Bab 747
Mendengar ucapan sang kakak yang
penuh geram, membuat sudut bibir Nindi terangkat dingin, " Kenpa baru
merasa kehilangan sekarang? Bukankah kalian dulunya mati-matian melindungi
Sania?"
Darren hampir kehabisan napas karena
amarah.
Dia masih terbaring di rumah sakit.
Sejak sadar semalam, dia sama sekali tidak bisa memejamkan mata.
Uang yang sempat dipindahkan Sania
pun hilang tanpa jejak. Tak ada satu pun petunjuk yang bisa mereka temukan.
Nando pun tampak kewalahan,
"Nindi, sekarang bukan waktunya menyimpan dendam. Kita harus bersatu dan
menyelidiki kecelakaan itu. Kita harus menangkap orang yang menyebabkan
kematian ayah dan ibu."
"Sekarang semuanya sudah
telanjur. Keluarga Morris pasti sudah dengar kabar itu. Jadi, apa untungnya aku
bersatu dengan kalian?"
Nindi melirik sekilas ke ponselnya,
"Jangan coba -coba bicara soal Sania buat menyentuh hatiku. Aku nggak
peduli dengan nyawanya. Justru aku mau dia mati saja."
"Nindi, bukan begitu maksud
Kakak. Sania ada di tangan kita, itu bisa jadi keuntungan. Dia pasti tahu
sesuatu tentang ayah kandungnya. Bukankah lebih baik kita bekerja sama agar
bisa menemukan kebenaran secepat mungkin?"
Nando juga nyaris tidak tidur
semalaman.
Dia pun kesulitan menerima kenyataan
bahwa ayah Sania ternyata masih hidup.
"Nggak."
Nindi langsung menolak dengan sinis.
Darren mulai kehilangan kesabaran,
"Nindi, kamu tahu kan kalau bekerja sama denganku adalah cara tercepat?
Kenapa kamu tetap menolak?"
"Sederhana saja."
Nindi berkata tenang, tetapi tajam,
"Sekarang, setelah kalian tahu ayah Sania masih hidup, kalian merasa
setiap detik adalah siksaan, 'kan? Pasti akan menghantui kalian sampai
sesak."
Nando dan Darren saling berpandangan,
lalu menunduk dalam diam.
Semalam memang benar-benar menyiksa.
Rasa sesal bahkan terus menggerogoti hati mereka.
Suara Nando terdengar serak,
"Nindi, sejak tahu kebenarannya, kami sudah mulai menerima hukuman
itu."
Kadang, hidup pun bisa menjadi bentuk
hukuman.
Nindi berkata dengan tenang,
"Aku tahu dan inilah tujuanku, melihat kalian tersiksa sampai dihantui
rasa bersakah seumur hidup."
Darren kehilangan kendali,
"Nindi, apa yang sebenarnya kamu mau dariku? Aku juga nggak tahu kalau
semuanya akan seperti ini. Aku nggak berniat menyakitimu. Tapi aku juga sudah
menebusnya sekarang!"
"Ini baru permulaan saja."
Nada bicara Nindi tetap ketus,
"Kalian selalu mengulang kalimat kalau aku berutang nyawa pada Sania
selama bertahun-tahun. Kalian terus menyalahkanku. Sekarang, kalian baru mulai
merasakannya, jadi itu belum seberapa."
Nando yang mendengar ucapan itu
langsung menutupi wajahnya dengan kesakitan, "Berhenti ... jangan
lanjutkan lagi."
Dia benar-benar mulai tak sanggup
menghadapi kenyataan.
Memang benar, selama ini mereka terus
menyalahkan Nindi atas kematian orang tua mereka.
Mereka memang tak bisa tidur
semalaman, tetapi Nindi telah bertahun-tahun hidup di bawah beban itu
sendirian.
Nando akhirnya tersedu-sedu,
"Ini semua salah Kakak. Aku seharusnya nggak bilang begitu padamu.
Darren tampak tercengang. Dia bahkan
tak sanggup menjawab sepatah kata pun.
Matanya diliputi kegelisahan. Karena
selama ini dia pun melakukan hal yang sama.
Baru sekarang dia menyadari, dirinya
telah menghancurkan adiknya sendiri selama bertahun -tahun!
Nindi menatap ponselnya, "Kenapa
malah diam saja?"
Suaranya terdengar begitu sinis.
Sambungan telepon kemudian langsung
terputus.
Tangan Nando gemetar hebat, lalu dia
melempar ponselnya jauh-jauh.
Dia pun tertawa getir sambil
menangis, "Kak ... kenapa dulu kamu bawa Sania ke rumah kita? Kalau kamu
nggak bawa dia, Nindi nggak akan menderita begini. Semua ini juga nggak akan
terjadi, 'kan?"
Mereka pun tak akan terjebak dalam
kekacauan seperti sekarang.
Darren memegangi kepalanya,
"Cukup, jangan dilanjutkan."
"Kenapa nggak boleh? Kak,
sekarang kamu menyesal, ya? Bukankah aku sudah berkali-kali bilang agar nggak
memperlakukan Nindi seperti itu. Dia adik kandung kita. Tapi apa yang kamu
lakukan? 11
Nando benar-benar mengamuk,
"Kalau dari dulu kamu mau mendengarkanku, mungkin Nindi nggak akan
membenci kita sebegini dalamnya. Kita bertiga nggak akan sampai sejauh ini dan
harus saling menghancurkan!"
No comments: