Bab 212
Karena sekarang Kak Darren membawa si
"gadis licik "ke rumah sakit, tidak ada orang di sisi Putra Mahkota,
dong?
Artinya, dia bisa memanfaatkan
kesempatan ini!
Saat itu, Nindi mengintip ke luar
dengan hati-hati. Dia mendengar suara Cakra yang berkata, "Kamu lagi lihat
apa?"
"Diam! Jangan berisik."
Nindi refleks menarik tangan Cakra,
berhati-hati saat sembunyi di belakang vas bunga.
Cakra berdiri dengan patuh di
sampingnya, memberi isyarat kepada pengawal tersembunyinya agar tidak
bertindak.
Nindi perlahan bicara, "Kamu
nggak tahu kalau Putra Mahkota sedang makan di ruang VIP tempat itu?"
Cakra memperlihatkan tatapan penuh
godaan. " Terus?"
Nindi menoleh ke arahnya, terlihat
kurang sabar." Zovan nggak kasih tahu kamu lewat telepon soal apa yang
harus kamu lakukan hari ini? Sekarang, kesempatannya lagi bagus."
"Kesempatan apa?"
"Tentu saja kesempatan bagus
membahas investasi sama Putra Mahkota! Aku nggak bisa membiarkan keluarga
Lesmana merebut kesempatan ini lebih dulu."
Ujung bibir Cakra mengulas senyum.
"Tenang saja, Grup Julian akan berinvestasi."
"Kamu seyakin itu?
Jangan-jangan, tadi kamu sudah bertemu sama Putra Mahkota, ya?"
Cakra sontak terbatuk kecil, merasa
agak bersalah saat menjawab, "Ya, sudah bertemu."
"Bagaimana hasil pembicaraan
kalian?"
"Cukup baik."
"Tapi, aku dengar, Putra Mahkota
itu orang yang sangat sulit diajak kerja sama. Katanya, dia sangat
perfeksionis. Nggak kusangka kamu bisa menyelesaikan pembicaraan secepat
itu!"
Alis Cakra agak berkerut. "Kamu
dengar dari siapa tentang dia yang sulit diajak kerja sama?"
"Semua orang bilang begitu.
Tadi, aku lihat dia juga di sini."
Jantung Cakra tiba-tiba berdegap
kencang. Dia mengamati ekspresi Nindi, berusaha hati-hati saat bertanya,
"Kamu melihatnya dengan jelas?"
Seharusnya, tidak mungkin.
Jika Nindi melihat siapa dia
sebenarnya, sikapnya pasti tidak seperti ini!
"Nggak begitu jelas, dia
terlindungi pengawal yang tinggi besar. Aku cuma lihat sedikit sisi tubuhnya
dari sela-sela."
"Jadi, kamu nggak melihat
wajahnya?"
Nindi menggeleng, lalu tiba-tiba
memperhatikan pakaian Cakra. Dia berkata, "Tapi, pakaianmu mirip sekali
dengan warna pakaian Putra Mahkota."
Cakra terlihat tenang saat menjawab,
"Warna setelan jas memang mudah serupa."
"Benar juga, tapi setelannya
nggak sebagus waktu kamu pakai."
Pria itu tersenyum lembut. "Ini
pujiankah? Tapi, kamu saja belum pernah melihat dia."
"Nggak ada yang perlu dilihat.
Berbekal status dan posisinya, kehidupan pribadinya pasti sangat berwarna.
Mungkin saja dia sudah punya anak di luar nikah."
Begitu Nindi selesai bicara, Cakra
menepuk ringan dahi Nindi.
Tatapan Cakra penuh makna. "Kamu
benar-benar tahu tentang dia sampai ke kehidupan pribadinya?"
"Cuma menebak-nebak. Toh, makin
kaya seseorang, gaya hidupnya makin liar."
Sejak kecil, Nindi hidup di tengah
keluarga kaya. Di Kota Antaram, keluarganya termasuk yang paling terpandang,
membuatnya sering melihat gaya hidup anak-anak orang kaya.
Sesaat, Cakra tidak tahu bagaimana
caranya menjelaskan.
Nindi tiba-tiba melihat sekeliling,
"Kamu nggak merasa sepi banget di sekitar sini? Nggak ada seorang
pun."
Cakra tetap terlihat tenang.
"Kamu lapar nggak?" tanyanya.
"Lumayan. Ayo, kita pergi.
Tampaknya, tempat ini sudah disterilkan oleh Putra Mahkota. Kita nggak perlu
mengganggu."
Nindi cukup tahu diri. Saat ini, dia
lebih ingin makan dengan Cakra.
Cakra meliriknya, lalu bertanya,
"Bagaimana rumah barumu?"
"Cukup bagus. Bagaimana kalau
kita makannya di rumah saja? Kita anggap pesta rumah baru kecil-kecilan,
begitu."
"Boleh."
Cakra sedang memikirkan cara agar
tidak terlihat oleh orang yang mengenalnya. Pergi ke rumah baru Nindi adalah
pilihan paling aman.
Dia belum ingin Nindi tahu siapa
dirinya sebenarnya.
Keduanya naik lift bersama ke lantai
bawah. Baru saja mereka tiba di restoran, seorang pria paruh baya tiba-tiba
mendekat. "Pak Julian, lama nggak bertemu!"
Nindi terkejut dan menoleh ke arah
suara itu. Orang ini memanggil Cakra apa tadi?
Pak Julian?
No comments: