Bab 6
Nindi pulang ke rumah keluarga
Lesmana dengan naik taksi.
Begitu masuk ke ruang tamu, ia
mendengar suara Sania yang terdengar begitu hangat dan akrab.
Namun, suasana itu langsung berubah
kaku saat Nindi muncul di pintu.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Nindi
berjalan melewati ruang tamu tanpa berhenti, berniat langsung ke kamarnya.
"Nindi! Berhenti!" suara
Brando terdengar lantang, "Pulang ke rumah, lihat orang tua nggak ngasih
salam? Sekarang begini sikapmu?"
Dia melanjutkan dengan nada yang
semakin keras, " Jangan kira cuma karena ada dokter sekolah itu yang bela
kamu, sampai mau lapor polisi, kamu jadi mikir punya pendukung. Ingat, keluar
dari keluarga Lesmana, kamu bukan siapa-siapa!"
Brando berdiri, emosi tampak
menguasai dirinya, " Kamu pikir kita pilih kasih sama Sania? Pernah nggak
kamu lihat betapa parahnya yang kamu lakuin ke dia? Ayahnya itu udah nyelamatin
nyawamu! Kita cuma bayar utang budi untuk kamu!"
Nindi berhenti melangkah, lelah
mendengar semua itu.
Dia menoleh ke arah sofa dan berkata
pelan, "Kak Nando, Kak Brando, aku pulang."
Sudah cukup, kan?
Nando menyahut, "Sebentar lagi
makan malam. Ayo makan."
"Kalian makan aja, aku nggak lapar."
Jawab Nindi santai, lalu kembali
berjalan menuju kamarnya.
"Lihat tuh, Kak Nando! Lihat
sikap dia! Makin lama makin nggak tahu aturan!"
Sania ikut berbicara dengan suara
lembut, "Kak Brando, jangan marah, ya. Ini semua salah aku. Mungkin kalau
aku pergi dari rumah ini, Kak Nindi nggak akan terus begini..."
"Jangan ngomong yang
nggak-nggak. Kalau ada yang pergi, itu dia yang pergi, bukan kamu!" sahut
Brando tegas.
Nindi mendengar percakapan itu dari
belakangnya. Tanpa berhenti, ia mempercepat langkahnya masuk ke kamar dan
langsung mengunci pintu.
Sambil bersandar di pintu, ia
memejamkan mata, merasa sedikit lega meski matanya mulai memanas.
Dia mendongak, menatap langit-langit
kamar, memaksa air matanya untuk tidak jatuh. Kali ini, ia tidak akan peduli
lagi pada hubungan kakak-adik yang palsu itu.
Keesokan harinya, Nindi kembali ke
sekolah seperti biasa.
Dia berada satu mobil dengan Sania
dalam perjalanan.
Dengan hati-hati, Sania bertanya,
"Kak Nindi, kamu masih marah sama aku, ya?"
"Sania, kamu nggak capek, ya?
Tiap saat akting seperti itu?"
Nindi memandangnya sebentar sebelum
menyandarkan kepala ke kaca mobil, tidak ingin menghiraukan Sania. Setelah itu,
Nindi memejamkan mata, tidak ingin bicara lagi.
Sania menunduk, senyumnya yang
biasanya lembut perlahan memudar. Namun, karena ada sopir di dalam mobil, ia
kembali memasang ekspresi kasihan, lalu tersenyum ke arah sopir.
Melihat itu, sopir merasa semakin
yakin bahwa Nona Besar benar-benar keterlaluan karena terus memperlakukan Sania
seperti itu. Ia memutuskan nanti harus memberitahukan semuanya ke Tuan Nando.
Sampai di sekolah, Nindi fokus pada
pelajaran. Ia mendengarkan dengan serius dan mencatat apa yang diajarkan.
Banyak hal yang sudah lama terlupakan olehnya, dan ia ingin mengejar
ketertinggalannya.
Meskipun Sania punya sekelompok
pengikut setia dan penggemar yang suka menyindir atau mengganggunya, Nindi
memilih untuk tidak peduli.
Dia punya terlalu banyak hal yang
harus dilakukan, dan tidak ada waktu untuk meladeni mereka.
Malam itu, Nindi pulang ke rumah
setelah selesai sekolah.
Begitu masuk, ia melihat Kak Leo
sedang duduk di sofa, tetapi wajah kakaknya itu terlihat kusut dan masam.
Sania dengan manja berlari
menghampirinya sambil tersenyum lebar, "Kak Leó, kamu pulang juga
akhirnya! Aku kangen banget saña kakak belakangan ini!"
Awalnya, suasana hati Leo memang
buruk, tetapi setelah dirayu begitu oleh Sania, ekspresi wajahnya perlahan
melunak.
Nindi hanya melirik sekilas interaksi
mereka, lalu memutuskan untuk naik ke lantai atas.
Namun, suara Kak Leo menghentikan
langkahnya, " Nindi, Kak Brando bilang kamu makin lama makin susah diatur.
Awalnya aku nggak percaya. Tapi sekarang bahkan manggil 'Kak Leo' aja kamu
nggak mau?"
Nindi menghela napas panjang,
lagi-lagi seperti ini.
Dia tidak ingin membuang banyak
waktu, ia menoleh kembali dan dengan patuh memanggil, Kak Leo." 11
"Nah, gitu dong. Oke, aku balik
kali ini buat rencana besar. Aku mau bentuk tim baru. Kak Nando sama Kak Brando
juga udah setuju, kamu ikut."
Nindi menggenggam tali tasnya
erat-erat, jadi ini datang lagi, di kehidupan sebelumnya, Kak Leo juga bilang
hal yang sama.
Demi membuat Kak Leo senang, demi
menarik perhatian kakak-kakaknya.
Dia langsung mengiyakan tanpa pikir
panjang. Lalu, dia habiskan waktu dengan latihan mati-matian sampai
mengorbankan Ujian Masuk Perguruan Tinggi.
Tapi apa yang dia dapatkan di akhir?
Kak Leo bilang, "Nindi, kamu
udah cukup buktiin kemampuanmu. Sekarang kasih tempatmu buat Sania. Dia juga
berhak ngerasain jadi juara."
Lalu ia berkata, "Aku kapten tim
ini. Aku yang tentuin siapa yang main dan siapa yang keluar."
Di kehidupan sebelumnya, dia merasa
dirugikan saat digantikan Sanía.
Nindi, yang sudah berjuang membawa
tim ke final, harus menelan kekecewaan pahit saat dia digantikan oleh Sania di
detik-detik terakhir.
Dia memberikan kehormatan juara yang
mudah didapat kepada Sania.
Apa arti pengorbanannya?
Kali ini, dia tidak akan membiarkan
sejarah terulang.
Dengan tegas, Nindi berkata,
"Kak Leo, aku mau fokus buat ujian masuk perguruan tinggi. Aku nggak mau
terganggu sama game."
Jawabannya jelas-jelas menolak.
Lebih tepatnya, dia menolak perintah
Kak Leo.
Karena, jujur saja, tadi itu bukan
undangan, tapi pemberitahuan sepihak.
"Nindi, aku salah dengar atau
apa? Kamu nolak ajakan Kakak?"
Kak Leo terdiam sejenak, ekspresinya
semakin tidak enak dipandang. Baginya, ini di luar dugaan. Dia sama sekali
tidak menyangka Nindi akan menolak.
Apalagi selama ini Nindi selalu patuh
pada apa pun yang dia minta.
Dengan sikap santai tapi tetap tegas,
Nindi menjawab, "Karena ini ajakan, aku punya hak buat nolak, 'kan?"
Tatapannya lurus menantang Kak Leo,
membuat kakaknya itu terlihat agak canggung.
Namun, Nindi tidak peduli.
Kak Leo mendengus kesal, "Nindi,
pikirin lagi baik-baik jawabannya. Jangan sok keras kepala. Nanti kalau aku
udah nggak kasih kamu kesempatan, jangan nyesel sampai nangis-nangis!"
Nada ancamannya tajam, tapi Nindi
tidak bergeming. Kak Leo mendengar cerita dari Kak Brando soal kejadian
beberapa hari terakhir, terutama tentang piala emas yang dia berikan pada
Nindi.
Piala itu adalah simbol kemenangan
pertamanya sebagai pemain profesional, sesuatu yang sangat berharga.
Bagi dia, itu sangat berarti.
Namun, apa yang Nindi lakukan? Piala
itu malah diberikan ke Sania sebagai permintaan maaf.
Sania menarik ujung baju Kak Leo
dengan hati-hati, "Kak Leo, jangan marah ya. Bisa gabung ke tim Kakak tuh
mimpi yang selalu aku pengen. Kalau Kak Nindi udah mikir matang-matang nanti,
dia pasti setuju kok."
Bukannya meredakan amarah, kata-kata
Sania malahan membuat Leo semakin emosi.
Dia merasa Nindi tidak tahu diuntung,
berani-beraninya nolak ajakannya!
Leo menatap Nindi dengan mata tajam,
" Kesempatan cuma datang sekali. Kamu pikirin sekarang juga! Mau gabung ke
tim keluarga kita atau nggak?"
Nindi justru merasa geli, jadi
ternyata Kak Leo selama ini cuma macan ompong, terlalu mudah dipermainkan sama
Sania.
Sania pasang muka penuh perhatian dan
berkata, " Kak Nindi, mending cepet setuju deh, jangan bikin Kak Leo
marah."
Nindi memandang Sania sekilas, lalu
berkata, "
Kalau kamu aja udah ngimpi mau
gabung, ya udah, posisi aku kasih ke kamu aja."
Setelah itu, tanpa menunggu
tanggapan, Nindílangsung masuk ke kamarnya. 1
Dia mengambil tas sekolahnya dan
mulai mengerjakan PR. Banyak materi yang sudah tidak dia kuasai, jadi dia harus
memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengejar ketertinggalan.
Beberapa saat kemudian, seorang
pelayan mengetuk pintu kamarny, "Nona Besar, sudah waktunya makan
malam."
"Antar ke kamar aja."
"Tapi Tuan Nando dan yang lain
sudah menunggu di ruang makan untuk makan bersama."
Jelas ini cara halus untuk bilang dia
nggak boleh makan di kamar.
Nindi menggenggam pulpen di tangannya
dengan erat, ia sadar dirinya belum bisa sepenuhnya lepas dari kendali keluarga
Lesmana, jadi untuk saat ini ia memilih mengikuti permainan mereka.
Dengan berat hati, dia bangkit dan
pergi ke ruang makan.
Di ruang makan, Kak Nando, Kak
Brando, Kak Leo, dan Sania sudah duduk mengelilingi meja besar.
Karena keluarga Lesmana terdiri dari
banyak anggota, mereka selalu makan di meja makan panjang.
Nindi duduk di ujung meja paling jauh
dan langsung mengambil piring untuk mulai makan tanpa bicara apa-apa.
Suasana di ruang makan terasa
canggung dan sedikit mencekam.
Tawanya seperti sihir yang membuat
suasana jadi lebih santai.
Leo melirik Nindi sekilas, lalu
dengan nada sengaja menyindir berkata, "Sania, nanti kita ajarin kamu main
game langsung ya. Aku yakin kamu cepat paham, nggak kalah jago sama orang-orang
di sini!"
Mendengar itu, mata Sania berbinar
penuh antusias, "Kak Leo, aku bakal usaha keras deh. Aku janji nggak bakal
jadi beban!"
Sementara itu, Nindi tetap diam.
Perkataannya nggak mengusik hatinya sedikit pun. Biarlah Sanía yang masuk ke
tim.
Toh nanti, kalau mereka gagal di
babak penyisihan ulang, Leo tidak akan punya peluang lagi untuk ikut turnamen
besar.
Dia makan dengan tenang, tanpa peduli
obrolan mereka yang tampak seru. Nindi juga tidak menunjukkan emosi apa pun
seperti dulu, di mana ia mungkin akan memprotes atau marah.
Karena dia sekarang sama sekali tidak
peduli.
Saat selesai makan, Nindi berdiri dan
berkata dengan nada datar, "Aku udah selesai. Kalian nikmati makanannya
ya."
Dia memilih untuk tetap sopan dan
memberikan salam sebelum pergi, karena dia tahu kalau nggak begitu, dia pasti
akan dapat ceramah panjang.
Nando, yang selama ini memperhatikan,
mengangkat kepala dan merasa ada yang berbeda. Nindi yang biasanya penuh emosi
sekarang terlihat dingin dan apatis.
Setelah beberapa detik hening, Nando
berkata dengan nada lembut, "Nindi, kamu beneran nggak mau gabung ke tim
keluarga? Talenta main game kamu bagus, loh. Kalau kita kerja sama, pasti kita
bisa juara bareng!"
Nando memberikan satu kesempatan
terakhir, menurunkan ego demi memberi Nindi sebuah " tangga" untuk
kembali.
No comments: