Bab 746
Menurutnya, Nindi pasti tak makan apa
pun saat resepsi pernikahan.
Nindi menggeleng, "Nggak
lapar."
Dia bahkan sudah makan kenyang
sebelum acara dimulai.
Cakra menepuk pelan punggungnya,
"Nindi, jangan terlalu memikirkannya,"
"Aku tahu, kamu nggak perlu
menghiburku, aku cuma mau tenang."
Dia mengerti semua nasihat itu,
tetapi dia butuh waktu untuk menata ulang perasaannya.
Kata-kata yang sudah sampai di ujung
lidah Cakra pun akhirnya urung terucap.
Dia mendekap Nindi sambil memandangi
malam di luar jendela. Kerlap-kerlip cahaya dari rumah-rumah orang lain
terpantul di matanya.
Namun, kini dia telah memiliki salah
satu dari cahaya itu.
Cakra terus memeluknya, lalu menunduk
melihat wajah letihnya dan berbisik, "Istirahatlah."
Dia langsung menggendong Nindi dan
membawanya kembali ke kamar.
Nindi duduk di tepi ranjang,
"Aku mau mandi dulu."
"Iya."
Seusai mandi dan berganti baju tidur,
dia melihat pria itu berdiri di tepi jendela. Sosoknya tampak tegap dan tinggi.
Nindi pun mendekatinya, "Terima
kasih sudah selalu ada buatku."
"Nggak perlu berterima kasih,
karena aku memang akan selalu ada di sampingmu."
Suaranya tenang, tetapi hati Nindi
justru dilanda gelombang besar.
Dia mengusap kepala Nindi,
"Tidurlah dulu. Jangan pikirkan apa-apa."
Cakra menggandeng tangannya,
memastikan dia berbaring nyaman, lalu menyelimutinya.
Nindi menatapnya penuh harap, tak
tahan untuk tidak menarik jemari tangannya, "Kamu bisa temani aku nggak
malam ini?"
Dia tidak ingin sendirian malam ini.
Hati Cakra langsung meleleh. Dia pun
mengangguk kecil, "Iya."
Dia duduk di sisi ranjang sambil menggenggam
tangan Nindi.
Nindi sempat berpikir, lalu
membenamkan separuh wajahnya di balik selimut, "Kamu bisa berbaring di
sebelahku, daripada nanti punggungmu pegal."
"Aku akan berbaring setelah kamu
tidur."
Cakra menyentuh kelopak matanya,
"Sekarang mulailah tidur."
Pandangan Nindi menggelap, tetapi
anehnya dia tak merasa takut sedikit pun.
Dia menggenggam tangan pria itu,
"Tunggu sampai aku benar-benar tertidur, baru pergilah."
"Aku nggak akan pergi."
Cakra menatapnya dalam-dalam,
"Aku akan selalu ada buat kamu."
Hingga selamanya!
Nindi mengira dirinya akan bermimpi
malam itu. Akan tetapi, ternyata, tidak. Bahkan bayangan kecelakaan yang pernah
terjadi dulu pun tak muncul dalam tidurnya.
Dia sungguh ingin tahu, apa yang
sebenarnya terjadi saat kecelakaan tahun itu.
Sayangnya, ingatannya masih kosong.
Yang dia ingat hanya sepasang tangan yang menyelamatkannya... tangan itu milik
sosok pria yang masih muda, jelas bukan milik pria paruh baya.
Jadi, waktu itu pasti ada orang lain
juga di lokasi kejadian.
Saat Nindi terbangun, dia menoleh dan
melihat pria itu masih terbaring di sebelahnya, wajahnya tampak tegang, seolah
sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting.
Dia tak tahan untuk tidak mengulurkan
tangan, mengusap wajah pria itu. Wajah itu benar-benar tampan dari sudut mana
pun.
Tiba-tiba, pria itu membuka mata dan
menggenggam tangannya, lalu kemudian bangkit untuk mendekatinya.
Nindi pun langsung terjaga
sepenuhnya.
Dia memandangi langit-langit kamar
yang familiar, lalu menoleh ke sebelah. Cakra sudah tidak ada di sana.
Apa itu tadi hanya mimpi?
Dia memeriksa ponselnya. Ada pesan
dari Cakra, ' Makanannya ada di meja. Jangan terlalu cemas.'
Setelah selesai bersiap, Nindi duduk
di meja makan. Di sana sudah tersaji semua makanan kesukaannya.
Tepat saat itu juga ponselnya
berdering. Panggilan dari nomor tak dikenal.
Nindi sempat berpikir sejenak, lalu
mengangkatnya. Benar saja, terdengar suara kakaknya, Nando, " Nindi,
bagaimana hasil penyelidikan semalam? Apa kita bisa bertemu dan bicara?"
Dengan sinisnya, dia pun menjawab,
"Apa hak kalian buat bicara denganku."
"Kalau nyawa Sania jadi
taruhannya, apa kamu bakal merasa lebih baik?"
No comments: