Bab 213
Kadang-kadang, apa yang ditakuti
justru datang.
Ketika Cakra melihat pria paruh baya
yang mendadak hadir itu, dia hampir ingin membunuhnya.
Dengan ekspresi dingin, dia
mengangguk dan langsung membawa Nindi meninggalkan restoran.
Nindi pun berjalan beberapa langkah.
Saat dia menoleh, pria paruh baya itu sudah menghilang!
Masih keheranan, dia pun bertanya,
"Siapa itu tadi?"
"Nggak kenal."
"Tapi, dia memanggilmu 'Pak
Julian'."
Nindi menatap Cakra dengan sorot
penuh kecurigaan.
Cakra langsung gugup. Bagaimana dia
harus menjelaskan ini?
Nindi berpikir sejenak, lalu berkata
penuh pembenaran. "Mungkin dia rekan lama Perusahaan Patera Akasia. Usai
konferensi investasi, banyak perusahaan yang ingin bekerja sama dengan
kita."
Nindi kira, pria itu pasti datang
untuk bekerja sama dengan Cakra.
Cakra tahu kalau dia salah paham,
tetapi dia memilih untuk tidak menjelaskan dan hanya mengikuti arah pembicaraan
Nindi. "Proyek ini memang punya prospek bagus."
"Bukan hanya bagus, tapi sangat
bagus! Kamu tahu nggak, di masa depan, teknologi ini akan diterapkan pada mobil
tanpa pengemudi. Setelah populer ..."
Sampai di situ, Nindi tiba-tiba
menyadari bahwa dia keceplosan.
Bukankah ini sama saja dengan
mengekspos dirinya sendiri?
Cakra meliriknya dan berkata,
"Tampaknya, kamu cukup mengerti tentang industri ini."
Timnya sudah meneliti sekaligus
menganalisis. Industri ini memang sangat menjanjikan.
Namun, banyak orang masih
meragukannya, merasa tekonologi ini tidak dapat dipercaya. Tidak disangka,
Nindi memiliki pandangan yang unik!
Keduanya kembali ke rumah yang dibeli
Nindi.
Usai membuka lemari sepatu, Nindi
agak canggung saat berkata, "Aku baru sadar nggak ada sepatu untukmu di
sini. Kamu mau pakai sepatuku dulu?"
Bagaimanapun juga, dia baru pindah
beberapa hari yang lalu dan barang-barangnya belum lengkap.
Cakra melirik ke arah ruangan yang
masih kosong. Meskipun kurang dekorasi, semua kebutuhan pokok sudah tersedia.
Saat melihat Cakra memakai sandal
merah muda yang ukurannya tidak pas, Nindi tidak bisa menahan tawanya.
"Maaf, ya. Nggak ada yang lihat, kok."
Cakra meliriknya sejenak, tidak
terlalu peduli.
Dia melihat Nindi membuka kulkas
untuk ambil bahan makanan, lalu refleks berkata, "Pesan dari restoran
saja, nggak usah masak."
"Nggak apa-apa! Sebenarnya, aku
cukup pandai masak. Lagi pula, hari ini dihitung semacam perayaan pindah rumah,
makanya aku masak sendiri. Ini bukan untuk menyenangkanmu, tapi untuk
menjamumu!"
Dulu, saat pindah ke apartemen Cakra
dan ingin bertugas memasak, Cakra bilang padanya bahwa dia tidak perlu
menyenangkan siapa pun.
Sejak itu, makanan di apartemen
selalu dimasakkan asisten rumah tangga.
Namun, berbeda dengan kali ini.
Ini adalah rumah yang dia beli
sendiri, rumahnya sendiri!
Cakra berjalan mendekat dan
membantunya mencuci sayuran.
Bagaimanapun juga, memasak untuk dua
orang tidak terlalu sulit.
Dengan cepat, Nindi menyiapkan tiga
lauk dan satu sup, kemudian mengambil ponselnya untuk memotret makanan itu,
berniat mengunggahnya di media sosial.
Ternyata, ada beberapa panggilan
tidak terjawab di ponselnya.
Meskipun tidak tersimpan di daftar
kontak, dia mengenali deretan angka tersebut. Itu nomor Kak Nando.
Saat itu juga, teleponnya kembali
berdering.
Nindi langsung menolak panggilan itu
tanpa berniat menjawab,
"Nindi, soal luka Sania, biar
aku yang jelaskan semuanya ke polisi. Kamu nggak usah khawatir."
"Meskipun rekaman CCTV rusak,
aku tetap akan menjadi saksi untukmu."
Nindi melihat isi pesan itu dan
langsung meletakkan ponselnya di meja, enggan memikirkannya.
Dia tidak butuh sang kakak untuk
menjelaskan apa pun untuknya.
Lagi pula, Sania si licik pasti takut
untuk meneruskan masalah ini, apalagi kalau rekaman CCTV berhasil dipulihkan.
Cakra melirik sekilas ke ponselnya.
"Pesan dari keluarga Lesmana?"
"Ya. Padahal, menurut kakak
sulungku, hatiku sekejam ular berbisa karena mendorong Sania yang nggak
bersalah. Dia pasti akan menuntut pertanggungjawaban dariku."
Mata Cakra perlahan menjadi gelap.
"Dia bilang apa?"
No comments: