Bab 7
Ketika mendengar kata
"keluarga," Nindi hanya merasa itu sangat konyol.
Dulu, di kehidupan sebelumnya, dia
juga berpikir seperti itu.
Namun, menjelang hari-hari terakhir
sebelum turnamen, dia malahan digantikan oleh Sania.
Apa itu yang namanya keluarga?
Nindi langsung menjawab tegas,
"Aku nggak berniat gabung ke tim. Aku mau fokus belajar, persiapan
ujian."
Leo tersenyum sinis, "Tapi kan
sebelumnya kamu yang minta aku ajarin main game, malam-malam ngejar-ngejar aku
buat latihan bareng, bahkan bilang mau jadi anggota resmi tim. Kenapa sekarang
baru bilang mau serius belajar?"
Hati Nindi sedikit perih mendengarnya.
Dia memang mengejar Kak Leo untuk
bermain game, tetapi itu hanya supaya bisa dekat dan punya banyak topik yang
sama!
Sekarang, untuk apa?
Nindi menjawab dengan tenang,
"Karena main game kemarin malah bikin nilai ujian bulan lalu turun banyak,
jadi aku nggak mau terusin main game lagi."
Leo terdiam, bingung mau bicara apa
lagi, "Yaudah, terserah kamu. Tapi nanti kalau turnamen dimulai,
orang-orang cuma lihat Sania, mereka bakal anggap dia satu-satunya bagian dari
keluarga Lesmana."
Jika Nindi masih tidak mengerti juga,
yaudah. Toh dia juga tidak peduli.
"Ya, itu juga nggak
masalah."
Nindi tidak ingin berlama-lama, jadi
dia berbalik dan pergi dari ruang makan.
Setelah sampai di kamar, dia mencoba
menenangkan diri dan mulai serius mengerjakan PR, mengulang kembali pelajaran
yang sempat terlupakan.
Keesokan harinya setelah pulang
sekolah.
Nindi dan Sania berjalan bersama
menuju gerbang sekolah, di luar ada sopir yang sudah menunggu.
Sania berhenti di depan mobil dan
berkata, "Oh iya, aku hari ini mau ke pusat pelatihan. Sopirnya mau antar
aku dulu, jadi kita nggak bakal jalan bareng deh."
Sopir itu dengan wajah datar berkata,
"Nona, saya terima telepon dari Kak Leo. Saya harus antar Nona Sania dulu,
nggak bisa nunggu-nunggu."
Nindi hanya mengangkat bahu,
"Nggak apa-apa, aku naik taksi aja."
Sania masuk ke dalam mobil dengan
senyum semringah, "Nindi, nanti aku coba ngomongin sama Kak Leo ya."
Nindi cuma melirik dan langsung
berjalan pergi, membiarkan Sania melihat punggungnya.
Sania memandang kepergiannya,
bibirnya terkatup rapat, dan dalam hati dia bergumam, 'Nindi, tunggu saja.
Suatu saat nanti, aku akan merebut semuanya dari kamu! Itu semua gara-gara kamu
yang udah ninggalin aku!'
Nindi berdiri lesu di pinggir jalan,
tidak ingin pulang ke rumah Lesmana.
Mungkin lebih baik cari tempat untuk
belajar di sekitar sekolah.
"Nindi tunggu, kenapa kamu nggak
pulang? Mau jalan-jalan di pinggir jalan gitu?"
Nindi menoleh dan melihat seorang
pria tampan yang tiba-tiba muncul. Dia terkejut, lalu setelah menatap mata pria
itu, akhirnya ia mengenali siapa dia.
Ternyata ini adalah dokter sekolah
yang terkenal dengan mulut tajamnya.
Biasanya dia selalu mengenakan masker
dan jas putih, tetapi kali ini dia berpakaian lain dan hampir saja Nindi tidak
mengenalinya.
Cakra berdiri di depannya, dengan
nada sedikit mengintrogasi, "Kenapa nggak langsung pulang?"
"Aku nggak mau pulang dulu. Mau
cari tempat belajar buat ngerjain PR."
"Ikuti aku."
Nindi menatap punggung Cakra, dengan
ragu, tetapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti dokter itu.
Dia mengikuti Cakra ke ruang UKS,
berdiri di depan pintu dan berkata, "Ngapain ke sini? Penyakitku udah
sembuh."
Cakra menepuk meja di sampingnya,
"Di sini lebih tenang, lebih aman daripada di ruang belajar."
Nindi berpikir sejenak, sepertinya
juga masuk akal.
Dia meletakkan tasnya, "Yaudah
deh, kalau gitu maaf ganggu ya kak."
Nindi mengeluarkan buku dan mulai serius
mengerjakan PR.
Cakra melirik sebentar, kemudian
dengan langkah tenang menuju ruang konsultasi, menutup pintu di belakangnya.
Setelah beberapa saat, Nindi
menyadari waktu sudah cukup larut.
Dia melihat meja di depannya, ada
sebuah nama tertempel di papan nama, Cakra Julian, dan foto pria itu terpasang
di sana. Ternyata, itulah nama dokter killer yang dia kenal.
"Udah puas liat-liatnya?"
Nindi kaget karena tertangkap basah.
Wajahnya memerah dan buru-buru meletakkan papan nama itu kembali, "Aku
nggak sengaja liat, kok."
Cakra mengangkat alis, "PR-nya
udah selesai?"
"Sudah, beberapa soal yang belum
aku kerjakan, besok tanya sama guru, deh."
Cakra berjalan ke depan Nindi, lalu
menarik buku tugasnya, "Sesimpel ini aja nggak bisa?"
Nindi sedikit tersinggung, menunduk
dan menatap buku pelajaran, "Iya, dulu aku nggak serius, banyak hal yang
ganggu fokusku."
"Dengerin, aku cuma bilang
sekali aja."
Cakra mengambil pena, mulai menulis
di kertas kasar sambil menjelaskan soal yang ada.
Nindi tertegun, menatap pria di
depannya. Tiba-tiba, perasaannya jadi campur aduk.
Karena Sania, dia tidak punya banyak
teman, bahkan guru pun jarang yang suka dengan dirinya.
Belum pernah ada yang dengan suka
rela mengajarkannya.
Cakra menunduk, matanya sedikit
menyipit, "Kamu ini, fokusnya kayaknya lebih ke hal lain daripada
pelajaran, ya?"
Nindi langsung sadar, buru-buru
mengangkat kepala dan berkata pelan, "Maaf, aku bakal lebih fokus."
Melihat Nindi yang begitu patuh,
Cakra menelan ludah, sedikit merubah sikapnya dan melanjutkan penjelasannya.
Sore itu, cahaya lampu yang hangat
mengalir di antara mereka.
Nindi duduk di kursi, sementara Cakra
berdiri di sampingnya, menumpukan satu tangan di meja dan terus menjelaskan
cara mengerjakan soal.
"Otakmu ini kayak garis lurus,
nggak bisa belok sama sekali ya? Ini kan cara yang sama kayak soal yang
tadi."
"Soal yang gampang banget, kamu
nggak bisa liat? Mata kamu cuma pajangan?"
"Udah pernah tes IQ belum?
Jangan-jangan nggak masuk rata-rata, kerjain lagi!"
Suara Cakra terdengar datar, tetapi
setiap kata yang keluar langsung menusuk hati.
Beruntung, Nindi sudah tahu kalau
Cakra itu memang tukang nyinyir, si dokter sekolah yang tajam lidahnya. Kalau
tidak, mungkin dia sudah menangis sekarang.
Akhirnya, Nindi tetap bertahan.
Dia menyelesaikan tugasnya dan
menutup buku, " Makasih, Kak Cakra. Kamu hebat banget, masih ingat soal
kayak gini."
Cakra memutar pena di tangannya,
menatap Nindi dengan tajam, "Di rumah nggak ada yang ngajarin kamu?"
Nindi menggigit bibir, "Aku
nggak mau berutang sama mereka."
Lesmana Grup itu bisa dibilang kaya,
tapi dia tahu betul berapa mahalnya les privat. Saat ini, dia tidak punya uang,
dan tidak ingin membicarakan soal ini ke Keluarga Lesmana.
Cakra memandang sisi wajah Nindi yang
pucat, matanya terpejam, menutupi perasaan yang sedang ia rasakan.
Nindi sedikit ragu, lalu dengan
hati-hati mengangkat wajahnya, "Kak Cakra, kalau aku nggak ngerti sesuatu,
boleh tanya ke kamu nggak?"
Cakra menoleh sedikit, suaranya
terdengar agak kaku, "Nggak ada waktu."
Setelah ditolak, Nindi tidak marah,
dia malah dengan baik hati merapikan tasnya.
Cakra mengetuk meja, lalu menoleh
lagi sambil menambah, "Tergantung suasana hati."
Nindi tersenyum lebar, "Makasih
ya, Kak Cakra ... eh, maksudnya, makasih Pak Guru!"
Begitu selesai, Nindi tidak menunggu
reaksi Cakra, langsung membawa tasnya dan berlari keluar.
Cakra memandangnya, matanya setengah
terpejam, dan sebuah senyum malas muncul di bibirnya. Ya, anggap aja ini buat
ngisi waktu kosong.
Nindi pulang ke rumah, saat hari
sudah gelap.
Pengurus rumah datang mendekat dan
berkata, Tuan Nando dan Nona Sania sedang makan malam bersama, jadi mereka
nggak pulang untuk makan."
"Hmm."
Nindi hanya mengangguk dan berjalan
menuju ruang makan sendirian, menikmati ketenangan untuk sejenak.
Dia membuka ponselnya dan seperti
yang dia duga, melihat unggahan Sania di status, "Makan besar bareng
kakak-kakak."
Nindi melihat foto itu. Kakak-kakaknya
semua ada di sana, tersenyum lebar di depan kamera, memperlihatkan ekspresi
sayang pada Sania.
Dia hanya melirik sejenak, lalu
menutup aplikasi dan melanjutkan makannya tanpa berkata apa-apa.
Keesokan harinya, Nindi bangun dan
pergi ke ruang makan untuk sarapan.
Kakak-kakaknya belum datang, hanya
Sania yang sudah ada di sana.
Sania, dengan penuh semangat,
menyombongkan diri, "Kemarin aku latihan di tim.E-Sport kakak, banyak
banget kemajuannya!"
Nindi duduk dengan wajah datar,
melanjutkan sarapannya tanpa menanggapi.
Sania yang sedang dalam mood bagus,
tidak mempermasalahkan sikap Nindi yang dingin.
Dia mungkin berpikir kalau Nindi
hanya pura-pura santai, padahal di dalam hati, Nindi pasti marah besar.
Nindi cepat-cepat menghabiskan
sarapannya dan langsung beranjak pergi.
Namun, pengurus rumah berdiri di
dekatnya dan mengingatkan, "Nona Sania belum keluar, kita harus menunggu
dia bersama-sama."
Nindi duduk di dalam mobil dan
menunggu lebih dari sepuluh menit, tetapi Sania belum juga muncul.
Dia melirik jam tangannya, mulai
merasa kesal, dan berkata, "Kalau nggak keluar juga, kita bisa
terlambat!"
Nindi merasa semakin tidak tahan
dengan keadaan di Keluarga Lesmana.
Dia sudah tidak ingin menunggu lagi,
dia membuka pintu mobil untuk keluar, tetapi tiba-tiba suara Kak Brando
terdengar.
"Kamu pikir nunggu Sania
sebentar itu susah? Dulu, waktu ayahnya menyelamatkan nyawamu, dia nggak pernah
ninggalin kamu. Sekarang, kamu malah nggak sabar buat nunggu dia?"
No comments: