Bab 732
Darren menunjuk hidung Nindi sambil
memaki, Waktu di pesta keluarga Ciptadi, kamu juga melakukan hal yang sama.
Hari ini kamu malah mengulanginya lagi. Kamu pikir aku tidak bisa berbuat
apa-apa padamu, ya?" "
Benar-benar membuat orang naik darah!
Nindi menanggapinya dengan tenang,
"Bukannya dulu kamu selalu menggunakan orang tua kita untuk mengancamku?
Tapi sekarang semua yang kumiliki sudah berada di tanganku, apa lagi yang bisa
kamu gunakan untuk mengancamku?"
"Jelas-jelas kamu berjanji
setelah mendapatkan semua itu, kamu akan menghapus video itu dan nggak akan
pernah memberitahukannya pada siapa pun. Tapi hari ini kamu malah
menayangkannya di depan umum, kamu melanggar janji!"
Setelah Darren bicara, dia melihat
sudut bibir Nindi terangkat membentuk senyuman penuh kemenangan. Perasaannya
langsung tidak enak.
Nindi tertawa kecil. "Itu 'kan
kamu yang bilang, bukan aku."
Bagaimanapun juga, jika dia yang
mengatakan, Witan tidak akan percaya. Lain ceritanya jika Darren yang
mengatakannya sendiri.
Darren langsung tertegun, menyadari
apa yang baru saja dia katakan.
Dia menatap Witan dengan tatapan
bersalah.
Witan juga bukan orang bodoh, tentu
saja dia mengerti. Dia sangat marah hingga bibirnya memutih, "Kak Darren,
maksudmu video ini benar?"
Darren terdiam, tidak berani
menjawab.
Witan kemudian menatap Nando.
"Kak Nando, katakan padaku, apa ini benar?"
Nando terlihat agak kesulitan
menjawab. "Itu cuma sebuah kecelakaan."
"Jadi, antara kalian semua, cuma
aku yang nggak tahu!"
Witan merasa seperti ditipu
habis-habisan.
Pasti semua pelayan di vila juga tahu
soal ini, dan sekarang semua orang menonton dirinya jadi bahan tertawaan.
Sania yang ada di samping buru-buru
berkata, "Aku dijebak! Kak Witan, Nindi menjebakku. Kamu juga bisa lihat
kalau itu kamar Nindi!"
Sebelum Sania selesai bicara, Witan
kembali menamparnya dengan keras. "Dasar wanita jalang! Kamu menipuku
lagi!"
Witan marah setengah mati.
Wajah Sania sudah bengkak karena
tamparan.
Dia melihat ponselnya menyala, ada
pesan baru masuk.
Setelah tahu uangnya sudah ditransfer,
Sania diam-diam berdiri. Dia menatap Witan di depannya dan mencibir, "Tadi
aku sudah bilang aku dijebak oleh Nindi, apa kamu tuli?"
"Sania! Apa-apaan sikapmu
itu?"
"Memang begini sikapku. Kalau
kamu nggak suka, ya batalkan saja pernikahannya!"
Bagaimanapun, dia juga tidak mau
terus berakting melayani keluarga Lesmana lagi!
Setelah berpura-pura selama
bertahun-tahun, dia juga sudah lelah.
Witan tampak tak percaya saat
mendengar kata pembatalan pernikahan. "Sania, kalau kamu batalkan
pernikahan ini, kamu nggak akan dapat apa pun di masa depan!"
"Kamu pikir aku peduli? Aku
benar-benar sudah muak! Selama ini aku selalu berusaha menyenangkan hati kalian
semua, tapi bagaimana dengan kalian? Kalian semua selalu membela Nindi!
Sania tidak lagi berpura-pura, dia
ingin melampiaskan semua amarah di hatinya.
Nando merasa kesal. "Kami
membela Nindi, katamu? Justru selama ini kami yang lebih memanjakan kamu!"
Apakah Sania masih punya hati nurani
saat mengatakan hal seperti itu?
"Jangan bercanda! Memanjakan
aku? Kalau begitu, kenapa aku nggak dapat bagian dari warisan keluarga Lesmana?
Kenapa kalian semua langsung berebut buat menyenangkan Nindi saat dia
pulang?"
Sania merasa sangat tidak adil.
Darren merasa sangat tak percaya
ketika melihat perubahan sikap Sania. "Sania, maksudmu apa? Apa yang aku
kasih ke kamu selama ini masih kurang? Aku selalu berusaha bersikap adil."
"Adil apanya? Kalau adil, kenapa
Nindi bisa dapat begitu banyak harta, sedangkan aku nggak dapat apa -apa?"
Sania benar-benar merasa hal ini
sangat tidak adil.
Darren marah besar. "Sania, apa
kamu udah gila makanya kamu bicara sembarangan? Harta itu warisan dari orangtua
kami! Apa hubungannya sama kamu?"
Bukankah Sania selalu sangat patuh
dan penurut?
"Tapi bukannya kamu sendiri yang
bilang aku ini adik kandungmu juga? Kalau begitu, kalian harusnya kasih bagian
ke aku juga dong! Itu baru namanya adil."
Sania menatap Darren tajam. "Kak
Darren, kalau kamu benar-benar adil, sekarang juga kamu harusnya bunuh Nindi!
Dia yang merusak pesta pernikahan ini! Lihat, dia mengenakan pakaian hitam dan
memakai bunga putih di kepalanya saat datang ke pernikahan!"
Begitu mendengarnya, Nindi melepas
bunga putih di telinganya, lalu langsung menyumpalkannya ke mulut Sania.
Nada bicaranya dingin dan tajam.
"Mana mungkin aku mau datang ke pernikahan putri dari pembunuh
orangtuaku?"
Mimpi saja!
Ucapan Nindi seperti pisau tajam yang
menusuk langsung ke hati Darren.
Dia menatap Nindi. "Apa maksudmu
sebenarnya?"
Nindi menoleh dengan tatapan dingin
"Maksudku, ayah Sania sebenarnya belum mati."
No comments: