Bab 234
Setelah menutup telepon, Thomas
menggelengkan kepalanya beberapa kali.
'Tenanglah. Di saat seperti ini, aku
harus tenang.'
"Eh, Thomas, apa yang telah
terjadi? Wajahmu tampak pucat," tanya Bima sambil tersenyum.
Saat ini, Thomas beserta anggota
Keluarga Halim lainnya sedang mengunjungi wilayahnya.
Thomas berusaha menahan emosi dan
juga ketidakpercayaannya, lalu berkata sambil memaksakan sebuah senyuman,
"Terjadi sedikit masalah, tapi nggak apa-apa. Hanya masalah kecil."
"Tuan Bima, mari kita lanjut
bahas pembicaraan kita barusan."
Bima tersenyum dan berkata,
"Baguslah kalau nggak apa apa. Tapi Thomas, permintaanmu barusan agak
sulit untuk aku terima."
Thomas mengerutkan kening dan
berkata, "Tuan Bima, kamu adalah orang paling kaya di Beluno. Apalagi Grup
Nugroho yang kamu miliki itu mengendalikan banyak dana besar di Beluno."
"Kamu juga tahu, yang paling
dibutuhkan Keluarga Halim saat ini adalah uang. Kamu hanya perlu mengulurkan
tangan untuk membantu kami. Saat Keluarga Halim bangkit kembali, kami pasti
akan membalas budi sepuluh kali lipat."
Bima berkata dengan nada datar,
"Perusahaanku memang punya banyak uang cadangan."
"Tapi maaf, meski uang ini bisa
dipinjamkan pada Keluarga Suteja, Keluarga Wijaya, ataupun keluarga lainnya,
kami nggak bisa meminjamkannya pada Keluarga Halim kalian."
Thomas tampak geram dan berkata
dengan marah, " Tuan Bima, apa maksudmu? Apa kamu menargetkan Keluarga
Halim kami?"
Bima menyesap tehnya dan berkata
dengan nada datar, " Benar, aku memang menargetkan Keluarga Halim kalian.
Thomas bertambah emosi. Dia tidak menyangka
Bima akan begitu terang-terangan.
"Bima, jangan terlalu sombong.
Meski Keluarga Halim sedang mengalami krisis keuangan, kekuatan militer kami
nggak kalah darimu."
Untuk menutupi rasa malunya, Thomas
pun mengancam dengan kejam.
Bima mendengus dingin. "Thomas,
silakan saja kalau kamu ingin bertindak. Aku sama sekali nggak takut sama
Keluarga Halim."
Sikap Bima yang begitu keras kepala
itu membuat Thomas benar-benar kehabisan akal.
Keluarga Halim kini berada pada momen
kritis di mana terjadinya pergantian kepala keluarga.
Bukanlah langkah yang bijaksana untuk
bermusuhan dengan Bima, orang paling kaya di Beluno ini.
Thomas menahan emosinya dan bertanya
sambil menggertakkan giginya, "Baiklah. Kamu boleh nggak meminjamkan uang
pada Keluarga Halim, tapi aku ingin tahu alasannya. Mengapa?"
Dia tidak mengerti alasan Bima
tiba-tiba begitu memusuhi Keluarga Halim.
Bima mendengus dingin. "Mengapa?
Lebih baik kamu kembali dan tanyakan hal ini pada putra kesayanganmu."
Thomas tampak bingung. "Edward
kenapa? Apa dia sudah membuatmu tersinggung?"
"Kalau putramu menyinggungku,
memandang dari wajahmu sebagai kepala Keluarga Halim, aku mungkin masih bisa
menoleransinya," kata Bima dengan dingin.
"Tapi dia menyinggung orang lain.
Oleh karena itu, aku harus menyingkirkan seluruh Keluarga Halim."
Thomas berteriak, "Bima, jangan
membual lagi di sini. Siapa orang yang kamu sebut barusan? Siapa orang itu?
Kalau kamu punya nyali, panggil dia keluar. Aku ingin lihat kemampuan seperti
apa yang dia miliki sampai berani berselisih dengan Keluarga Halim?"
Tepat di saat ini, terdengar sebuah
nada datar. "Pak Thomas begitu menakutkan. Apa Keluarga Halim kalian
begitu hebat di Beluno ini? Sampai-sampai nggak ada orang yang berani memprovokasimu?"
Mengikuti sumber suara itu, Thomas
langsung berbalik. Matanya langsung terbelalak. "Kamu!"
Yang datang bukanlah orang lain,
tetapi Nathan.
Dia bahkan tidak memandang sedikit
pun para master Keluarga Halim yang tengah menatapnya dengan tajam.
Sebaliknya, dia mencari sebuah kursi
kosong dan duduk.
Sikap santai itu membuat kelopak mata
Thomas berkedut. Dia sedikit panik.
Selain orang-orang dari Keluarga
Halim, masih ada juga beberapa tokoh penting yang berada di aula tersebut.
Namun, bocah bernama Nathan ini
bahkan tidak menyapa Bima dan langsung duduk dengan santai.
Bukan hanya itu saja, tetapi
tokoh-tokoh penting yang berada di samping Bima juga tidak mengatakan sepatah
kata pun.
No comments: