Bab 221
Suasana di asrama menjadi tegang
ketika Nindi berdiri.
Jihan tercengang. "Kamu, kamu
mau ngapain? Aku nggak salah omong, kok! Beraninya mahasiswa miskin kayak kamu
membuat para anak konglomerat itu marah?"
Galuh segera berusaha meredakan
suasana. "Kita semua teman sekelas, juga teman sekamar, jangan bikin
suasana jadi tegang kayak gini, dong!"
"Hm, Nona Serena bilang, kalau
kita berdua terlalu dekat dengan Nindi di asrama, dia nggak bakal membiarkan
kita begitu saja."
Jihan dengan canggung membawa
perlengkapan mandi ke balkon.
Setelah itu, Nindi pun duduk. Dia
menyusun bukunya dengan rapi. Di kehidupan sebelumnya, dia juga belajar
komputer.
Pelajaran dasar seperti ini
sebenarnya tidak sulit baginya.
Keesokan harinya, Nindi pergi ke
kelas sendirian sembari membawa bukunya.
Sepanjang perjalanan, Nindi merasa ada
beberapa orang yang memperhatikannya sambil membicarakan sesuatu.
Nindi juga tidak terlalu peduli. Lagi
pula di kehidupan sebelumnya, dia sudah sering dikucilkan karena Sania!
Begitu sampai di depan pintu kelas,
Nindi merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Dia menengadah dan melihat pintu
kelas yang sedikit terbuka, lalu menendangnya hingga terbuka.
Kemudian, sebuah ember terjatuh dari
atas pintu.
Nindi dengan gesit menghindar, tetapi
malang sekali orang-orang yang menonton di dalam kelas, air dari ember tersebut
memercik ke mana-mana.
Suara teriakan terdengar dari dalarn
kelas.
"Aduh, air kotornya mengenai
bajuku!"
"Sialan, aku baru saja membeli
rok edisi terbatas ini!
Nindi berjalan masuk ke kelas dengan
santai. Dia tersenyum sinis tatkala melihat Serena dan Sania dalam keadaan yang
berantakan.
Tindakan orang-orang ini memang
sangat kekanak-kanakan!
Pasti ide Sania, si perempuan licik
ini!
Serena tidak terima dan langsung
marah, "Hei, orang kampung! Baju kami kotor gara-gara kamu. Siap-siap ganti
rugi!"
"Orang kampung, kalau nggak
punya uang, kamu bisa bekerja untuk kami buat bayar utang!"
Nindi menatap mereka dengan tajam.
"Nggak punya uang dan nggak mau ganti rugi. Kalau nggak terima, gugat saja
aku."
Apa mereka pikir bahwa Nindi takut?
Bagaimanapun juga, dulunya Nindi
adalah seorang Nona Besar yang hidup dalam kemewahan, jadi dia sangat paham
dengan trik-trik kecil seperti ini.
Dia tidak mungkin takut hanya karena
omongan orang-orang ini!
Serena mengentakkan kakinya karena
marah. "Oke, tunggu saja!"
Awalnya, Serena hanya datang untuk
menonton pertunjukan bagus. Akan tetapi, dia tidak menyangka akan gagal dan
malah terkena percikan air kotor, sungguh menjijikkan!
Sania tidak peduli dengan apa pun,
langsung mengejar Serena keluar dari kelas. "Serena, aku nggak sangka
kalau Nindi menyadarinya."
Serena berbalik dan menampar Sania.
"Ini semua gara-gara ide bodohmu. Lihatlah kita jadi apa sekarang?"
"Pantasan saja berasal dari
tempat yang sama dengan orang kampung, sama-sama bodoh!"
Sania langsung menutupi wajahnya,
matanya seketika berubah merah.
Serena pergi dengan marah. Sementara
yang lainnya tidak peduli dengan Sania dan mengikuti Serena.
Sania terpaku, dia merasa sangat
tertekan.
Pada saat bisa mengukuhkan posisinya
di lingkaran ini, dia pasti akan membalas penghinaan yang diterimanya hari ini
sepuluh kali lipat!
"Eh, kayaknya jadi antek orang
lain juga nggak bakal bikin nasibmu lebih baik, ya."
Nindi berdiri di pintu, dengan kedua
tangannya disilangkan di dada.
Melihat Sania yang ditampar dan hanya
pasrah seperti seekor burung puyuh, membuat Nindi melihatnya dengan penuh
ejekan.
Sania menurunkan tangannya dengan
marah saat menyadari Nindi melihat kejadian itu. "Kamu beruntung kali
ini!"
"Ckckck, seterusnya aku bakal
selalu beruntung. Sedangkan kamu, nggak tahu deh bakal beruntung atau
nggak."
"Hm, Kak Darren bakal
membantuku. Kelak, aku pasti bakal hidup lebih baik darimu, juga menikah sama
orang yang lebih baik. Kamu sih, cuma bisa bersama dokter sekolah yang miskin
itu seumur hidup. Selamanya menjadi orang biasa yang rendah! 11
Sania juga sedang merasa sangat
kesal. Hanya dengan mengganggu Nindi, dia baru merasa agak dihargai!
Melihat perempuan licik itu dalam
keadaan yang berantakan, suasana hati Nindi akhirnya menjadi jauh lebih baik.
Meskipun Sania mencoba menyenangkan
para anak konglomerat itu, kelihatannya hidupnya juga tidak mudah.
Nindi kembali ke kelas. Tak lama
kemudian, seorang petugas kebersihan datang untuk membersihkan air kotor
tersebut, sampai tampak seperti tidak ada yang terjadi.
Nindi masuk untuk memilih tempat
duduk. Jelas -jelas masih ada beberapa kursi kosong, tetapi semuanya sudah
ditempati oleh orang lain.
"Maaf, tempat ini sudah ada yang
duduk."
Nindi tahu bahwa dia sedang
dikucilkan.
No comments: