Bab 737
Nindi mengambil sarung tangan untuk
perawatan kecantikan di sampingnya, bersiap untuk mengambil ponsel Sania.
Sania panik dan berkali-kali menekan
tombol flush. Dia tidak boleh membiarkan Nindi mendapatkan ponsel itu.
Namun, Nindi malah tertawa, lalu
berdiri dan melemparkan sarung tangan itu ke wajah Sania.
Sania menjerit dan mundur, buru-buru
pergi mencuci wajahnya.
Nindi menoleh dan melirik Darren dan
Nando di luar. "Kalian lihat sendiri, 'kan? Selama ini dia menggunakan
ponsel jadul itu untuk menghubungi ayahnya yang sudah meninggal."
"Nggak, aku nggak begitu."
Sania buru-buru menjelaskan.
Darren menatap Sania. "Kalau
kamu benar-benar nggak merasa bersalah, kenapa kamu buru-buru membuang ponsel
itu ke toilet?"
Sania menjawab dengan gagap,
"A...aku cuma kaget.
Tatapan Nando penuh keraguan.
"Apa kamu pikir kami akan percaya omonganmu?"
Sania hanya bisa menatap Darren.
"Kak Darren, kamu pasti percaya padaku 'kan? Aku sudah melakukan banyak
hal untuk keluarga Lesmana, tapi Nindi nggak melakukan apa pun!"
Darren menatapnya dengan dingin.
"Sekarang aku juga nggak tahu mana ucapanmu yang bisa dipercaya dan mana
yang cuma bohong."
Dia melihat dengan jelas bagaimana
Sania berpaling dan tidak mengakui siapa pun tadi.
Selama ini, Sania hanya berpura-pura
saja.
Bahkan dia pun tertipu oleh Sania.
Cara Sanía panik menghancurkan
ponselnya tadi jelas-jelas menunjukkan bahwa dia menyembunyikan sesuatu.
Wajah Sania langsung pucat. "Kak
Darren, ayahku sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Bukankah waktu itu kamu
sendiri yang memastikan kematiannya? Apa karena cuma satu ucapan Nindi, kamu
langsung curiga sama aku?"
"Awalnya aku nggak percaya
ucapanmu, tapi sekarang kenapa aku harus percaya padamu?"
Pria paruh baya di foto yang Nindi
tunjukkan tadi adalah sopir keluarganya. Darren tidak akan salah mengenalinya.
Jika ayah Sania masih hidup, apakah
kecelakaan mobil tahun itu benar-benar sebuah kecelakaan?
Darren merasa sangat tersiksa. Dia
ingin mencari kebenaran, tetapi di saat yang bersamaan dia takut akan kebenaran
itu.
Karena dia menyadari bahwa
kebenarannya mungkin bukan sesuatu yang bisa dia tanggung.
Sania terpojok sendirian di kamar
mandi tanpa bisa melarikan diri, dia menatap keluarga Lesmana di depannya, dan
tiba-tiba dia tertawa.
Darren merasa agak kesal. "Apa
yang kamu tertawakan?"
"Apa kalian punya bukti untuk
semua yang kalian katakan ini? Dulu aku cuma seorang anak yatim piatu dan nggak
tahu apa-apa. Kalau kalian benar-benar curiga ayahku masih hidup, tangkap saja
dia kalau begitu."
Sania merasa ayahnya sudah
bersembunyi selama ini tanpa masalah, pasti tidak akan mudah ditemukan.
Dia mulai tenang. Selama dia tidak
mengaku, keluarga Lesmana tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Sania menatap Darren. "Dulu kamu
yang membawaku kembali ke keluarga Lesmana, bukan aku yang memaksa untuk tetap
tinggal di keluarga Lesmana. Dalam ingatanku, aku hanyalah seorang anak yatim
piatu dan ayahku sudah meninggal."
Darren merasa dadanya sesak karena
marah. "Apa kamu benar-benar berpikir seperti itu? Aku yang
menyelamatkanmu dari daerah kumuh dan membesarkanmu seperti anak orang kaya.
Apa kamu nggak sedikit pun merasa berterima kasih?"
"Aku berterima kasih, tapi
selama bertahun-tahun aku sudah sangat baik pada kalian, selalu berusaha
menyenangkan kalian, dan melakukan banyak hal. Aku juga nggak berutang apa pun
pada kalian. Lagi pula, kalau ayahku nggak meninggal, aku juga nggak akan jadi
yatim piatu."
Sania menatap Darren. "Kalau
bukan karena ayahku yang mengemudi untuk kalian dan mengalami kecelakaan mobil,
dia nggak akan meninggal, dan aku juga nggak akan menjadi anak yatim piatu. Aku
nggak akan merasa rendah diri dan berhati-hati di keluarga Lesmana selama
bertahun-tahun, selalu takut melakukan kesalahan dan diusir. Apa kamu pikir
kehidupan seperti ini menyenangkan?"
"Sania, kamu benar-benar nggak
tahu diri!"
Darren belum pernah merasa semarah
ini. Ternyata, Sania lah yang selama ini jadi serigala berbulu domba.
Dia benar-benar tak menyangka Sania
menyimpan pikiran seperti itu.
Nindi yang berada di samping terlihat
menikmati pertunjukan. "Wah, seru sekali."
Dia sudah lama menunggu hari ini,
hari di mana si wanita licik itu akhirnya menunjukkan wajah aslinya dan berani
melawan keluarga Lesmana secara terang-terangan.
Nindi menatap Darren yang wajahnya
seperti pelangi karena marah, dengan tatapan penuh sindiran.
Darren pun merasa terpancing. Dia
menatap Sania dan berkata, "Sebelum uang itu kembali, kamu tetap di rumah
dan nggak boleh pergi ke mana pun. Kamu juga nggak boleh menelepon atau
menghubungi orang di luar."
Terlepas dari apakah ayah Sania
benar-benar masih hidup atau tidak, uang itu harus kembali terlebih dahulu.
Darren sekarang sangat menyesal telah
mempercayai perkataan Sania.
Sania pun mulai marah. "Kenapa
kamu membatasi kebebasanku? Ini melanggar hukum."
"Sebelum semuanya diselidiki
dengan jelas, kamu nggak boleh pergi. Sekarang aku yang memutuskan.
No comments: