Bab 727
Setelah Nindi selesai berbicara,
ekspresi wajah Sania tampak berubah karena menahan amarah.
Dia tidak sudi untuk berlutut!
Nindi bersandar santai di sofa.
"Gimana? Kesempatan ini cukup menguntungkan, 'kan?"
Sania justru menatap Witan. "Kak
Witan, lihat tuh dia."
Nindi berbicara dengan nada dingin.
"Kamu 'kan bakal nikah sama Witan juga, nanti juga harus sujud ke orang
tuaku. Ya sudah, sekalian sekarang saja."
Setelah mendengar ucapan itu, Nando
mengangguk pelan. "Omongan Nindi ada benarnya. Toh nanti juga harus sujud
dan berlutut, jadi sekarang sujud duluan juga nggak masalah."
Sania segera menangis dengan terisak.
"Tapi, aku nggak mau berlutut sekarang."
Nando memasang wajah serius.
"Kalau begitu, lupakan saja gaun ini. Menurutku, yang lain juga nggak
kalah bagus kok."
Nindi melirik sekilas ke arah pegawai
butik. "Tolong bawa lagi gaunnya."
"Tunggu dulu," ucap Sania
Sania menghadang pegawai butik dengan
gemetar hebat menahan amarah. Seandainya dia mengenakan gaun murahan itu hari
ini, bukankah dirinya hanya akan menjadi bahan ejekan di kemudian hari?
Lebih baik dipermalukan di tempat ini
sekarang daripada menjadi bahan ejekan kalangan atas nanti malam
Sania menggertakkan giginya dan
berkata, "Aku bakal berlutut!"
Nindi menatap Sania yang naik ke
lantai atas. Dia mengambil gaun itu, kemudian ikut berjalan mendekat, seraya
melihat Sania yang tengah berlutut. "Ingat ya, kalau sujud agak ditekan
sedikit. 11
Sania berlutut dengan enggan dan
melakukan tiga kali sujud.
Menyaksikan kejadian itu, suasana
hati Nindi akhirnya jauh membaik. Setidaknya, dia berhasil membuat anak
perempuan dari pihak musuh berlutut dan bersujud.
Sania seketika berdiri dengan kesal,
kemudian menghampiri Nindi dengan perasaan jengkel dan mengulurkan tangannya.
"Sudah kulakukan yang kamu suruh, berikan gaunnya."
Nindi menatap Sania dengan sorot mata
penuh sindiran. "Kamu beneran nekat juga, ya."
Tampaknya bagi Sania, barang mewah
bermerek jauh lebih berharga.
Nindi menatap gaun di tangannya
sekilas, kemudian segera merobeknya dengan tangan. Bagaimanapun juga, tenaganya
memang cukup besar.
Ekspresi wajah Sania seketika memerah
karena marah, suaranya melengking tajam. "Nindi! Katanya kamu mau kasih
aku gaunnya? Mana janjimu?!"
Namun, setelah menoleh dia mendapati
Nindi merobek gaun itu!
Nindi melemparkan gaun itu ke depan
Sania. "Tuh, sudah kuberikan, 'kan? Aku juga nggak langgar janji,
kok."
"Tapi, gaun kayak begini mana
bisa dipakai?" ucap Sania.
"Aku nggak pernah bilang kalau
kasih gaun yang layak dipakai, 'kan. Kamu saja yang salah paham sama maksudku,
ya aku bisa apa," balas Nindi.
Nindi menunjukkan seulas senyum
sinis, kemudian berbalik dan menuruni tangga dengan penuh kepuasan.
Ternyata menjadi orang jahat terasa
begitu memuaskan.
Sania begitu marah hingga tak mampu
mengeluarkan air mata. Siapa yang menduga Nindi akan bersikap plin-plan dan
melanggar janjinya?
Witan berdiri di depan Sania, lalu
berteriak dengan marah. "Kak Nando, kamu lihat sendiri, 'kan. Sekarang
Nindi tuh kayak gimana?"
Dengan tatapan yang rumit, Nando
menatap Nindi. Dia pun tidak menyangka bahwa Nindi bisa melanggar janjinya
sendiri.
Sekarang, Nindi telah banyak berubah.
Nando pun menghampirinya.
"Nindi, kamu kok tega banget sih? Padahal Sania sudah melakukan
perintahmu, lho."
Jika yang melakukan hal seperti ini
adalah Sania, Nando akan menganggapnya wajar. Akan tetapi, sosok itu berganti
menjadi Nindi, terlepas dari apa pun dia merasa ada yang janggal.
Nindi tampak mengernyitkan dahinya.
"Aku juga sudah kasih gaunnya ke dia, 'kan?"
"Nindi, kok kamu sekarang jadi
kayak begini sih? Jadi orang tuh nggak boleh begitu!"
Nindi mengangkat pandangannya, dan
menatap ke arah Nando. "Bukannya kalian suka lihat aku kayak sekarang, ya?
Yang sombong, seenaknya, aneh, suka menindas Sania. Dulu 'kan kalian nggak
lihat, sekarang aku kasih lihat!"
Nando sempat tercekat.
Dia lantas menurunkan suaranya.
"Nindi, aku tahu kamu bukan orang seperti ini. Dulu kami memang salah
paham ke kamu. Kamu nggak perlu berubah kayak gini cuma gara-gara ucapan kami.
Nggak sepadan."
Ya, memang tidak sepadan.
Namun, sikapnya hanya ditujukan
kepada anggota keluarga Lesmana
Nindi berbicara dengan nada datar.
"Kalau kalian salah paham padaku, yang salah bukan aku dong, tapi Sania,
iya 'kan?"
Nada bicara Nindi terdengar begitu
tajam dan memojokkan.
Nando akhirnya tidak bisa mengucapkan
sepatah kata pun, dia duduk membisu di sofa. "Maaf, aku beneran nggak bisa
bantu lagi "
Menyaksikan hal itu, Sania menangis
hingga matanya memerah, dalam hatinya dia teramat membenci Nindi
Witan memeluk erat Sania.
"Sania, aku janji bakal menebusnya suatu saat nanti."
"Terus gimana soal resepsi
pernikahan malam nanti?" tanya Sania.
"Pakai yang ada dulu saja,
ya," jawab Witan.
Amarah memenuhi hati Sania. Jika dia
memang bersedia berkompromi, tentu sebelumnya dia tidak akan berlutut dan
bersujud di sana! Sial, Witan tidak berguna!
No comments: