Bab 766
Nindi mencibir sambil berjalan mendekat.
"Sania menggelapkan uang perusahaan, dan jumlahnya sangat besar,
kemungkinan hukumannya besar sepuluh tahun ke atas. Ditambah lagi dia
melindungi pembunuh, hukumannya akan makin berat, kira-kira total hukumannya
akan lebih dari sepuluh tahun."
Wajah Sania menjadi pucat pasi karena
ketakutan." Kenapa kamu begitu kejam?"
Nindi langsung menamparnya.
"Karena kalian semua bukan orang baik. Kalian membunuh ayah dan ibuku dan
kamu masih bisa hidup enak di keluarga Lesmana selama bertahun-tahun. Memangnya
kamu pikir nggak akan ada harga yang harus dibayar?"
"Tapi bukan aku yang memaksa
untuk tinggal di keluarga Lesmana! Kalian sendiri yang menjemputku ke sini!
Lalu apa hubungannya denganku?"
Sania sangat tidak rela. "Apa
hubungannya semua ini denganku? Aku nggak bersalah!"
"Laporkan saja ke polisi, soal
kamu bersalah atau nggak, nanti polisi yang akan menyelidikinya."
"Jangan lapor polisi!"
Sania menarik Witan sambil menangis
tersedu-sedu.
Witan menatap Nindi. "Sudahlah.
Toh, bukan uangmu yang digelapkan, apa hakmu untuk bicara?"
Nindi mengangguk. "Baiklah, ada
benarnya juga."
Dia duduk di sofa dan tidak berbicara
lagi.
Darren menatap dingin. "Laporkan
saja ke polisi."
"Kak Darren, jangan lapor
polisi."
"Kalau nggak lapor polisi, lalu
siapa yang akan mengganti uang itu?"
Darren bertanya pada Witan. "Aku
lihat kamu sudah gila. Aku nggak akan pernah membiarkan perempuan licik seperti
Sania mendekati keluarga Lesmana lagi."
Dia akhirnya melihat dengan jelas
wajah asli Sania.
Bahkan dia sendiri telah dipermainkan
oleh Sania selama bertahun-tahun lamanya.
"Kak Darren, kamu masih berutang
satu kakiku padaku. Kamu nggak boleh mengirim Sania ke kantor polisi!"
Seolah-olah Witan hanya berpegang
pada satu hal ini, dia berulang kali menggunakannya untuk mengancam Darren.
Sania buru-buru memeluk Witan.
"Kak Witan, kamu satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku sekarang.
Kamu adalah pahlawanku, hiks hiks hiks!"
Hal itu sangat memuaskan bagi ego
Witan. Dia pun mengusap kepala Sania. "Sania, tenang saja. Selama ada aku,
nggak ada yang bisa menyakitimu!"
Nindi benar-benar tidak tahan lagi,
dia langsung mengambil air di atas meja dan menyiramkannya ke Witan.
Witan yang basah kuyup langsung
mencaci maki. " Nindi, kamu sudah gila ya?"
"Menurutku yang gila itu
kamu!"
Nindi memarahi sambil menunjuk Witan.
"Sania adalah putri musuh keluarga kita, tapi kamu masih saja
melindunginya. Apa kamu nggak merasa bersalah sama orang tua kita?"
"Merasa bersalah atau nggak, itu
bukan urusanmu!"
"Oke, kalau kamu mau bersama
Sania, maka keluar dari rumah ini!"
Nindi menunjuk ke arah pintu.
"Sekarang kalian berdua pergi dari sini!"
"Kenapa aku harus pergi? Ini
rumahku!"
"Apa kamu lupa? rumah ini
sekarang milikku."
Tatapan dingin Nindi membuat Witan
sadar akan kenyataan itu. "Tapi kamu pernah bilang nggak akan mengusir
kami!"
"Iya, tapi kamu membela putri
musuhmu. Apa kamu pantas tinggal di sini?"
Begitu Nindi selesai berbicara,
pengurus rumah baru menyuruh orang memindahkan lemari hitam dengan dua bingkai
foto berwarna senada di atasnya.
Itu adalah foto mendiang orang
tuanya.
Setelah melihatnya, kaki Sania
langsung lemas dan dia jatuh ke lantai. Dia tidak berani melihat foto itu.
No comments: