Bab 14
Setelah mendengarkan penjelasannya,
Nindi langsung tertarik.
Mereka langsung bersembunyi, melihat
Kak Leo memimpin tim untuk membunuh monster.
Bagaimanapun, Bos Kebun Persik ini
sangat sulit untuk dikalahkan dan memerlukan kerjasama tim. Saat mereka hampir
berhasil mengalahkan monster, biasanya dalam keadaan darah yang hampir habis.
Seharusnya, tidak ada yang berani
untuk merebut Bos Kebun Persik tim sekuat mereka.
Hal itu tidak berlaku bagi Cakra dan
Nindi.
Nindi pernah membuat video panduan
untuk mengalahkan Bos Kebun Persik ini, dia tahu kapan waktu yang paling tepat
untuk menyerang.
Dia bekerja sama dengan Cakra dan
pada saat Bos Kebun Persik sekarat, dia maju untuk memberikan serangan
terakhir.
Akhrinya, Cakra berhasil merebut Bos
Kebun Persik dari Leo dan Sania.
Dunia Komunikasi mulai melaporkan,
"Selamat tim Keripik Cinta Mie telah mengalahkan Bos Kebun Persik"
Ketika Leo melihat hasil ini, dia
langsung teriak marah, "Apa yang kalian lakukan? Bagaimana bisa Bos Kebun
Persik itu direbut oleh tim lain!"
Sania menimpali, "Dua orang ini
terlihat seperti pendatang baru, apa mereka nggak tahu siapa kita?
Berani-beraninya merebut Bos Kebun Persik kita."
Leo dengan nada marah berkata,
"Bunuh mereka!"
Sayangnya, layar permainan Leo
tiba-tiba berubah menjadi hitam putih dan setelah itu, semua anggota tim
lainnya juga berhasil dikalahkan.
Leo melihat permainan orang-orang di
tim, "
Keripik Cinta Mie" ini tidak
asing.
Permainannya sangat mirip dengan
Nindi!
Apa dia sengaja membuat akun baru
untuk merebut Bos Kebun Persik dia?
Tidak, Nindi seharusnya belum sehebat
itu.
Nindi dan Cakra berhasil mendapatkan
Bos Kebun Persik dan mendapatkan harta hasil jarahannya.
Bagi Nindi, tidak ada hal lain yang
lebih menyenangkan daripada menyiksa Kak Leo dan Sania seperti tadi! 2
Setelah bermain sebentar, pesanan
makanan mereka datang.
Cakra berhenti bermain, "Ayo
kita makan dulu."
Nindi melihat ternyata ada sebuah kue
kecil dan itu merek yang sama dengan kue yang diterima Sania siang tadi.
Dia melirik kue itu dan bertanya,
"Kenapa beli kue?"
"Bukankah anak perempuan suka
hal seperti ini?
Anggap saja sebagai hadiah karena
kamu mendapatkan nilai bagus. Untungnya kamu tidak membuatku malu!"
Nindi tiba-tiba merasa terharu.
Cakra terlihat sedikit canggung dan
berkata, "Lagi pula ini hanya pesan antar."
Nindi mengambil kue kecil itu, yang
dibeli khusus untuk dia.
Dia menunduk dan mencicipi sedikit.
Nindi merasa sangat terharu dan air matanya hampir jatuh karena terharu.
Cakra melihatnya menunduk dan tidak
berkata apa-apa lagi.
Dia akhirnya bertanya, "Apa kue
itu sangat nggak enak?"
"Nggak mungkin, bukankah ini
salah satu kue yang sedang populer?"
Nindi mengangguk, "Sangat enak.
Sudah lama nggak ada yang membelikan aku kue seperti ini."
Sejak orang tuanya meninggal, dia
tidak pernah merayakan ulang tahun lagi.
Kakak-kakaknya juga tidak ingat bahwa
dia juga suka makan kue ini dan mereka tidak ada yang membelikan kue lagi untuk
Nindi.
Cakra menatapnya dalam, "Kamu
nggak makan kue saat ulang tahun?"
Nindi terdiam sebentar, "Orang
tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil pada hari ulang tahunku. Sejak hari itu,
aku nggak pernah merayakan ulang tahun lagi."
Hari ulang tahunku adalah hari
kematian kedua orangtuaku.
Setiap kali hari itu tiba, suasana di
rumah berubah suram.
Dia juga tidak berhak meminta untuk
merayakan ulang tahun.
Cakra merasa dadanya seperti ditusuk
sesuatu yang tajam dan membuatnya sulit bernapas.
Dia membuang mukanya, menatap ke arah
lain.
Wajahnya terlihat penuh dengan
kemarahan dan bercampur rasa bersalah.
Tangannya tanpa sadar mengepal,
urat-urat di punggung tangannya terlihat tegang.
Nindi merasakan perubahan air muka
Cakra dan dengan polosnya mengatakan, "Sebenarnya aku sudah nggak peduli
untuk merayakan ulang tahun atau tidak, karena aku juga nggak terlalu suka
untuk merayakannya."
"Lagi pula, hari itu adalah hari
peringatan orang tua.
Apa haknya untuk merayakan ulang
tahun?
Cakra berusaha menahan emosinya. Dia
menatap wajah Nindi yang terlihat tenang dan manis seperti seekor kelinci.
Dia diam di tempat, tanpa bersuara
dan keberadaannya seolah tak teraba.
Sikapnya yang selalu pengertian ini,
membuat orang kasihan padanya.
Dia menggerakkan tenggorokannya,
suaranya agak serak, "Sudah malam, lebih baik kamu cepat pulang. Remaja
sepertimu jangan terlalu larut berkeliaran di luar rumah."
"Baiklah, jadi apa aku masih
bisa datang ke sini untuk mencarimu nanti?"
Nindi bertanya dengan ragu.
Cakra menatapnya tajam, "Kamu
langsung percaya padaku? Apa kamu nggak takut aku menipumu ?"
"Aku nggak punya apa-apa untuk
kamu tipu."
Nindi dengan tenang menatapnya balik,
"Senior, kamu adalah satu-satunya teman yang aku miliki saat ini."
Cakra tertegun sebentar, sebelum
akhirnya bertanya, "Teman?"
Dia tersenyum tipis, lalu dengan
sengaja memasang ekspresi serius, "Jangan terlalu mudah percaya pada orang
lain, terutama pada pria."
"Aku tahu! Aku pamit dulu
ya."
Nindi melambaikan tangan dan pergi
meninggalkan ruang UKS.
Setelah dia pergi, Cakra hanya
berdiam diri. Dia melihat kue yang terletak di atas meja dan teringat akan
lokasi kecelakaan tahun lalu, kue ini hancur.
Kepalanya mulai terasa sakit, seolah
tidak akan pernah bisa mengingatnya.
Sejak kecelakaan itu, dia juga tidak
pernah lagi makan kue.
Setelah waktu berlalu cukup lama, dia
menerima sebuah panggilan, "Tuan Muda, Nona Nindi sudah sampai di rumah
dengan selamat."
Cakra baru saja menutup telepon,
bayangannya yang terpantul di bawah sinar matahari senja tampak memanjang.
Nindi kembali ke rumah dan dia
langsung melihat Kakaknya duduk di sofa. Jelas semua orang sedang menunggu
dirinya.
Dia tidak menunjukkan ekspresi
"Kak Nando."
Nando mengangkat kepalanya dan
melihat adiknya yang dingin dan keras kepala. Entah, apa yang harus dia lakukan
sekarang.
Dia tahu bahwa saat mendengar nilai
Nindi meningkat pesat, dia sempat curiga apakali dia menyontek.
Dia tidak menyangka bahwa nilainya
ternyata hasil Nindi belajar sendiri.
Prestasi Nindi selama beberapa tahun
ini jelas-jelas biasa saja. Bagaimana dia tiba-tiba bisa berkembang begitu
pesat?
Nando merasa bahwa Nindi benar-benar
berubah banyak. Ini bukan karena marah kepada mereka, namun lebih daripada itu.
Dia merasa senang, tapi di sisi lain
juga kehilangan.
Dulu adik perempuan yang selalu
berada di dekatnya, sepertinya sudah tidak ada lagi!
Dia tahu bahwa nilai bagus yang
diraih Nindi adalah hasil kerja keras, bukan sekadar gertakan belaka.
"Nando juga mulai merenung,
menyadari bahwa selama ini dia juga melihat Ningsi penuh prasangka, ditambah
lagi dengan ulah Leo di sekolah. Dia merasa selama ini terlalu mengabaikan
perasaan Nindi."
Apa mungkin Nindi berubah karena itu?
Nando bertanya dengan dingin,
"Kembali begitu larut, pergi ke ruang belajar lagi?!"
"Iya."
Nando menghela napas,
"Lingkungan rumah kita bukankah lebih baik daripada ruang belajar umum di
luar? Lingkungan di luar nggak aman, ada segala macam orang. Mulai sekarang
jangan belajar di luar lagi."
Nindi mengerutkan bibirnya dan merasa
kesal. Lagi-lagi, Kak Nando langsung membuat keputusan untuknya.
Nando kemudian berkata, "Karena
prestasi Sania kali ini menurun, aku telah menyewa seorang tutor untuk
memberinya les tambahan, kamu juga ikut. Jika ada hal yang nggak dimengerti
oleh Sania, kamu bisa membantunya, lagi pula kalian adalah teman sekelas.
Ketika dia izin tidak masuk sekolah, tolong bantu dia membuat catatan
penting."
Air muka Nindi langsung terlihat
muram.
Jadi alasan dia harus belajar di
rumah karena Sania?
Nindi dengan tegas menjawab,
"Aku nggak mau."
"Nindi, aku tahu bahwa hari ini
Leo memang melakukan kesalahan di sekolah dan kamu juga telah membuktikan
kemampuanmu. Namun, kita tetap satu keluarga, Sania mengalami penurunan
prestasi karena persiapan untuk pertandingan tim E -Sport. Karena kamu tidak
ikut dalam pertandingan tim E-Sport, kamu seharusnya berusaha sedikit untuk
membantu Sania meningkatkan prestasinya, lagi pula kamu sudah memiliki
pengalaman belajar yang baik."
Nindi tersenyum getir, "Aku
nggak mau!"
Setelah berkata seperti itu, Nindi
malas untuk berdebat lagi.
Leo langsung keluar dari kamarnya dan
memaki Nindi, "Nindi, kamu itu nggak tahu terima kasih! Bertahun-tahun
kamu makan dan minum dari keluarga Lesmana, tetapi nggak mau memberikan
kontribusi sedikit pun. Memangnya kamu nggak imalu?"
Nindi tidak percaya dengan apa yang
Leo katakan.
Dia sangat berusaha untuk memberikan
kontribusi bagi Keluarga Lesmana di kehidupan sebelumnya dan berlatih keras
untuk bermain di laga pertandingan game, hingga Tim E-Sport keluarga mereka
meraih juara.
Sekarang, apa yang dia dapat?
Sania merengek sedikit dan dengan
mudah dia menggantikan posisinya.
Dalam kehidupan ini, dia nggak akan
melakukan hal bodoh seperti itu.
Dia menjawab dengan tenang,
"Baiklah, mulai hari ini aku akan keluar dari Keluarga Lesmana dan nggak
akan menggunakan sepeser pun uang dari Keluarga Lesmana."
Pemisahan, mulai sekarang.
No comments: