Bab 217
Apa?
Sania tiba-tiba mengaku sebagai
mahasiswa Universitas Yasawirya?
Nindi tertawa mengejek. "Sania,
apa kamu waktu itu kepalanya terbentur terlalu keras? Nilai ujianmu nol, masih
berani mimpi masuk universitas terbaik di negara ini?"
"Ck, ck. Aku sudah tahu kamu
pasti nggak percaya. Universitas Yasawirya punya Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Syarat masuknya bukan nilai ujian, Kak Darren yang membantuku masuk lewat
koneksi. Bagaimana? Iri, 'kan?"
Sania, yang masih marah dengan
insiden rekaman CCTV waktu itu, menemukan kesempatan melampiaskannya.
Untung saja, dia sukses menciptakan
citra sebagai korban yang pemaaf, membuat Darren iba hingga membantunya bisa
diterima di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Yasawirya.
Nindi mulai memahami situasinya.
Dengan nada sinis, dia membalas,
"Oh, aku mengerti. Yang kamu sebut Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu pasti
cuma fakultas abal-abal yang hanya pakai nama Universitas Yasawirya."
Kalau tidak, bagaimana mungkin Sania
bisa masuk ke Universitas Yasawirya dengan nilai nol?
Sekalipun kakaknya punya koneksi, mustahil
sampai sehebat itu!
Wajah Sania langsung kebiruan karena
marah, tetapi dia tidak tahu bagaimana dia harus membantah. Lagi pula, dia
sendiri tidak terlalu percaya diri.
"Dari mana datangnya orang
kampung ini, berani sekali menyebut Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Yasawirya fakultas abal-abal!"
Nindi mencium bau parfum yang
menyengat. Dia melihat seorang gadis memakai pakaian bermerek -dari ujung
kepala hingga kaki, wajahnya terlihat seperti hasil operasi plastik, terlihat
berjalan mendekat.
Gadis itu menatap Nindi dari atas ke
bawah dengan arogan. "Dasar orang kampung. Kalau nggak tahu apa-apa,
jangan permalukan diri di sini. Kamu, yang cuma bisa masuk Universitas
Yasawirya karena nilai ujian, hanya akan menjadi pekerja seumur hidup."
"Kami, dari Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, jelas dipersiapkan menjadi pewaris kekayaan. Masa depanmu akan
bergantung pada kami!"
Nindi belum pernah mendengar ucapan
seangkuh ini!
Apakah semua orang kaya di Kota
Yunaria pamer kekayaan dengan cara sekasar ini?
Nindi tersadar, orang-orang di
sekitar menundukkan kepala mereka tanpa berani berbicara.
Jelas, para siswa dari Fakultas
Ekonomi dan Bisnis ini bukan orang yang mudah diajak berurusan.
Sania segera mengenali gadis itu.
Namanya Serena, putri keluarga Morris.
Lagi pula, siswa baru dari Fakultas
Ekonomi dan Bisnis itu hanya belasan orang dan Sania sudah mempelajari latar
belakang mereka sebelumnya.
Sania langsung menoleh ke arah Nindi
dan berkata, " Ada baiknya kamu langsung minta maaf. Jangan sampai membuat
dirimu kelihatan lebih memalukan."
Nindi tampak memasang ekspresi dingin
ketika menanggapi, "Aku nggak salah bicara."
"Berani sekali bilang nggak
salah!" kata Serena mengancam. "Orang kampung, kalau kamu nggak sujud
dan minta maaf padaku hari ini, kupastikan empat tahun kehidupan universitasmu
akan penuh penderitaan!"
Nindi sudah pernah mati satu kali,
apakah dia masih takut dengan ancaman semacam ini?
Dia mengambil dokumen pendaftaran di
meja, menyeret koper, dan pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Dia sama sekali tidak menggubris
Serena.
Serena, yang biasanya dimanja dan
selalu diutamakan, belum pernah mengalami penghinaan seperti ini. Dia berbalik
menatap Sania dan bertanya, "Siapa namanya?"
"Namanya Nindi. Dulu, kami teman
sekelas, tapi waktu SMA, reputasinya sudah jelek. Dia pernah kabur dari rumah
dan tinggal bersama dokter sekolah karena cinta monyet!"
"Ck, ck. Berani sekali gadis
sialan itu melawanku! Nindi, kamu pasti mati!"
Serena rasa, dia telah menerima
penghinaan besar.
Lagi pula, kakak perempuannya adalah
tunangan Putra Mahkota, keluarga terkaya di Kota Yunaria. Siapa yang tidak
menghormati keluarganya? 2
Berani-beraninya seorang gadis
kampung dari daerah meremehkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini?
Sania menatap punggung Nindi dengan
ekspresi puas.
Hari pertama kuliah saja, Nindi sudah
menyinggung seorang putri keluarga kaya. Kehidupannya pasti akan penuh masalah
di masa depan.
Akhirnya, Nindi menemukan asramanya,
lalu masuk ke sana.
Dia membuka pintu dan melihat itu
adalah kamar asrama dengan ranjang tingkat dan meja belajar di bawah.
Dia memilih sebuah ranjang, mulai
merapikan barang-barangnya..
Tidak lama kemudian, dua mahasiswa
lainnya tiba bersama orang tua mereka, membawa banyak barang bawaan.
Nindi, yang datang seorang diri
dengan barang yang sangat sedikit, terlihat cukup mencolok.
Salah satu orang tua bertanya kepada
Nindi. "Nak, kamu datang sendiri? Orang tuamu nggak ikut datang di hari
sepenting ini?"
Nindi begitu tenang saat menjawab,
"Orang tuaku meninggal dunia dalam kecelakaan mobil sejak lama."
No comments: