Bab 754
Dia tidak ingin dipermalukan seperti
ini!
Setelah Nindi menatap ekspresi
memohon belas kasihan di wajah Nyonya Belinda, barulah dia merasa lebih baik.
Dia membungkukkan badan. "Nah,
ini baru benar sikap orang yang minta ampun kalau sudah bikin masalah!"
Nindi segera mendorong Nyonya Belinda
hingga tersungkur ke lantai. Dia menatap tajam ke arah wanita itu dari atas.
"Minta ampun sambil berlutut juga!!"
Berlutut seraya mengibaskan ekornya,
memohon belas kasihan, bagaikan seekor anjing yang kehilangan tempat tinggal.
Bagaimanapun juga, kematian kedua
orang tuanya dulu begitu memilukan, dan semua karena ulah Nyonya Belinda.
Nyonya Belinda seolah melupakan harga
dirinya." Dulu, aku juga terpaksa! Awalnya semua berjalan lancar, sampai
tiba-tiba suatu hari sepasang suami istri kampungan muncul dan berusaha merebut
proyek itu. Mana mungkin aku diam saja, 'kan?"
Seandainya proyek kala itu tidak
jatuh ke tangan keluarga Morris, pasti mereka telah bangkrut sejak lama.
Bagaimana mungkin mereka berubah
secepat itu menjadi keluarga kaya raya?
Nyonya Belinda melanjutkan ucapannya
dengan nada tajam. "Orang kalau nggak mikirin diri sendiri, bisa jadi
celaka. Dulu kalian juga disuap, 'kan? Bedanya dengan sekarang apa coba?"
Melihat ekspresi wajah Nyonya
Belinda, Nindi seketika mengerti bahwa orang sepertinya takkan pernah mengenal
arti penyesalan.
Yang mereka pedulikan hanyalah
keuntungan semata.
Dengan suara sedingin es, dia
berkata, "Kamu sudah jatuh ke tangan kami, jadi kami yang berhak
memutuskan semuanya. Saat video tak senonoh Nyonya terhormat ini dirilis, aku
yakin keluarga Morris juga bakal kasih kami uang tutup mulut."
Begitu Nindi mengulurkan tangannya,
Nyonya Belinda langsung jatuh pingsan karena ketakutan.
Dia tampak mengejeknya. "Segini
saja sudah takut?"
"Sudah waktunya," ucap
Cakra.
Ketika suara Cakra terdengar di
telinganya, Nindi pun sadar bahwa sakarang saat baginya untuk pergi.
Dia pun berbalik dan keluar dari
ruangan itu, kemudian menatap ke arah Cakra. "Aku terlalu kejam nggak
sih?"
Bagaimanapun juga, Nyonya Belinda
adalah sahabat karib Ibunya Cakra.
Namun, dia justru mempermalukan
Nyonya Belinda seperti itu, hingga memaksanya berlutut dan memohon ampun.
Cakra menggenggam tangan Nindi.
"Aku biarin kamu masuk supaya kamu bisa lampiaskan semua rasa
kesalmu."
Mia melangkah maju dan berkata,
"Biar kami yang urus sisanya, kalian pulang duluan saja."
Segera setelahnya, semua orang
meninggalkan tempat itu.
Cakra menatap wanita itu. "Ganti
baju dulu, ya."
Setelah melepaskan jaket dan
celananya, Nindi segera pergi dari sana bersama Cakra.
Dia berkata dengan lirih.
"Nyonya Belinda bakalan ditemukan nggak, ya?"
"Nggak mungkin," ucap
Cakra.
Sorot mata Cakra menjadi lebih
dingin, lalu dia berkata, "Dia harus rasakan mendekam di sana beberapa
hari, hidup dengan penuh kecemasan dan ketakutan."
Terlebih, pertanyaan yang ingin dia
ajukan pun belum sempat terucap.
Mengapa dulu dia dijebak berada di
dalam mobil itu?
Nindi tersenyum tipis. "Dia
memang pantas merasakannya! Selama ini kita hidup menderita, tapi keluarga
Morris justru menikmati kemewahan."
Jika saja waktu itu keluarga Morris
tidak berbuat curang, maka yang memenangkan proyek itu adalah orang tuanya.
Keluarga Morris pun tidak akan
berakhir seperti saat ini.
Cakra meraih tangan wanita itu.
"Cepat atau lambat, kebenaran pasti bakal terkuak juga."
"Iya, aku tahu, makasih sudah
menyiapkan semua ini," ucap Nindi.
Nindi sungguh berterima kasih kepada
Cakra.
Cakra maju selangkah, menunduk dan
menatapnya lekat-lekat. "Ya sudah, kamu simpan saja dulu."
Semakin banyak yang ia ingat, mungkin
kelak setelah dia mengetahui kebenarannya, rasa bencinya kepada pria itu kian
mereda.
Nindi menyimpan semua kenangan
bersama pria itu di dalam hatinya, bagaimana mungkin dia bisa melupakannya?
Begitu pintu lift terbuka, Sofia
berdiri di luar dan mendapati adegan itu. Dengan suara yang terdengar rapuh,
dia berkata, "Cakra, aku mencarimu dari tadi. Ibuku dalam masalah."
No comments: