Bab 736
"Kamu bilang ayahku yang
menyebabkan kematian orang tuamu? Apa kamu punya buktinya? Ayahku jelas sudah
meninggal, ini cuma fitnah buatanmu."
Saat ini Sania sama sekali tidak bisa
mengakui bahwa ayahnya masih hidup.
Kalau tidak, bisa-bisa keluarga
Lesmana akan membunuhnya.
Nindi pun menatap ke arahnya.
"Buktinya akan segera ada. Apa kamu pikir uangmu ditransfer begitu saja
tanpa meninggalkan jejak?"
Raut wajah Sania langsung berubah
drastis, dia mundur beberapa langkah dengan panik. "Kamu ngomong apa sih,
aku nggak ngerti. Aku sudah transfer uang itu ke penanggung jawab PZ Grup, kok.
11
"Jangan buru-buru begitu,
hasilnya akan segera keluar."
Tatapan mata Nindi penuh keyakinan.
Sania makin panik dan buru-buru
berkata, "A-aku akan kembali ke kamar untuk ganti baju dulu."
"Berhenti."
Nindi langsung merebut ponsel
Sania."Kamu diam-diam mau meneleponnya, 'kan?"
"Apa yang kamu bicarakan? Nggak
kok."
Sania kelihatan sangat gugup.
"Kalau kamu curiga, ambil saja ponselnya. Aku ke atas dulu buat ganti
baju."
Lagi pula, bukan ponsel itu yang dia
pakai untuk menghubungi ayahnya.
Sania membawa gaun pengantinnya dan
kembali ke vila dengan langkah yang terburu-buru.
Darren menatap Nindi dengan curiga.
"Apa kamu benar-benar melihat kalau ayah Sania masih hidup?
"Aku lihat dengan mata kepala
sendiri. Nih, fotonya. 11
Nindi mengeluarkan ponselnya dan
menunjukkan foto itu ke Darren.
Begitu melihat siapa pria di foto
itu, Darren terkejut sampai tidak bisa berdiri tegak. "Nggak mungkin, dia
seharusnya sudah mati. Bagaimana mungkin dia masih hidup?"
Jika ayah Sania masih hidup,
bagaimana sebenarnya kecelakaan itu terjadi?
Berarti selama ini dia membesarkan
anak dari musuhnya di rumah keluarga Lesmana?
Nindi menatap Darren. "Aku sudah
bilang kalau kamu akan menyesal."
Darren mundur beberapa langkah. Dia
tak lagi sombong seperti sebelumnya, sekarang dia terlihat sangat kacau.
Nando maju dan menghadang Nindi.
"Jadi ini informasi yang kamu dapat? Kenapa nggak kamu bilang dari
awal?"
Jika ayah Sania masih hidup, berarti
ada yang tidak beres dengan kecelakaan waktu itu.
Apa itu bukan kecelakaan, tapi
pembunuhan yang direncanakan?
Nindi menoleh ke Nando, tatapannya
sangat dingin. "Kalau kalian ingin tahu jawabannya, sekarang pergi dan
lihat apa yang sedang Sania lakukan."
Dia langsung naik ke lantai dua,
menendang pintu kamar Sania yang dikunci dari dalam, lalu bergegas ke kamar
mandi.
Sania sedang memegang sebuah ponsel
model lama dengan tombol fisik.
Nindi berdiri di depan pintu kamar
mandi dan melirik ponsel itu. "Kamu mau menelepon siapa?"
"A-aku nggak telepon
siapa-siapa."
Belum sempat selesai bicara, ponsel
di tangan Sania malah berdering.
Senyum di wajah Nindi makin lebar.
"Sepertinya ayahmu meneleponmu. Berikan teleponnya padaku! 11
Sania sangat tegang. Ketika dia
melihat Darren dan Nando di luar, dia langsung melemparkan ponsel itu ke
toilet, lalu berpura-pura panik dan menekan tombol siram.
Ponsel model lama itu ukurannya
kecil, jadi langsung tersedot air.
Sania menghela napas lega melihat
ponsel itu hilang, lalu bergumam sambil tergagap, "A...aku cuma punya
ponsel cadangan, tadi aku mau telepon penanggung jawab PZ Grup agar
mengembalikan uangnya secepat mungkin."
Namun, suara dering ponsel masih
terdengar, dan itu berasal dari dalam toilet.
Nindi perlahan berjalan mendekat dan
melihat ke dalam toilet, ponsel itu belum sepenuhnya hanyut.
Jantung Sania langsung mencelos.
Celaka!
Jika telepon itu jatuh ke tangan
keluarga Lesmana, semuanya tidak akan bisa disembunyikan lagi.
No comments: