sebelumnya.
Namun, pamannya menentang pernikahan
pemilik tubuh sebelumnya dengan Wulan tiga tahun yang lalu.
Bagaimanapun juga, ada rumor bahwa
keluarga Linardi akan dilenyapkan. Pamannya khawatir pemilik tubuh sebelumnya
akan terlibat masalah.
Akan tetapi, pemilik tubuh sebelumnya
malah tidak mendengar nasihat pamannya. Alhasil, hubungan mereka pun menjadi
dingin.
Saat menikah, pemilik tubuh
sebelumnya bahkan tidak mengundang pamannya. Selama tiga tahun terakhir, dia
juga tidak pernah mengunjungi pamannya.
Saat tiba di depan toko besi yang
tidak asing itu, Wira pun berjalan masuk.
“Siapa?”
Terdengar suara seseorang dari dalam
rumah. Kemudian, seorang gadis berjalan keluar. Saat melihat Wira, dia langsung
tercengang. Setelah beberapa saat, dia baru berkata dengan cemberut, “Sudah
punya istri langsung lupain pamannya. Dasar durhaka! Masih ingat datang
kemari?”
Gadis itu berumur sekitar 17-18
tahun. Wajahnya kecil, rambutnya diikat model kucir kuda. Dia tidak terlalu
tinggi, sedangkan wajahnya dihiasi beberapa bintik hitam. Matanya besar dan
jernih, giginya juga rapi. Dia terlihat cantik dan manis.
Setelah mendengar ucapannya, Wira
tidak marah. Dia malah berkata sambil tersenyum, “Lestari, Paman di mana?”
Gadis itu adalah adik sepupu Wira,
Lestari Salim. Dia sudah membantu ayahnya mengelola keuangan di rumah sejak
kecil. Jadi, dia sangat jago berhitung. Selain itu, dia juga bermulut tajam.
Sejak kecil, pemilik tubuh sebelumnya sudah sering adu mulut dengannya.
“Dia pergi memilih batu bara. Bentar
lagi juga balik!” Setelah mengamati Wira sejenak, Lestari berkata dengan muram,
“Dengar-dengar, habis nikah, kamu asyik foya-foya dan sudah habiskan semua
kekayaan yang diwariskan Paman dan Bibi. Rumor itu benar? Jangan bohong!”
Wira tersenyum ringan sambil
mengangguk.
“Dasar kamu ini! Semuanya bilang
kalau Kakak Ipar itu wanita tercantik sekabupaten, tapi kamu malah bertindak
sembarangan di luar. Apa sebenarnya yang kamu pikirin? Sudah dipelet orang?”
Setelah memarahi Wira, Lestari pun
mengganti topik pembicaraan. “Aku sudah malas mengatai orang nggak berperasaan
sepertimu. Sudah makan belum? Mau kumasakin sesuatu?”
“Nanti saja!” Setelah mendengar
ucapan Lestari, Wira langsung terkejut dan menggeleng dengan rasa bersalah.
Tiba-tiba, seorang pria kekar yang
menjinjing dua keranjang batu bara berjalan masuk. Saat melihat Wira, pria itu
langsung meletakkan keranjang berisi batu bara dan buru-buru menghampiri Wira
dengan gembira. “Wira, akhirnya kamu datang juga!”
Orang itu adalah paman pemilik tubuh
sebelumnya. Namanya Suryadi Salim. Dia sangat menyayangi pemilik tubuh
sebelumnya seperti putra kandungnya sendiri. Namun, pemilik tubuh sebelumnya
masih belum dewasa. Setelah melihat pamannya, Wira membungkuk sambil berkata,
“Paman, maafkan aku. Dulu, aku nggak ngerti soal kekhawatiranmu. Aku sudah
salah!”
“Cepat bangun!” Suryadi buru-buru
memapah Wira, lalu berkata dengan berlinang air mata, “Paman juga salah.
Sebagai orang dewasa, seharusnya aku tetap pergi mengunjungimu meski kamu nggak
datang jenguk aku. Tapi sekarang sudah nggak masalah. Lestari, cepat pergi beli
seperempat kilo daging sapi untuk Wira. Dengar-dengar, ada yang jual ikan yang
masih hidup juga di Pasar Timur, pergi beli seekor untuk kakakmu ini!”
“Harga daging sapi setengah kilo 100
gabak, seperempat kilo sudah mau 50 gabak. Harga seekor ikan segar setengah
kilo 80 gabak, yang sekilo seekor sudah mau 160 gabak. Ditambah dengan bahan
lainnya, cuman makanan untuk dia seorang sudah menghabiskan 300 gabak! Ayah,
dia sudah nggak datang jenguk kamu selama tiga tahun, tapi kamu malah begitu
senang begitu dia datang minta maaf!”
Begitu mendengar ucapan ayahnya,
Lestari langsung cemberut. Dia dengan cepat menghitungkan seluruh biaya yang
diperlukan untuk menjamu Wira, tetapi tetap bangkit sambil menjinjing keranjang
sayur.
Wira buru-buru melambaikan tangannya
dan berkata, “Lestari, jangan beli sayur dulu. Aku butuh bantuanmu!”
Lestari langsung cemberut. “Kamu
butuh bantuan apa? Dengar-dengar kamu sudah pinjam uang sama orang. Apa kamu
datang cari kami karena nggak bisa bayar utang?”
“Lestari!” Setelah memelototi
putrinya, Suryadi bertanya pada Wira, “Wira, maafkan Paman nggak mengawasimu
baik-baik selama beberapa tahun ini, kamu jadi terjerumus ke jalan yang salah.
Jangan takut, habis bayar utangnya, jadilah orang yang baik ke depannya. Kamu
utang berapa? Paman punya sedikit simpanan. Kamu boleh pakai dulu untuk bayar
utang.”
“Ayah! Itu uang yang kusimpan supaya
kamu bisa menikah lagi dan melahirkan anak untuk meneruskan keluarga kita!”
Setelah mengucapkan hal itu, Lestari
dipelototi ayahnya lagi. Dia pun berkata dengan cemberut, “Kamu cuman sayang
dia!”
“Aku memang punya sedikit utang, tapi
aku bisa bayar sendiri. Paman, Lestari, aku butuh kalian persiapkan beberapa
barang untukku. Makin cepat makin bagus!”
Wira pun menyebutkan semua
barang-barang yang diperlukannya.
“Panci besi, corong, lumpur kuning,
panci besar .... Kamu perlu itu semua buat apa?”
Setelah mendengar benda-benda yang
diperlukan Wira, Lestari pun bertanya dengan kebingungan. Namun, kedua orang
itu segera mempersiapkannya.
Tidak lama kemudian, Hasan, Sony,
Danu dan Doddy tiba di depan Toko Besi Keluarga Salim. Mereka berempat berdiri
di depan pintu dengan canggung.
Suryadi buru-buru mempersilakan
mereka masuk. Saat melihat barang bawaan mereka, Suryadi berkata dengan
terkejut, “Mau datang ya datang saja, buat apa bawa begitu banyak barang?”
“Harga setengah kilo gula mentah
sudah 100 gabak. Ini setidaknya ada sekitar 20-25 kilo, harganya paling nggak
4.000 gabak.”
“Sebuah kotak cendana sebesar ini
paling nggak 1.000 gabak, dua biji sudah 2.000 gabak.”
“Selembar sapu tangan sutra ini 500
gabak, dua lembar sudah 1.000 gabak.”
“Jubah sutra dan sepatu bot dari Toko
Penjahit Keluarga Solia paling nggak 1.500 gabak.”
“Giok ini paling nggak 4.000 gabak!”
“Sebuah kantong wewangian ini 2.000
gabak!”
“Dua ekor ikan besar dan sepuluh ekor
ikan kecil ini masih hidup. Beratnya paling nggak 15 kilo, bisa dijual sekitar
900 gabak.”
Setelah melihat barang-barang yang
dibawa Hasan dan yang lainnya, Lestari langsung menyebutkan semua
harga-harganya.
Keempat orang itu pun menatap Lestari
dengan terkejut. Semua barang yang mereka beli harganya kurang lebih sama
dengan harga yang disebut Lestari. Lestari benar-benar hebat!
“Wira, kamu toh nggak punya begitu
banyak uang. Buat apa kamu bawa begitu banyak barang kemari?”
Entah apa yang dipikirkan Lestari
sehingga dirinya tiba-tiba tersipu.
“Kami yang tangkap ikannya kemarin.
Sebagian besar sudah terjual, sisanya ini untuk kamu dan Paman!”
Kemudian, Wira mengalihkan topik
pembicaraan. “Gula mentah ini bakal kuproses lagi buat dijual. Selebihnya,
lihat saja nanti. Cepat masak dulu! Kami semua belum makan.”
“Cepat pergi masak. Aku pergi beli
daging dulu!”
Selesai berbicara, Suryadi pun pergi
dengan membawa keranjang sayurnya. Sementara Lestari langsung masuk ke dapur
untuk memasak.
Wira pun memberi perintah kepada
Hasan, Danu, Doddy dan Sony.
Danu ditugaskan menutup pintu toko,
sedangkan Doddy ditugaskan mencuci corong yang mereka beli tadi. Sony mengaduk
campuran lumpur kuning dan Hasan menyalakan api untuk panci besar.
Keempat orang itu sangat penasaran
apa yang mau dilakukan Wira.
Tidak lama kemudian, Suryadi pulang
dari berbelanja sayur. Situasi di hadapannya membuatnya terkejut.
Begitu api menyala, Wira menuangkan
tiga bungkus gula mentah ke panci. Setelah gulanya mencair, dia langsung
berkata, “Sony, cepat masukkan cairan lumpur kuningnya!”
“Hah?!” Sony langsung terkejut.
“Wira, yakin mau tuang? Gula di dalam panci ini paling nggak 1,5 kilo. Kalau
sudah tuang campuran lumpur kuning ke dalam, gulanya sudah nggak bisa dimakan
lagi. Kita bakal rugi 1.000 gabak!”
Hasan dan Danu juga terkejut.
Jika lumpur kuning dituangkan ke
dalam sirup gula, sirup gula akan terbuang sia-sia.
Wira langsung mendesak, “Tuang saja!
Kalau nggak, gulanya benar-benar bakal terbuang sia-sia!”
Setelah mendengar ucapan Wira, Sony
langsung mengulurkan tangannya dengan gemetar.
“Jangan tunda lagi! Ikuti saja
perintah Kak Wira!”
Meskipun Doddy juga heran, dia
langsung maju dan menuangkan seember cairan lumpur kuning itu ke dalam panci.
Dia tidak tahu apa yang ingin Wira
lakukan, tetapi dia akan mematuhi semua perintah Wira mulai sekarang.
Begitu cairan lumpur kuning dituang
ke dalam cairan gula, Wira langsung mengaduk dengan cepat. Lumpur kuning dan
cairan gula pun menyatu.
Tepat pada saat ini, Lestari berjalan
keluar untuk menyuruh kelima orang itu makan. Setelah melihat keadaan itu, dia
buru-buru berlari ke dapur dan berteriak, “Ayah, Kak Wira menuangkan cairan
lumpur kuning ke dalam gula mentah!”
Suryadi langsung terkejut. “Wira toh
nggak bodoh. Kenapa dia menyia-nyiakan barang seperti itu? Coba pergi lihat!”
No comments: