Bab 767
Nindi meminta pengurus rumah untuk
meletakkan foto mendiang orang tuanya di tempat paling mencolok.
"Nindi, apa yang kamu
lakukan?"
Dia menoleh ke arah anggota keluarga
Lesmana." Apa kalian nggak lihat? Aku sedang berdoa untuk orang tua kita.
Sekaligus memberitahu mereka kalau kita sudah dibohongi selama bertahun-tahun,
dan akhirnya mengetahui kebenaran tentang kecelakaan waktu itu."
Ekspresi Nando menunjukkan sedikit
rasa bersalah.
Bahkan Darren menundukkan kepalanya,
tidak berani menatap foto mendiang orang tuanya karena merasa sedikit bersalah
dalam hatinya.
Witan menatap foto hitam putih itu
dan seketika sikap arogannya lenyap.
Ruang tamu kembali sunyi.
Nindi menyalakan lilin di atas meja,
kemudian menatap foto hitam putih orang tuanya yang masih muda. Nadanya menjadi
jauh lebih lembut. "Ayah, Ibu, apa kalian melihat dari surga? Kita
akhirnya nggak dipermainkan oleh orang-orang itu lagi. Kalian tenang saja,
dendam ini pasti akan kita balas.
Setelah berbicara, dia menoleh dan
memandang anggota keluarga Lesmana.
Dia perlahan mulai bicara, "Oke,
sekarang di depan Ayah dan Ibu, mari kita diskusikan bagaimana menangani
masalah Sania. Kak Witan, kamu duluan!
Witan yang tadi bersikap tegas,
sekarang tampak lebih takut.
Bagaimanapun juga, dia tidak berani
berbicara sembarangan di depan mendiang orang tuanya.
Tatapan Nindi menjadi lebih tajam.
"Bicaralah, bukankah tadi kamu sangat pandai bicara?"
Witan menundukkan kepala, tidak
berani menjawab.
Melihat hal itu, Sania segera
menangis pilu sambil menggenggam tangan Witan. "Kak Witan, aku nggak mau
masuk penjara!"
Perkara ini sudah jelas buktinya.
Sania tidak akan bisa mengelak, kecuali keluarga Lesmana tidak menuntut
tanggung jawabnya.
Namun, Nindi, si jalang itu malah
sengaja memajang foto orang mati untuk mengancam keluarga Lesmana.
Benar-benar menjengkelkan!
Witan merasa kesulitan saat melihat
Sania memohon. "Masalahnya itu adalah perilakumu. Bagaimana aku bisa
membantumu? Kamu nggak kasih aku petunjuk yang berguna."
Setelah mendengar kalimat ini, Sania
diam-diam mengertakkan giginya. "Masalahnya aku sudah mengatakan semua
yang aku tahu, sisanya benar -benar nggak tahu. Aku tahu benar-benar salah,
tapi aku juga dipaksa oleh ayahku."
Dia benar-benar tidak berbohong
tentang hal ini.
"Karena kamu nggak berguna, maka
kamu seharusnya pergi ke penjara untuk merenungkan kesalahanmu," balas
Nindi dengan sinis.
Sania menundukkan kepala dan
menangis, tidak menjawab perkataan Nindi.
Witan akhirnya tidak tahan dan
bersuara, "Nindi, apa sebenarnya yang kamu inginkan? Rumah ini jadi kacau
balau gara-gara kamu!"
"Gara-gara aku?"
Nindi langsung mendorong kursi roda Witan
ke depan foto mendiang orang tuanya. Alhasil, Witan hanya memandangnya sekilas
dan langsung ingin mengalihkan pandangannya karena merasa bersalah. Namun,
Nindi langsung menahan Witan untuk tetap berada di depan foto itu.
Dia berkata dengan dingin, "Kak
Witan, katakan sekali lagi di depan Ayah dan Ibu."
Meskipun Witan sangat marah, dia
tidak berani berbicara lagi.
Sania merasa situasinya semakin
buruk, lalu buru-buru menoleh ke arah Darren. "Kak Darren, aku juga sudah
kasih petunjuk. Uang itu pasti sudah dipindahkan oleh Nindi, dia sengaja
kembali melakukan semua ini untuk mengalihkan perhatian semua orang."
Nindi menatap ke arahnya. "Aku
memindahkan uang itu katamu?"
"Benar. Ayahku sudah ada di
tanganmu, pasti kamu juga sudah menemukan uang itu. Apa yang perlu diragukan
lagi? Bagaimanapun juga, kamu selalu berharap proyek Kak Darren gagal, agar
nggak bisa bersaing dengan Perusahaan Patera Akasia milik kalian 'kan?"
Apa yang dikatakan Sania jelas
menyentuh titik rawan dalam hati Darren.
Darren menatap Nindi. "Kamu tahu
betul uang itu sangat penting bagi perusahaan. Apa kamu benar -benar nggak
menemukan uang itu?"
Nindi merasa kalimat yang baru saja
dia dengar itu sangat konyol. Dia bahkan dicurigai telah mengambil uang itu.
Melihat ekspresi kakaknya yang ragu,
dia langsung tahu bahwa Darren memang mencurigainya.
No comments: