Bab 769
Begitu Nindi mengucapkan kalimat itu,
jelas terlihat raut wajah Sania berubah.
Perempuan licik itu seketika merasakan
keringat dingin membasahi punggungnya.
Tak disangka Nindi, si jalang ini
ternyata punya bukti.
Namun, kenapa Nindi selama ini terus
menahan diri dan tidak mengungkapkannya? Mungkinkah Nindi berbohong?
Jika Nindi punya bukti, seharusnya
dia sudah mengeluarkannya sejak lama.
Memikirkan hal itu, Sania merasa
sedikit lebih tenang. Nindi pasti hanya menggertaknya.
Sania mendongak. "Kalau begitu,
coba kamu keluarkan bukti yang kamu punya dan tunjukkan pada semua orang. Aku
nggak mungkin dituduh tanpa alasan yang jelas, 'kan?"
Dia bertaruh Nindi, si jalang itu
tidak punya bukti.
"Baiklah. Lagi pula, nggak ada
gunanya menyembunyikannya lagi sekarang."
Darren tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya, "Nindi, lalu kenapa sejak awal kamu mendapatkan bukti itu,
kamu nggak memberi tahu kami?"
"Karena orang yang melakukan itu
berhubungan dengan ayah Sania, bagaimana mungkin aku memberitahu kalian? Saat itu
kalian pasti nggak akan memercayaiku, dan malah akan membuat mereka waspada.
Bagaimana mungkin kita bisa menangkap ayahnya?"
Setelah Nindi berbicara dengan penuh
semangat, Darren akhirnya diam.
Memang, saat itu dia pasti tidak akan
memercayai Nindi.
Darren baru menyadari betapa tidak
percayanya dia pada Nindi.
Padahal Nindi adalah satu-satunya
adik perempuannya.
Witan menggerutu, "Nindi, untuk
apa bicara sebanyak itu? Kalau kamu punya bukti, langsung saja tunjukkan pada
semua orang."
Nindi Lesmana mengeluarkan ponselnya
dan memutar rekaman CCTV.
"Setelah kepala pelayan dikurung
di ruang bawah tanah hari itu, orang ini muncul di vila keluarga Lesmana.
Dialah yang membunuh kepala pelayan tua itu."
Darren melihat orang di layar CCTV
dan bertanya, " Siapa dia sebenarnya?"
"Tentu saja kaki tangan ayah
Sania, siapa lagi? Apa menurutmu dia bisa melakukan semua ini sendirian?
Tentu saja Nindi tidak bisa
mengatakan terlalu banyak, agar tidak mengungkap fakta bahwa ayah Sania tidak
ada di tangannya.
Dia menyimpan ponselnya.
Sania sama sekali tidak melihat
dengan jelas rekaman CCTV di ponsel itu, tapi dia merasa bersalah dan tidak
berani bertanya.
Nindi menatap Darren.
"Sebenarnya, di dalam hatimu juga ada keraguan tentang kematian kepala
pelayan, tapi untuk menghindari masalah ini menjadi besar dan mempengaruhi nama
baik keluarga Lesmana, kamu pura-pura nggak tahu apa-apa dan nggak menyelidikinya
sama sekali dengan benar."
Setelah kedoknya terbongkar, ekspresi
Darren menjadi tidak sedap dipandang.
Dia yang merasa malu berkata dengan
marah, "Apa pantas kamu bicara seperti itu kepada kakakmu? Bukankah ini
semua kulakukan demi nama baik keluarga Lesmana? Apa menurutmu masalah Sania
ini nggak akan mempengaruhi reputasimu juga kalau sampai tersebar?"
Setelah mendengar itu, Nando juga
mengangguk setuju. "Benar, Nindi. Orang lain yang mendengar masalah ini
akan curiga kalau hubungan antara kepala pelayan dan orang-orang di rumah
sangat jelek. Sebagai seorang gadis, apa menurutmu kamu bisa lepas dari masalah
ini?"
Nindi tertawa sangat sinis.
"Demi nama baikku atau demi kepentingan pribadi kalian sendiri? Kalian
tahu betul jawabannya. Jadi, jangan gunakan kata-kata yang mengikat moral
seperti itu."
Nando sebenarnya juga tahu alasan itu
tidak berdasar.
Dia menatap Sania dengan tatapan yang
sangat rumit. "Dulu aku hanya mengira kamu materialistis dan picik, tapi
aku nggak pernah menyangka kamu begitu jahat dan berani membunuh."
"Kak Nando, kenapa kamu juga
salah paham padaku? Semua ini cuma dugaan Nindi. Rekaman CCTV yang dia
keluarkan menunjukkan lokasi di luar vila keluarga Lesmana. Itu sama sekali
nggak bisa membuktikan dia pernah datang ke vila keluarga Lesmana."
Awalnya Sania sangat khawatir dengan
video yang dikeluarkan oleh Nindi, si jalang itu.
Namun, tidak disangka video itu hanya
rekaman jalanan di luar.
Tidak ada satu pun kamera CCTV di
dalam vila keluarga Lesmana. Sejak awal dia sudah mempersiapkan diri dan
menghapus semua rekaman pengawasan. Jadi, pasti tidak akan ada bukti yang
terekam.
No comments: