Bab 726
Sania memang sengaja melakukan hal
itu, dengan tujuan membuat Nindi merasa muak.
Namun, Nindi yang tidak tahu malu
sungguh menghancurkan kamar itu.
Bahkan, sampai merusak gaun pengantin
miliknya!
Kini Sania dirundung penyesalan,
seharusnya dia bertindak lebih berhati-hati sejak awal.
Dengan nada sedikit pasrah, Nando
berkata, "Nindi, kamu juga nggak boleh rusak gaun pengantin itu. Kalau
sudah begini, bukannya malah jadi celah buat salahin kita?"
Nindi memasang ekspresi masam.
"Terserah aku dong! Kalau nggak suka, silakan pergi!"
Sanía seketika menangis semakin
keras.
Saat itu, tiba-tiba seseorang masuk
ke dalam ruangan dan berkata, "Kabar bagus, ada yang kirım gaun ke
sini."
Seorang pegawai dari butik membawa
sebuah gaun malam putih, kemudian meletakkannya di tengah ruang tamu.
Begitu melihat mereknya, Sania segera
tersenyum bahagia. "Kak Witan, kamu paling tahu seleraku Tapi, gaun ini
ada ornamen hitamnya, itu nggak boleh "
Witan menatap pegawai butik itu dan
bertanya, " lya, kita akan pakai gaun putih untuk pernikahan. Kamu bawa
balik yang ini dan tukar sama gaun lainnya"
Pegawai butik itu lantas menjawab.
"Tapi, ini bukan gaun pengantin, hanya gaun untuk tamu pernikahan."
Ekspresi Sania seketika berubah.
"Maksudmu apa? Aku yang mau nikah, jangan jangan kamu salah."
"Saya yakin kok, ini benar.
Maaf, apa kamu Nona Nindi?" tanya pegawai butik itu.
Ekspresi wajah Sania langsung
membeku. Dengan kesal, dia menoleh ke arah Witan dan berkata, "Kak Witan,
kamu yang pesan gaun buat Nindi, ya?"
"Mana mungkin!" elak Witan.
Witan sangat membenci Nindi Mustahil
dia akan memesankan gaun untuknya. Itu sama sekali tidak masuk akal!
Nindi menatap ke arahnya. "Aku
Nindi."
Pegawai butik bergegas
menghampirinya. "Halo, Nona Nindi. Gaun ini dikirim secara khusus, apakah
sesuai dengan selera Anda?"
Nindi melirik sekilas. "Tapi,
aku nggak ada pesan, kok."
Dia tidak merasa perlu berhias diri
hanya untuk menghadiri pernikahan Santa. Seandainya bisa, dia akan lebih
memilih mengenakan pakaian berkabung.
"Pak Cakra yang menyiapkan semua
ini," jawab pegawai butik
Nindi melirik gaunnya sekilas dan
tidak menyangka Cakra akan melakukan hal seperti ini.
Cakra pasti mengetahui jika dirinya
yang merobek habis gaun perempuan licik itu. Tampaknya pria itu sengaja
melakukannya!
Nindi tersenyum tipis. "Oh iya?
Wah, aku kaget loh, gaunnya cantik sekali."
Nindi melangkah mendekat dan melirik
sekilas, sungguh gaun itu teramat menawan.
Sania yang berdiri di samping tampak
sangat murka. "Kak Witan, kamu katanya mau bantu cari gaun buat aku,
mana?"
Witan lantas menatap pegawai butik
itu. "Omong-omong, aku sudah menghubungi butik kalian, aku minta carikan
gaun pengantin warna putih. Tapi, kenapa belum ada kabar, ya?"
"Mohon maaf, Pak. Saya
benar-benar tidak tahu masalah itu, dan bukan tanggung jawab saya," jawab
pegawai butik itu.
"Kalian 'kan dari butik merek
yang sama, ya harus tanggung jawab dong. Gaun ini saja bisa dikirim, harusnya
gaun yang sesuai dengan kami juga bisa, dong," ucap Witan
Seusai Witan berbicara, Sania pun
melangkah maju dan berkata kepada pegawai butik. "Iya, aku juga keluarga
Kak Nindi. Tolong carikan gaun untukku juga, ya?"
Pegawai butik pun sempat melirik
sekilas ke arah Nindi.
Nindi berkata dengan tenang.
"Aku nggak terlalu akrab sama mereka."
Witan akhirnya berbicara.
"Nindi, kamu kok tega banget sih? Padahal kamu yang rusak gaunnya Sania,
tapi kamu malah nggak mau tanggung jawab?
"Nggak tanggung jawab, ya.
Terus, kalian mau apa? " ucap Nindi.
Nindi enggan berbasa-basi dengan
mereka. Bagaimanapun juga, dia hanya mengatakan hal itu, dirinya tidak akan bertanggung
jawab.
Witan sangat marah hingga wajahnya
tampak berubah.
Sania tampak sedikit gelisah dan
menatap ke arah Nindi. "Gimana kalau kamu kasih saja gaun itu padaku?
Nanti biar aku suruh orang buat perbaiki, pasti bisa dipakai."
Bagaimanapun juga, mengenakan gaun
bermerek ini jauh lebih terhormat daripada harus mengenakan gaun pengantin
murahan dari studio foto.
Nindi berdecak sinis. "Tapi, aku
ada satu syarat, kamu harus berlutut di depan kamar orang tuaku dan sujud tiga
kali."
Sebagai putri dari sang musuh, sudah
sewajarnya wanita itu dipaksa untuk berlutut.
No comments: